Tiga

537 44 0
                                    

"Mau apa kau datang ke sini Ruki?" tanya Awek pada jongos Tuan Jacobus yang tiba-tiba saja datang.

Mayor Jacobus mempekerjakan 5 orang jongos untuk membantunya. Tiga di antaranya laki-laki; Awek, Ruki, dan Pirin.

"Aku diminta Tuan Jacobus ke sini untuk menjemput baju mewah yang kau simpan."

"Kau kira aku memercayaimu? Istrimu gantung diri dengan gaun itu. Pasti kau yang mencurinya dari rumahku!" seru Awek.

"Usah kau mengada-ada. Aku tak tahu bagaimana bisa istriku memakai gaun laknat itu. Kukira, kau dan istrimu yang sengaja menjebaknya!" sanggah Ruki.

"Apa? Menjebak? Kaulah yang mencurinya. Dan sekarang, kau sengaja datang untuk mengambil gaun itu, 'kan? Kau bukan hanya berbohong, tapi juga lancang, karena telah menguping pembicaraan Tuan Jacobus denganku. Kalau kau ingin membawa gaun itu, langkahi dulu mayatku!" tantang Awek.

"Kato bejawab, gayung besambut. Haram bagiku mundur," balas Ruki.

Awek dan Ruki tampak memasang kuda-kuda. Jurus silat yang diajarkan nenek moyang dikeluarkan.

Wati hendak mengabarkan berita baik pada suaminya, tetapi dia mendengar keributan di luar. Dia mengencangkan ambin pada Pendi yang digendong belakang. Sepertinya tidak penting mengabarkan berita itu pada sang suami.

Wati keluar dari pintu belakang, lalu berlari sekencang mungkin menuju Bukit Sanggul.

"Aaahh!"

Wati berhenti sejenak. Napasnya tersengal. Air matanya jatuh tatkala terdengar pekik pilu suaminya.

Wati tak menyangka Ruki sekeji itu, tetapi sudah tampak nyata kekejiannya. Orang dekat belum tentu baik, malah bisa lebih kejam dari kompeni.

Wanita itu kembali berlari. Menembus malam dengan cahaya lampu kaleng. Sesekali kakinya merasakan pedih karena menginjak ilalang.

Dia harus pergi. Demi Pendi. Demi hidup yang telah diberi Sang Pencipta.

Wati terus memburu langkah, khawatir Ruki akan menyusulnya. Sinar lampu kaleng yang sesekali meredup membuatnya kelimpungan mencari jalan. Namun, dia tak mau berhenti.

Dari jauh terdengar suara Ruki berteriak memanggil namanya. Langkah kakinya semakin cepat. Tibalah di pinggir sungai. Dia harus menyeberang agar dapat sampai ke Bukit Sanggul.

Air sedang pasang. Rasanya tak mungkin dia menyeberang. Wati mengamati sekitar, tak ada tempat untuknya bersembunyi.

"Wati!!" Suara Ruki semakin dekat. Tak ada pilihan bagi Wati.

Daripada menyerah dan akhirnya mati di tangan orang biadap seperti itu, maka lebih baik mati dengan pilihan sendiri. Wati menempuh jalan yang sangat nekat.

Byuur!

Wati mencebur ke dalam sungai. Pendi tetap dalam gendongannya. Ada guna pandai berenang. Wati berusaha membuat badannya terapung, sehingga tangannya dapat mengangkat tubuh bocah lima tahun itu.

"Watii!!"

Dari dalam air yang menyeretnya ke hilir, Wati dapat melihat Ruki yang membawa obor.

Semakin lama, tubuh Ruki kian mengecil. Wati telah jauh terseret air. Oleh karena gelap, beberapa kali dia tersentak karena membentur batu.

"Maak ...." Suara Pendi terdengar lirih. Namun, ibunya diam saja. Bocah itu terlihat megap-megap, sebab terhirup air.

Wati merasa kakinya mulai keram. Berenang di malam hari menyita tenaganya. Apalagi dalam kondisi gelap, dia sama sekali tak tahu arah. Tangannya pun terasa kaku.

Gaun Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang