Chapter 24

2.2K 357 25
                                    

°|•|°Accident2°|•|°

Dua hari, butuh waktu dua hari hingga Jimin bisa siuman. Pria itu kehilangan banyak darah karena luka tusuk yang dialaminya. Nari, dan Shinhye kembali menangis saat melihat Jimin yang siuman dari tidur panjangnya.

Dan selama dua hari itu mereka harus menelan rasa kecewa tentang kasus penusukan Jimin. Barang bukti bersih. Bahkan tidak ada sidik jari sekalipun selain sidik jari milik Jimin. Mereka tidak memiliki bukti kuat karena pemadaman listrik yang membuat CCTV juga ikut mati. Dan yah satu-satunya hal yang janggal dari kasus penusukan Jimin adalah pemadaman listrik tanpa pemberitahuan.

Pada akhirnya mereka yang memutuskan menyelidiki sendiri semuanya. Mengutus orang kepercayaan masing-masing untuk mencari orang yang ada di balik semua ketegangan ini.

"Setelah Jimin siuman nanti, bersikaplah seperti biasanya. Jangan menunjukan jika kalian tahu sesuatu tentang ini. Kalian pasti tahu jika Jimin sangat tidak suka seorangpun mencampuri urusannya tanpa seizin dirinya. Ia tidak suka dengan bantuan, kecuali ia memang benar-benar membutuhkannya. Satu-satunya cara agar kita bisa tahu siapa pelakunya, yaitu dengan cara menyelidikinya sendiri tanpa sepengetahuan Jimin."

Begitulah perkataan Taehyung dari salah satu kalimat saat mereka berdiskusi tentang kasus Jimin. Meraka akan menyelidiki semuanya tanpa Jimin ketahui.

Seperti sekarang misalnya. Gadis bermarga Song itu tengan menjalankan tugasnya. Mencari tahu informasi sekekcil apapun dari Jimin, tanpa pria itu sadari.

"Tidurlah, ini sudah larut..." ucap Jimin pelan pada Nari yang tengah berbaring disebelahnya, diatas ranjang ruang rawatnya. Pria itu tidak tega jika harus melihat kekasihnya itu tidur disofa. Meski itu tidak terlalu buruk, tapi Jimin tetap tidak tega.

"Bukankah aku yang harusnya berkata seperti itu? Oppa kan yang sakit, kenapa jadi seolah aku yang sedang sakit?" ucap Nari sambil mencebik.

"Aku akan tidur setelah kau tidur Nona Song."

Nari berdecak pelan. "Baiklah-baiklah. Terserah Oppa saja, aku tidak ingin berdebat dengan orang sakit," ucap Nari membuat pria itu terkekeh pelan, namun setelahnya ia meringis merasakan lukanya berdenyut nyeri.

"Jangan membuatku tertawa sayang, ini ngilu asal kau tahu. Cepat tidur, atau aku juga tidak akan tidur jika tidak melihatmu tidur."

"Heol!" ucap Nari sambil memutar bola matanya. Lalu setelahnya ia memejamkan matanya.

Tidak, ia tidak terlelap. Ia tidak bisa terlelap, karena ia juga tahu jika Jimin belum terlelap. Ia masih bisa merasakan pergerakan pria yang ada di sampingnya ini.

Suara dering ponsel membuat Nari sedikit terkejut. Ia tahu itu bunyi ponsel milik Jimin.

Nari yakin Jimin sudah meraih ponsel itu, tapi ia masih belum mendengar suara pria itu menjawab panggilan telepon itu membuat ia sedikit curiga.

Dan dugaannya benar saat ia mendengar rentetan kalimat yang diucapkan oleh orang yang menelpon pada ponsel Jimin.

"Kau sadar lebih cepat dari pada yang kukira. Apa kau punya kekuatan super Jimin-ssi? Sepertinya luka yang kubuat tidak cukup parah untukmu."

Suara berat itu memenuhi rungu seorang Park Jimin, membuat pria itu mengeraskan rahangnya. Ia menoleh sebentar menatap kearah Nari, takut-takut jika gadis itu terbangun.

Sedangkan Nari? Ia mendengar cukup jelas, ini sudah larut membuat suasananya hening sebab semua pasti susah terlelap. Kecuali perawat dan dokter yang berjaga. Kesempatan yang sangat berharga, ia akan tahu apa yang Jimin sembunyikan.

Terdengar suara helaan nafas dari bibir tebal itu. Jimin mencoba menjadi setenang mungkin agar orang itu tidak meremehkannya. Karena jika suaranya terdengar seperti orang yang ketakutan, pria itu alan merasa menang darinya.

"Kali ini kau menelpon? Aku sedikit terkejut..." ucap Jimin pelan, agar membuat Nari tidak terbangun. Walau sebenarnya itu sia-sia, gadis itu tidak terlelap.

"Begitukah?" jawab pria disebrang telpon sambil terkekeh.

"Kau tahu? Kau sangat pengecut menusukku dengan dengan memadamkan lampu seperti itu."

"Begitu? Aku rasa aku tidak sepengecut itu. Aku melakukannya ditempat umum dengan ratusan orang disekitarmu saat aku memberikan salam perkenalan padamu, ngomong-ngomong. Bahkan calon istrimu sedang menggandeng tanganmu saat itu. Dan aku merasa sangat tersanjung kau mengetahui aku yang memadamkan listriknya."

"Aku tidak bodoh untuk tahu siapa pelaku pemadaman listrik itu, setelah kejadian yang menimpaku. Itu pastilah ulahmu."

Terdengar suara tawa disebrang sana. Jimin tidak tahu dimana letak kelucuannya, tapi pria itu tertawa cukup kencang.

"Berapa banyak jalang sialan itu membayarmu untuk mencabut nyawaku?" tanya Jimin membuat tawa itu seketika berhenti, digantikan dengan kekehan.

Sedangkan Nari, gadis itu tanpa sadar meremas ujung bajunya saat mendengar pertanyaan yang Jimin lontarkan pada orang yang menelpon pria itu.

"Wah! Aku tidak menyangka kau akan menanyakan itu. Tapi jika kau penasaran, baiklah. Aku tidak akan memberi tahu pastinya, tapi itu cukup banyak hingga membuatku terkejut dengan nominalnya. Aku sedikit tidak mengerti, kenapa ibu tirimu itu rela mengeluarkan nominal yang sangat luar biasa hanya demi menyingkirkanmu? Yang kulihat kau tidak berpotensi apapun padanya."

"Jangan pernah menyebut jalang itu dengan sebutan terlalu baik seperti itu. Sekali jalang akan tetap menjadi jalang!"

"Hei bung. Kau tidak sopan sekali, dia tetap ibu tirimu."

"Tutup mulutmu sialan!" ucap Jimin dengan sedikit menekankan kalimatnya.

"Cih! Galak sekali!"

Mendengar itu membuat Jimin malah tersenyum kecil. "Kau tidak seburuk yang kupikirkan..." ucap Jimin membuat pria itu kembali terkekeh.

"Aku tahu. Kurasa cukup, aku sudah terlalu banyak melantur. Cepat sembuh, dan bersiaplah saat kau telah keluar dari rumah sakit. Aku takkan bermain-main lagi untuk mencabut nyawamu, karena ibu tiri tercintamu itu sudah mencak-mencak sebab aku terlalu bermain-main denganmu, dan malah memperlambat tugasku. Sampai jumpa lagi Tuan Park, selamat malam. Selamat menghindari kematianmu..."

Setelahnya sambungan terputus. Jimin terdiam sesaat setelah mendengar itu, lalu ia terkekeh pelan. "Apa aku baru saja mendengar ancaman dari malaikat maut? Lucu sekali, pemikiran konyol macam apa itu? Apa aku akan benar-benar mati? Kenapa jalang sialan itu sangat terobsesi menyingkirkanku? Aku takkan merebut apa yang ia miliki, seperti ia merebut segalanya dulu. Aku cukup mampu untuk membiayai keluargaku. Bahkan penghasilanku melebihi dari yang ia kira. Kenapa ia sangat ketakutan sekali? Jalang idiot..." ucap Jimin pelan.

"Semoga Tuhan mau berbaik hati membiarkanku terus lolos dari kematian yang jalang itu buat..." lanjutnya lirih.

Jimin menoleh kearah samping menatap pada pajah terlelap milik calon istrinya. Apakah ia masih bisa melihat gadis ini nantinya? Jimin menarik pelan gadis itu untuk masuk kedalam pelukannya. Melakukannya selembut mungkin agar Nari tidak terbangun.

"Maafkan aku... Aku akan bertahan sebisa mungkin untukmu. Tapi, jika nanti aku tidak bisa menghindar dari semuanya. Aku harap kau bisa bahagia dengan orang lain. Yang harus kau tahu hanya, aku yang sangat mencintaimu. Maafkan aku karena telah menyembunyikan ini. Aku hanya tidak ingin kau, dan yang lainnya terluka. Biarkan aku yang menanggung semuanya. Lebih baik satu menghilang, dibandingkan semuanya terluka. Maafkan aku..." lirih Jimin dengan air mata yang mengalir deras. Pria itu menahan suara isakan yang terus berusaha keluar dari mulutnya.

Sedangkan Nari, gadis itu mati-matian menahan tangis agar tidak ketahuan jika ia hanya berpura-pura tidur. Ingin rasanya ia menagis histeris sambil berteriak pada pria itu, jika ia takkan membiarkan itu terjadi. Ia akan memberi tahu semua yang ia dengar pada yang lain. Termasuk Seokjin, ia jadi sedikit marah pada pria itu. Bagaimanapun Seokjin harus bertanggungjawab atas kejahatan yang ibunya lakukan.

_Tbc_

Semoga puasa kalian lancar, bagi kalain yang berpuasa esok hari 💜

Accident II✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang