Membenci Ayah 3

48 17 2
                                    

Laki-laki setengah baya berpakaian tebal dengan celana kain panjang terlihat tengah berdiri dalam wajah dingin dan sedikit raut lelah. Tapi dari mata itu, dapat kurasakan ketajamannya.

Perlahan dia menuruni anak tangga dengan satu tangan memegang pagar besi. Lalu, terhenti beberapa jarak tangga dariku.

"Mencari Lavira?"

Sosok itu bertanya dalam suara datar, sedang matanya masih tetap menyorot tegas. Khas seorang ayah yang menilai pria untuk putrinya.

Kini, aku bisa lebih dekat menatap wajah beraut sendu itu. Ada garis sedih di sana, tapi tertutupi oleh ketegasan dan tajamnya pandangan. Dan aku bisa menilai, bahwa dia bukanlah orang biasa.

Kami duduk berhadapan di sofa ruang tamu dengan sebuah meja sedang sebagai pembatas. Hening terlalu lama menyelimuti. Sesaat aku melupakan tentang Lavira, fokus kepada pria tua yang kutaksir adalah ayahnya.

Menit berlalu, menyisakan debar dan banyak tanya di kepala. Namun, pria itu hanya diam tanpa ingin bicara. Bukan, tapi dia terlihat sibuk memerhatikanku.

"Saya mencari Lavira." Aku mengangkat suara, memecah hening yang tercipta.

"Kenapa?" tanyanya.

"Dia teman saya. Apakah Anda ayahnya?"

Kini pria di depanku menghela napas perlahan sambil menyilangkan kaki, gaya duduk seseorang yang memiliki harga diri tinggi. Sementara aku hanya tegap dengan kedua tangan bertumpu di paha. Serta sorot tak kalah tajam dengannya.

"Kau ternyata punya keberanian untuk datang ke sini," desisnya, bersama gurat senyum yang bergaris sama seperti Lavira.

Aku hanya tersenyum.

"Padahal, putriku itu tidak pernah memiliki teman. Apalagi teman laki-laki," sambungnya.

Aku kembali tersenyum miring. Bukan karena Lavira tak punya teman laki-laki, tapi karena dia yang berkata 'putriku'.

Oh. Jadi, ini sosok ayah yang Lavira benci?

Tapi kenapa?

Hampir lidah bergerak ingin bertanya, tapi yang terjadi hanyalah mengatup rahang. Setidaknya, aku jangan kelewatan kali ini.

"Dia anak yang pintar. Dia suka membaca, dan mudah menangis. Tapi bukan berarti dia tidak bisa tertawa, dia hanya pendiam. Terkadang ... Lavira terlihat sangat kesepian semenjak mamanya meninggal."

Awalnya, aku hanya memerhatikan dengan biasa saja. Tapi setelah ia menyinggung kematian mamanya Lavira, aku merasa agak dongkol. Mengingat apa yang dikatakan Lavira waktu di rumah sakit itu, sangat berbanding terbalik dengan garis wajah ayahnya sekarang.

Penuh sendu dan rasa kehilangan.

Tapi kenapa? Bukankah kata Lavira, bahwa ayahnya pulang hanya untuk mengambil hati mamanya?

Yang secara tidak langsung menyatakan bahwa dialah yang membunuh istrinya sendiri.

Lalu ekspresi apa ini? Pencitraan? Kebohongan?

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang