Membenci Ayah 4

36 14 0
                                    

Pagi. Aku membuka mata. Masih terasa mengambang setengah sadar saat terdengar suara batuk perlahan dari kamar sebelah. Kamar Mama.

Bergegas aku menyibak selimut dan menghampiri kamar Mama. Terlihat pintu berwarna cokelat tua itu telah terbuka sehingga menampakan seorang wanita di dalam sana.

Wanita yang semakin hari terlihat semakin payah.

"Mama?" Aku duduk di bibir ranjang, sebelah kepalanya.

Sesaat, hela napasnya terdengar berat. Aku terdiam, menatap mata redup itu lekat. Hingga detik kemudian, terlihat tangannya sedikit bergerak meraih telapak tanganku.

Hangat dan penuh rasa sayang.

Lalu wajah pucat sendu itu tersenyum manis, bersama mata yang terbuka memamerkan kaca-kaca.

"Ravandra ... mama hampir selesai, Nak ...."

Jantung berdebar. Sejenak merasa bahwa yang diucapkan Mama tidak dapat kuterima. Tapi, logika masih berjalan. Maksudku, belum tentu kan mengarah ke ... kematian.

"Maksud Mama?" tanyaku.

Kini wanita itu memalingkan wajah. Masih jelas senyum tipis itu bersarang di sana. Hingga terdengar kembali suara lirihnya.

"Kamu belum sekolah?"

Aku terdiam. Melangkah ke arah jendela lalu menyibak helai gorden yang menutupi kaca. Sesaat mendorong jendela, membiarkan udara segar menyeruak ke dalam kamar.

Kemudian menatap langit pagi yang terlihat cerah. Bingung.

Antara sekolah atau Lavira.

"Kamu akan bolos kembali?" Mama bertanya pelan.

Terlihat dari tempatku berdiri, Mama menggeliat berusaha duduk. Segera aku menghampiri, membantunya.

Lalu setelah itu, mata kehitaman itu menatapku tajam, tapi tidak setajam dulu. Saat terakhir kali dia mengetahuiku bolos sekolah, lalu marah besar dan jatuh sakit.

Aku menghela napas. Tak mau hal buruk itu terjadi kembali.

Terdiam sesaat, hingga akhirnya memilih menggeleng.

.

Selesai membuatkan makanan untuk Mama, aku berangkat ke sekolah.

Relung hati kembali terasa sunyi saat langkah terhenti di persimpangan gang sekolah. Tempat terakhir kali aku dan Lavira berjalan bersama.

Aku menghela napas. Memasang kembali topi sweeter, lalu menyimpan tangan ke dalam saku dan lanjut melangkah.

Langkah semakin cepat dengan tatapan lurus ke depan, mengabaikan beberapa pasang mata yang terlihat memerhatikan. Entah apa yang mereka lihat, mungkin menilai, mungkin membicarakan, mungkin juga terpesona.

Detik waktu berlalu cepat. Sambil bersandar di dinding aku melamun menatap jauh ke luar jendela. Di mana awan putih terang menggantung indah.

Sibuk melayangkan pikiran kepada Lavira, kepada Mama, dan kepada ... Ayah.

Sosok ayah yang kubenci tanpa wujud. Aku membencinya tanpa pernah melihat kesalahannya. Karena segala dosanya telah berjejak.

Seperti jejak tak tampak yang sibuk aku ikuti. Membuatku tersesat dalam riuh emosi dan kebencian tak bertuan. Tanpa kesempatan.

Sama seperti Lavira, hanya saja gadis itu mungkin pernah memeluk dan mendapat kasih sayang dari sosok yang dibenci.

Ayah.

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang