⭐
Selesai mengurus semua keperluan, akhirnya aku pindah ke Kalimantan.
Di sini, belum banyak yang kulakukan selain mencari sebuah rumah untuk ditinggali. Belum genap dua minggu, aku telah mendapatkan sebuah rumah minimalis dengan dua kamar dan bagian-bagian lainnya yang cukup pas, mengingat aku hanya seorang diri sekarang.
Di ruang tengah, yang berhadapan langsung dengan pintu masuk, aku melangkah ke sana. Perlahan. Berdiri mengakiri langkah di ambang pintu dengan satu tangan tersimpan di saku, sementara tangan satunya mengarah ke mulut demi menyesap kopi.
Memikirkan tentang langkah selanjutnya. Akan ke mana. Sekolah, pekerjaan, atau ... mencari ayah dan gadis itu.
Lavira.
Ah! Sampai kapan aku akan terus memikirkannya? Kenapa selalu dia yang datang memenuhi kepala saat hening. Membiarkan mata sendu penuh sembab dan derai itu bergentayangan di pikiran. Lalu akan tersenyum tanpa aadar saat teringat bibir gadis itu tersenyum. Manis.
Apa ini namanya rindu?
Jika iya, lalu apa obatnya?
Apakah jika seseorang yang terkena penyakit Malarindu, akan dilarikan ke ruang i see you?
Karena sedarurat itu?
Aku menggeleng. Menatap jauh ke seberang jalan. Lalu tertawa geli sambil kembali ke dapur.
***
Beberapa berkas yang diperlukan untuk mengurus kepindahan telah siap sempurna dalam tas hitam di punggung. Aku meraih helm, mengenakannya. Lalu meluncur tenang di jalan aspal.
Motor melambat saat berbelok memasuki sebuah gerbang putih luas yang dijaga oleh seorang satpam. Lelaki itu sempat berdiri, tapi aku hanya bersikap biasa saja hingga terhenti di tempat parkir.
Aku melirik arloji di tangan, baru pukul tujuh. Tepat waktu. Aku memerhatikan sekilas sekolahan yang masih tampak lengang. Lalu segera menuju kantor. Mengurus semuanya.
"Ravandra." Wanita cantik dalam balutan seragam dinas kecokelatan itu menyebutkan namaku dengan lembut. Tapi terpancar nyata ketegasan di matanya.
Aku hanya diam, karena tahu dia tidak sedang bertanya.
"Hampir dua bulan," ucapnya, menatapku dengan dahi sedikit berkerut.
"Ya?"
"Kamu sangat terlambat mengurus surat pindah ini."
"Ya ... kemarin aku menimpa musibah." Aku menyahut pelan.
Dia menghela napas. Merapikan berkas-berjas di tangan, lalu meletakannya rapih di meja.
"Dengar, sebagai seorang guru, saya sangat ingin kamu lanjut sekolah. Tapi dari sisi lain, ini benar-benar rumit."
Aku menatapnya, lekat. Berharap ada sedikit jalan tanpa liku di sana. Tanpa halangan. Serta syarat-syarat menyusahkan.
Dia bangkit berdiri. Masuk ke ruang kepala sekolah dengan membawa berkas itu. Beberapa menit, ia keluar dan membawaku juga ke sana.
Aku melangkah santai. Lalu duduk di sofa yang berhadapan langsung dengan kepsek.
Di tangan pemimpin SMA 3 itu, ada berkas-berkas yang dibawa tadi.
"Ravandra?" Dia memanggil, bersama tatap tegas yang menyorot lurus ke arahku.
"Ya, Bu?" sahutku.
"Jika kamu telah memilih meninggalkan pendidikan, kenapa ingin kembali?"
Aku menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)
SonstigesTentang seorang pemuda yang tidak diterima oleh keluarganya, karena dosa sang ayah. . Next on story. Gaes cerita ini udah on novel ya, jadi buat kamu yang mau pesan, langsung chat wa admin 082157648251. Tengkyu! :) . Sedikit catatan, ini adalah kisa...