Tujuh

382 31 2
                                    

"Kamu jangan ikut campur!" teriak Diana  yang membuat Beatrix makin bingung dan ketakutan.

Diana lalu duduk di tepi ranjang, dengan rambut acak-acakan. Sementara Beatrix segera kabur dari kamar itu.

"Diana mana, Bet?" tanya Nyonya Wiwik yang sudah duduk rapi di ruang makan.

"D-Diana ... di kamar, Tante. Dari tadi diajak diam aja."

"Apa dia sakit?" selidik Tuan Prawiro.

Beatrix menunduk sejenak, lalu menjawab perlahan. "Kayaknya begitu, Om."

Tuan Prawiro bergegas ke kamar Diana. Dia menangkap sinyal aneh dari pandangan Beatrix. Sepertinya ada yang tak beres.

Lelaki paruh baya itu berhenti tepat di depan pintu. Dilihatnya Diana duduk di depan meja hias, tengah menyisir rambut.

"Diana, semua udah nunggu kamu. Cepat ke ruang makan!" seru Tuan Prawiro.

Diana menoleh sejenak, lalu kembali menyisir rambutnya. Tuan Prawiro merasa merinding saat melihat lirikan anaknya. Perasaan tak enak muncul, tapi segera ditepisnya.

Semua mulai makan, mereka yakin Diana akan menyusul. Beatrix hanya mengambil nasi sedikit. Dia sungguh merasa tak nyaman dalam kondisi seperti itu.

Diana datang saat semuanya sudah selesai makan. Gadis itu membawa  aroma pandan. Tanpa menegur siapa pun, dia duduk di kursi ujung. Tepat di samping Beatrix.

"Diana, kamu gak makan sayur? Biasanya kamu suka makan pucuk ubi yang direbus?" tanya Nyonya Wiwik.

Diana mendengkus. Tangannya meraih daun ubi rebus dalam piring. Semuanya di tuang ke piringnya, sampai nasi dan ikan tertutupi. Terang saja hal ini membuat Nyonya Wiwik dan yang lainnya di sana terheran-heran. Apalagi saat melihat Diana memasukkan daun ubi yang banyak ke dalam mulutnya.

"Diana! Kamu ini kenapa, sih?!" tegur Bu Wiwik dengan suara meninggi.

Tuan Prawiro terdiam dan mengamati. Bik Wara menutup mulut dengan serbet. Beatrix terlihat menunduk, sepertinya dia ketakutan. Sementara Diana cuek dan tetap dengan tingkahnya.

"Diana!" bentak Nyonya Wiwik.

Seketika Diana melirik ibunya dengan tatapan sangat tajam. Seakan mampu merobek benteng keberanian yang menantangnya.

Nyonya Wiwik bergidik. Belum pernah dia ditatap siapa pun di rumah ini dengan cara begitu.

Diana berdiri. Lalu, mengangkat piring dan menumpahkan nasi ke dalam mulutnya. Diakhiri dengan minum.

Semua melongo. Benar-benar heran dengan tingkah Diana; yang selama ini dikenal orang yang periang dan tak banyak ulah.

Diana menyeka mulutnya dengan tangan. Sebelum berlalu, dia menatap sinis pada orang-orang yang duduk di ruang makan. Mang Ridi yang baru datang menahan langkahnya di sudut ruangan.

"Beatrix, kalian ke mana tadi?" selidik Tuan Prawiro.

"Makan di pasar Baru Koto, lalu ke benteng Marlborough, Om."

"Apa ada hal aneh selama di sana?' imbuh Tuan Prawiro.

Beatrix mengangguk. Dia tidak begitu yakin, tapi memang ada hal aneh pada saat itu.

"Beatrix bicara tentang hantu perempuan berwajah Eropa, Om."

"Berarti Mbak Diana kesurupan," ujar Bik Wara. Sadar dirinya terlalu reaktif, wanita itu menutup mulutnya.

Namun, Nyonya Wiwik yang terlanjur mendengar tampaknya menjadikan hal itu bahan pikiran.

"Kesurupan?" tanya Nyonya Wiwik sambil memicingkan mata.

Gaun Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang