Membenci Ayah 9

19 2 0
                                    

Motor berhenti di bagasi kecil samping rumah. Aku melepas helm, dan segera memasuki rumah. Sejenak merebahkan tubuh di atas kasur, lelah. Pikiran.

Semakin mengingat anak kecil dan ayahnya di kedai tadi, aku semakin ingin bertemu Ayah. Ayah yang entah ada di mana.

Bangkit , dan duduk bibir kasur. Mengusap wajah serta menghela napas. Entah. Bingung, kapan akan kumulai pencarian ini?

Tak ada petunjuk apa pun selain hanya cerita dari kota waktu itu, membuat semua niat ini sangat-sangat mentah. Menyeret dalam langkah kepasrahan.

Aku bukan tak siap hidup di perantauan, tapi ... aku hanya takut tersesat dalam kebingungan.

Aku menghela napas. Sejenak melirik arloji di tangan yang menunjukan hari semakin sore. Lalu segera melepas seragam dan menggantinya dengan celana pendek. Detik kemudian menarik handuk. Mandi.

***

Aku menangkup telapak tangan di atas kepala, seolah bisa melindungi diri dari gerimis hujan. Lalu segera melompati parit dan berhenti di koridor kelas.

Sejenak menarik lengan sweeter hingga ke siku, hingga bisa mengelap sisa-sisa air di tangan. Sempat menoleh sekilas, hingga tersadar bahwa ada seorang gadis berambut paniang sedang berlari dari tengah lapangan menuju ke arahku.

Gadis jutek itu.

Aku berdecak. Sempat melangkah pergi, saat gadis itu menjerit.

"Aaa ...!"

Dia jatuh tepat ke pelukanku.

Aku menahannya, erat. Membiarkan tatapan kami bertemu dalam waktu yang seolah melambat dengan desir halus di dada. Entah.

Detik kemudian, gadis itu melepas pelukan. Berdecak sinis seolah dia yang dirugikan. Padahal jika bukan karena aku, pasti dia akan terjerembab ke lantai.

"Dasar modus!"

"Ditolongin bukannya terima kasih!"

"Oh, ya. Makasih!"

Aku menatapnya dingin tanpa membalas kata apa pun, membiarkan raut jutek itu dibawa pergi menjauh dan hilang di balik tembok kelas. Aneh dan menyebalkan!

.

Seorang wanita dewasa yang memiliki bentuk wajah setengah barat itu memasuki kelas. Berakhir ketika menarik kursi dan meletakan beberapa buku tebal yang ia bawa di meja. Lalu seperti biasa, menatap satu-persatu murid di kelas. Aku menatap ke lain arah.

Dan menyudahinya dengan memanggil nama seseorang.

"Naratha?"

"Ya, Bu?" Terdengar suara seorang gadis menyahut. Entah siapa.

"Bisa ke depan sebentar?"

Saat aku menatap ke arah depan, aku sedikit mengerutkan dahi. Gadis jutek itu ternyata. Terlihat dia tengah menarik kursi dan duduk di hadapan Miss Grassya, guru Bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami.

Aku memerhatikan. Mereka berbincang agak lama. Sesekali Naratha terlihat menunduk dan menggeleng. Hingga akhirnya gadis itu kembali ke kursi, sempat tertangkap kilap di mata itu sebelum ia menghapusnya cepat dengan pura-pura mengucek mata.

Lalu suasana kembali seperti biasa.

***

Pulang sekolah, aku tak langsung ke rumah. Melainkan singgah sebentar ke aebuah kafe. Rencananya aku ingin menemui pemilik tempat ini yang kemarin sempat berbincang denganku masalah pekerjaan.

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang