Membenci Ayah

125 22 2
                                    

Membenci Ayah 1

.

Aku melangkah santai keluar kelas. Sekilas menatap wajah Pak Damin yang masih terlihat tajam setelah menghukumku keluar. Lalu benar-benar beranjak pergi setelah meninggalkan seulas . sinis untuknya.

Langkah terhenti setelah berada di ujung anak tangga. Seluruh bagian sekolah tampak sepi karena memang ini masih jam pelajaran. Aku menghela napas. Lalu lanjut berjalan menuju kantin.

Langkah kembali terhenti saat tengah melewati UKS. Terlihat seorang gadis sedang duduk sambil menunduk di dalam sana. Tanpa suara.

Lavira.

Gadis SMA kelas dua belas. Satu tingkat denganku. Dia murid baru dari bulan kemarin, tak begitu kukenal. Namanya pun kuketahui karena desus-desus para siswa.

Sesaat, tak ada yang salah dari gadis itu hingga dia terlihat sedikit mengangkat tangan dan mengusap perlahan sudut mata.

Aku kembali menghela napas. Memasukan kedua tangan ke dalam saku. Lalu melangkah.

Terlihat mata gadis dengan rambut sebahu itu membulat. Menyadari ada seseorang yang datang padanya. Lalu gugup seketika. Kembali, ia menunduk.

Aku menggeser satu kursi. Kemudian duduk di depannya.

Ia mungkin ingin menghindar. Entah. Sebab gadis itu terlihat bergeser agar posisi kami tak begitu dekat.

"Boleh aku di sini?" Aku bertanya. Terlihat mata bulat itu menatap ragu.

Detik kemudian dia mengangguk.

"Kenapa bisa di UKS?" tanyaku, lagi gadis itu hanya terdiam.

Sesaat, sebelum akhirnya memilih menggeleng lagi.

Aku menghela napas. Dalam. Menatap lekat sepasang mata yang baru kusadari bahwa ada bulir yang keluar dari sana. Ya, dia sempat menangis.

"Sakit?"

Ia mengangguk, perlahan.

"Di mana?"

Kini sepasang mata itu benar-benar menatapku. Mungkin menyadari bahwa pertanyaanku benar-benar sok peduli.

Tapi kenyataannya, aku memang peduli.

Lalu kembali gadis itu menunduk. Detik kemudian terlihat bahunya sedikit berguncang. Lalu, terdengar suara isak tangis perlahan. Hingga kedua tangannya terangkat demi menutupi wajah.

Aku terdiam. Memilih menatapnya. Menunggu suara isak itu menghilang.

"Ingin bercerita?" tawarku, setelah ia selesai mengelap sepasang matanya yang basah.

Tertangkap keraguan dalam bola matanya. Namun, berubah ketika bibirku tertarik menghadirkan senyum tulus.

"Aku ... benci Ayah ...." Suara itu terdengar lirih, tapi menghasilkan getar di kedua pundaknya.

Aku mengulur tangan. Menepuk bahu itu pelan.

"Kenapa?"

"Ayahku ... jahat."

"Kenapa?" tanyaku lagi, mendengar jawabannya membuatku tertarik untuk tahu lebih lanjut.

Namun, kedua bola mata itu justru memberi tatapan ragu. Ada sorot enggan, merasa bahwa aku tak pantas untuk tahu tentang kehidupannya.

Baiklah, aku tak akan memaksa.

Kami saling diam, hingga menit kemudian gadis itu turun dari ranjang dan keluar begitu saja.

Aku tak menahannya. Hanya menatap entah pada sosok yang seolah menyimpan luka dalam tatapannya. Seakan merajut kebencian dalam hatinya. Hanya karena satu hal ....

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang