Membenci Ayah 6
⭐
Aku terdiam tanpa tenaga. Lutut terasa lemas, hingga tanpa sadar jatuh berlutut saat beberapa perawat terlihat mendorong keluar sebuah ranjang tempat Mama berbaring dari ruang UGD.
Hingga mereka di depan mata, aku bangkit berlari ke arah mereka. Sesaat terhenti, demi membiarkan aku melihat seraut wajah pucat di balik kain putih.
Sesak.
Aku tidak pernah menangis sebelumnya. Tapi kepergian Mama, adalah puncak dari kegilaanku!
Aku termundur. Membiarkan para perawat itu membawa mayat Mama. Tapi belum seberapa jauh mereka, aku segera berlari mengejar. Memeluk Mama untuk terakhir kalinya.
Berat. Aku belum siap. Aku belum siap kehilangan Mama. Dia satu-satunya yang kupunya di dunia ini!
Ini semua salahku!
Tapi ... kenapa? Kenapa aku harus merasakan segalanya sekaligus?
Berpisah dengan Lavira, dikeluarkan dari sekolah, dan ... hidup tanpa Mama.
Kenapa? Kenapa!
Aku melepas pelukan. Berdiri dengan derai yang masih deras mengalir. Memerhatikan bagaimana sosok yang kujaga setengah mati itu mulai menjauh, hingga akhirnya hilang di balik tembok.
Mama, Andra minta maaf. Tenanglah bersama Ayah di sana.
***
Saat peristiwa itu terjadi, detik waktu terasa sangat lambat. Tak kutemukan gairah apa pun dalam hidup, bahkan mengurus kepindah sekolah pun tidak. Hanya ada diam, dan hening yang sesekali ditemani petikan gitar mellow.
Aku mungkin masih mampu kehilangan Lavira, atau dikeluarkan dari sekolah. Tapi untuk menerima kepergian Mama, itu seolah seperti memaksa seseorang yang lumpuh untuk berlari. Tidak akan bisa.
Aku menghela napas, meletakan asal gitar di teras. Terdiam menatap langit malam yang indah. Sesaat, meraih sebungkus rokok dan menarik satu batang. Sempat menyalakan korek, tapi berhenti. Mengingat sesuatu.
Mama tak suka aku merokok.
Sesaat, menghela napas. Detik kemudian menaruh kembali rokok itu ke dalam tempatnya. Merasakan kembali sosok sebulan yang lalu telah pergi itu seolah ada di sini. Atau, ini hanyalah kerinduan.
Ya, rindu yang mati.
Kau tahu apa yang menyakitkan dari rindu?
Adalah ketika kau harus membunuh rindu itu sendiri.
Dan kau tahu, apa yang indah dari rindu?
Bukan saat kau bisa bertemu dengan sosok itu. Melainkan ketika rasa rindu itu terbalas, meski bentang jarak masih membatas.
Karena ketika rasa itu sama-sama ada, rindu tidak akan memiliki kekuatan apa-apa.
Aku menghela napas kembali. Bangkit berdiri, meraih gitar dan membawa masuk ke dalam rumah.
Ikhlas.
***
Siang.
Langkahku berakhir di depan cermin. Menatap seraut wajah yang mulai tampak berbeda. Masih tetap seperti remaja delapan belas tahun, hanya saja rambut gelapku sedikit memanjang.
Aku tersenyum. Menyadari wajah di dalam cermin itu benar-benar tampan. Aku tersenyum, dan berkedip sesaat.
"Permisi ...!"
Sedikit terkejut saat mendengar suara orang memanggil dari luar. Segera aku menyambar kaos dari lemari dan melangkah ke luar kamar. Aneh, tumben sekali kedatangan tamu.
Pintu terbuka. Menampakan seraut wajah wanita setengah baya yang langsung memamerkan senyum ke arahku. Aku membalas, lalu mempersilakan ia masuk.
Lalu berakhir dengan duduk di sofa ruang tengah secara berhadapan.
"Sebelumnya, saya turut berduka atas kematian mamamu. Seharusnya sejak mamamu meninggal, saya sudah datang untuk memberimu surat ini. Tapi karena saya baru saja melahirkan, saya sibuk dan tidak bisa ke mana-mana."
Wanita itu menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah sebuah map dan amplop cokelat.
"Ini surat warisan. Kamu satu-satunya anak mereka, maka seluruh harta mereka menjadi milik kamu," jelasnya, sembari meletakan benda itu di meja.
"Tanda tangan?"
"Ya."
Aku meraih pulpen di antara buku-buku yang berada di meia samping vas bunga kecil, lalu mulai menandatangani.
Saat selesai, wanita itu tersenyum kecil. Sekilas, tertangkap kaca-kaca di matanya.
Aku hanya memerhatikan diam-diam.
Lalu, dia mulai membuka amplop cokelat di meja. Mengeluarkan beberapa lembar foto jadul.
Wajah itu kembali tersenyum, sendu. "Lihatlah!"
Aku meraih dua lembar foto di tangannya, sempat keheranan sebelumnya, tapi segera berubah agak kaget saat melihat siapa di foto itu.
Dahiku mengernyit. Wajah-wajah di dalam foto itu sangatlah asing, kecuali seorang wanita yang tengah memakai kebaya khas pernikahan. Mama.
"Ini ... Mama?"
"Ya, Andra. Itu mamamu." Dia menjawab tenang.
Aku kembali fokus pada lembar foto di tangan.
"Itu ... pria yang berkemeja abu-abu di samping mamamu, dia ayahmu."
"Ayahku?"
"Ya ...."
Aku mengerjap berkali-kali saat rasa panas mulai menjalari mata bersama rasa sesak yang telah bersarang di dada. Perih.
Hampir delapan belas tahun tak kulihat wajah ayah, dan selama itu juga aku membencinya. Tapi begitu melihat wajah pria muda yang penuh kebahagiaan di foto itu, hatiku enyuh. Menyesal.
Dan tanpa sadar airmata kembali menetes lagi.
Aku menghela napas dalam-dalam, lalu meletakan foto itu di meja. Dan beralih kepada lembar foto yang lain, di mana terlihat juga wajah ayah yang berdiri di tengah dua orang pria sebayanya.
Mataku menyipit, menyadari bahwa salah satu dari mereka kukenali. Aku meraih foto itu, menatap lekat.
"Ini Pak Damin?" tanyaku, menunjuk seorang laki-laki di sisi kiri.
"Kau mengenalinya?" Wanita itu sedikit terkejut.
"Dia guruku." Aku menjawab.
"Dia teman ayahmu."
Apa?
Seperti ada yang menohok kembali jantungku. Guru sialan itu tidak mungkin teman ayahku. Selama ini dia selalu mencari kesalahanku di sekolah. Persetan!
Aku kembali menghela napas, kasar.
"Dan pria yang di sisi kanan itu ... dia ayah kandungmu."
.
Next.
KAMU SEDANG MEMBACA
Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)
RandomTentang seorang pemuda yang tidak diterima oleh keluarganya, karena dosa sang ayah. . Next on story. Gaes cerita ini udah on novel ya, jadi buat kamu yang mau pesan, langsung chat wa admin 082157648251. Tengkyu! :) . Sedikit catatan, ini adalah kisa...