Membenci Ayah 5

29 9 2
                                    

Pernah merasa kehilangan? Kehilangan sesuatu yang belum sempat dimiliki?

Tapi ... bukan berarti tidak bisa kembali, bukan?

Ya, jauh dalam hati, aku berharap bahwa gadis itu akan kembali. Atau takdir membawa kami bertemu lagi. Karena aku rindu binar matanya, rindu raut senyumnya, rindu suaranya.

Dan juga rindu memeluknya.

Aku menghela napas, berbelok dengan langkah santai memasuki halaman rumah yang begitu sunyi.

Pintu terbuka. Seraut wajah yang kucari tak tampak di ruang TV. Beralih segera ke kamarnya, tapi saat pintu dibuka hanya kekosongan yang ada.

Aku melangkah segera ke dapur. Debar ketakutan yang tadi sempat hilang, kini muncul kembali. Hingga langkah berakhir di dapur, debar jantung mulai meliar tak beraturan.

"Mama ...?"

Aku menuju kamar mandi, terlihat kursi roda yang kerap ia pakai terletak asal di samping pintu toilet yang setengah terbuka. Sementara mataku membesar demi melihat ke dalam toilet yang gelap itu.

Lalu menahan napas saat melihat sesuatu yang hitam agak besar tergeletak di lantai.

Segera aku menyambar masuk. Memencet tombol lampu dan hendak menyambar ... tapi tertahan karena tenyata itu bukan Mama. Melainkan tumpukan pakaian yang memanjang.

Sejenak, ada rasa lega. Tapi kembali khawatir mencari Mama.

Huh! Ke mana Mama? Perasaanku menjadi tak enak, mengingat apa yang dia katakan pagi tadi. Arrgh! Aku mengacak rambut, frustrasi.

Bingung. Kutatap remang langit-langit rumah sambil sesekali mengusap kasar wajah. Takut.

Takut kehilangan Mama.

"Mama ...?" Aku memanggil lagi.

Hening.

Beralih ke loteng.

"Mamaa ...?" Aku berteriak.

Hening juga. Aku menghela napas kasar, tertawa sinis. Menyadari bahwa Mama tidak mungkin bisa sampai ke loteng.

Persetan!

Ke mana Mama? Bukannya kursi roda dia ada di sini?

Shit!

Cepat aku menuruni anak tangga, memeriksa ruang demi ruang hingga ke gudang, tapi tetap tak kutemukan Mama. Hingga mengitari halaman rumah pun, ia tetap tak terlihat.

Aku menghela napas, lelah. Lalu melangkah ke teras rumah, memilih duduk dan menebak di mana Mama dalam kacau.

Tapi malah pikiran-pikiran negatif muncul. Tentang penyakit Mama, dan tentang ... Mama yang meminta ayah pulang.

Tunggu! Tidak, jangan sampai! Mama tidak mungkin mencari ayah. Tidak mungkin!

Aku menghela napas kasar. Tak kupungkiri ada rasa sesak yang mulai bersarang di dada. Lalu memilih menutup wajah keras, frustrasi.

"Andra?"

Aku membuka wajah, terlihat seorang wanita setengah baya berjalan memasuki halaman rumah, dan berhenti di depanku. Bersama raut wajah sedikit tak nyaman. Dia tetangga kami.

"Iya?"

Dia menghela napas. "Tadi rencananya tante mau ke sekolah kamu, tapi tidak jadi karena ada kamu di sini. Tante mau bilang, mama kamu masuk rumah sakit."

"Apa?"

Mataku membulat. Tak kurasakan detak jantung. Hingga setelah menghela napas berat.

Selesai berpamit sesaat, segera aku berlari ke jalan raya dan menyetop tukang ojek. Setelah menyebutkan alamat yang dituju, motor meluncur dengan laju.

Berlari aku menelusuri koridor rumah sakit. Sempat sesekali bersenggolan dengan beberapa orang, hingga menimbulkan decak tak suka dari mata mereka. Lalu berhenti dengan napas memburu di meja perawat.

"Kamar Bu Diana di mana, sus?"

"Anda keluarganya?"

"Ya!"

"Dia masih di ruang UGD, di sana."

Aku menarik napas. Melangkah agak pelan ke sana. Membuka pintu itu perlahan, hingga terlihat seraut wajah pucat yang terbaring lemah di ranjang.

Saat aku di sampingnya, mata itu terlihat menyorot tajam, tetapi hanya mampu meredup lemah.

"Andra! Berhentilah membuat masalah di sekolah!"

Aku menatapnya, kaget. Tahu dari mana Mama kalau aku sempat ada masalah di sekolah?

"Kata siapa?"

"Gurumu meneleponku tadi!"

Aku terdiam.

.


Riuh yang tadi tercipta di beberapa siswa seketika menghilang berganti hening saat menyadari ada aku yang melangkah melewati mereka. Sempat terdengar gumam mereka sambil menatap ke arahku. Entah. Yang jelas, kini langkahku mantap menuju kantor.

Sengaja aku menyembunyikan kepalan tangan di saku celana, saat kebetulan orang yang kucari terlihat tengah berjalan sendiri di koridor kantor.

Pria sialan!

Pak Damin.

Lalu saat pasang mata itu menyadari ada aku yang berjalan ke arahnya, dia segera berhenti. Membalas tatapan tajam dariku.

Dan saat aku hampir mendekatinya, dia angkat bicara.

"Sedang apa kamu di sini?"

Tanpa menjawab, kerah seragam dinas kecoklatan itu kucengkeram kasar. Hampir melayangkan tinju jika tidak menyadari bahwa banyak siswa yang telah berkumpul menonton kami.

Aku termundur, memilih mendorong tubuh itu kasar. Masih terlihat jelas bagaimana raut kagetnya yang bercampur marah.

"Kenapa harus melapor ke Mamaku?" Aku menyentak penuh emosi.

Sempat mengatur deru emosi yang memicu kelajuan debar dada, lalu sekilas menatap para guru yang mulai datang berkumpul.

"Ravandra!"

"Tidak ada akhlak kau jadi murid!"

"Tidak pernah dididik ayahnya, makanya seperti itu!" desis Si Berengsek Damin, sinis.

"Jaga mulut Anda, Guru!"

Aku menyambar.

Brugh!

Satu tinju lepas, tapi bukan menghantam kepalanya. Melainkan tembok. Shit!

"Ravandra!"

"Hentikan!

"Pak Damin, tahan!"

"Sabar, Pak!"

Marah riuh itu sungguh berisik. Aku tak bisa berkutik, selain diam dalam dekapan banyak siswa yang menahan. Pun Si Gila itu.

Masih tetap tajam menatap dia, hingga mendengar seorang guru berbicara keras.

"Andra, mulai besok, kamu keluar dari sekolah ini!"

Aku menahan napas. Menatap wajah itu tak percaya, tapi hanya memilih diam.

Pasrah.

***

Aku berhenti di depan gerbang rumah sakit. Sesaat terdiam, menyadari bahwa aku masih mengenakan seragam sekolah. Lalu perlahan menurunkan keresek makanan yang kubawa sebagai alasan meninggalkan rumah sakit tadi, kemudian melepaskan seragam putih dan hanya mengenakan kaos hitam polos. Mengambil kembali keresek makanan, dan lanjut melangkah.

Aku berdiri terdiam. Sesaat kebingungan mencari Mama di antara beberapa pasien lainnya. Karena di tempat pembaringannya tadi, Mama tiada.

Mungkin dipindahkan, pikirku tenang.

Aku beralih ke meja perawat. Bertanya pada mereka di mana Mama.

"Anda keluarga pasien?" balas seorang perawat.

"Saya anaknya."

"Maaf, pasien ... baru saja meninggal."

.

Next

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang