Tiga Belas

604 34 10
                                    

Neuro mundur selangkah, saking terkejutnya. Bulu kuduk lelaki bule ini berdiri serentak.

"Wel Verdomme!" umpat lelaki itu. Dia menepuk pelan dadanya, mencoba menetralkan irama jantung yang mendadak berdegup kencang. Pikirannya masih mengingat dengan jelas sosok yang berjalan dengan buru-buru, tidak, lebih tepatnya makhluk itu melayang. Sosok perempuan dengan gaun pengantin, rambut sepinggang, dengan raut wajah yang kaku. Bukan hanya soal melayang yang membuat Neuro rasanya terkejut setengah mati, tetapi juga kemiripan sosok tersebut dengan almarhumah Diana.

Neuro bergeming sejenak, sambil mengatur napas yang tidak stabil, lalu dia memberanikan diri melirik ke luar jendela. Udara dingin terasa membelai kulitnya. Mata birunya tidak menemukan apa pun di luar sana. Sedikitnya sekarang dia merasa lega, kemudian mempercepat menutup jendela dan menguncinya.

Pemuda keturunan Belanda ini melirik ke kamar mandi. Sejak masuk ke kamar itu, dia bahkan tidak mendengar suara dari dalam sana, yang tadinya sempat dicurigai sebagai tempat persembunyian Rio. Dia bergerak ke depan pintu kamar mandi, lalu mengetuk pintu dengan perlahan.

"Mas Rio ...."

Di dalam sana suara air mengalir dari keran terdengar jelas, tetapi tidak ada jawaban. Neuro mengulanginya. Kali ini pintu diketuk lebih kuat.

"Mas! Waktunya makan malam!" tegasnya. Namun, kembali tidak ada sahutan. Akhirnya Neuro berinisiatif mendorong pintu tersebut. Tekanan pada pintu seperti terganjal. Kening pemuda ini mengerut.

Sesaat kemudian terdengar suara kunci gerendel bergeser, pintu kamar mandi perlahan terbuka. Neuro mundur selangkah, memberi kesempatan Rio untuk keluar. Namun, satu detik ditunggu, pemuda itu tak muncul.

Neuro maju selangkah untuk memastikan Rio ada di dalam sana. Namun, begitu kepalanya terjulur, di dalam sana tidak ada siapa-siapa. Tengkuknya berdesir. Dia yakin tidak sedang bermimpi. Tadi terdengar dengan jelas kalau kunci kamar mandi dibuka dari dalam.

Sekali lagi, Neuro memberanikan diri menjulurkan kepala ke dalam kamar mandi. Kedua tangannya sengaja beraut di kusen. Matanya menyapu setiap jengkal bagian kamar mandi, sambil mengernyitkan kening pula.

"Ngapain di situ?" Seseorang menepuk pundaknya.

"Astaga!" Neuro terkejut setengah mati. Untung saja dia tak refleks mendaratkan pukulan ke tubuh orang itu.

"Sayang, kalau masuk kasih kode, dong!" Neuro terlihat sebal. Untung saja yang mengejutkannya Lyra, jadi emosinya masih bisa ditahan.

"Apa kamu bilang, Sayang?" Lyra menggoda pemuda itu.

"Kurasa ini waktu yang tepat untuk launching hubungan kita." Neuro menatap lekat gadis idamannya.

"Sekarang waktu yang tepat untuk makan. Ayo, buruan! Mas Rio tinggalin aja!" seru Lyra sewot, sebab makan malam harus tertunda karena menunggu Neuro.

Neuro ingin menceritakan peristiwa horor yang terjadi di kamar itu, tetapi diurungkannya. Lebih horor jika Lyra marah.

"Rio ke mana?" tanya Sarikun setelah melihat Lyra dan Neuro kembali ke ruang makan tanpa Rio.

Kedua orang itu kompak mengangkat bahu. Sarikun hanya bisa menghela napas, menahan khawatir.

Bik Wara menaruh berbagai hidangan makan malam. Ada tempoyak udang, tumis pedas kates dan hati ayam, ayam rica-rica, dan sambal terasi. Lengkap dengan emping enggano.

Tuan Prawiro, Nyonya Wiwik, dan Mang Ridi bergabung ke meja makan. Mereka menikmati makan malam dengan khidmat.

"Mama tak melihat Rio, rasanya dia menghilang usai pemakaman kemarin." Nyonya Wiwik memancing obrolan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gaun Pengantin GaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang