Membenci Ayah 11

21 5 1
                                    

Membenci Ayah 11

            Naratha turun dari motor dengan merengut. Wajahnya hanya manyun tak jelas sepanjang perjalan. Aku menghela napas. Ditolongin kok malah seperti itu? Aneh.

"Tahu dari mana sih alamat rumahku?" Ia bertanya, sesaat setelah kami berjalan beriringan menuju kelas.

"Pak Alsey." Aku menjawab santai.

Dia terhenti. Kaget mungkin. Lalu, menatapku dengan dahi berkerut.

"Kamu mengenalnya?"

"Ya."

"Kok, bisa?" tanyanya tak yakin.

"Ya bisa lah!" Aku mendesis.

"Kamu ada hubungan apa dengan Pak Alsey?" Ia bertanya lagi. Penasaran.

"Aku kerja di sana, tiap malam."

"Kerja malam?"

"Ya."

Langkah Naratha terhenti. Berganti dengan tatapan entah padaku.

"Jangan mikir macam-macam. Aku hanya menyanyi, bukan jual diri!"

Alis Naratha merapat. Detik kemudian tawanya tersembur keras dari bibir merah jambu itu.

Aku menatapnya, datar.

"Suara mirip tikus dimakan kucing aja gayaan mau nyanyi!" cercanya.

"Gak lucu!"

Aku melangkah duluan. Membiarkan di tertawa puas di belakang sana. Terserah.

***

          Pak guru yang mengajar pelajaran matematika keluar dari kelas sebagai tanda bahwa pelajaran telah usai. Murid-murid lain mulai keluar menuju kantin seperti biasa, sementara seorang gadis masih duduk di mejanya sambil menggulung asal rambut.

Aku menghampiri.

"Kantin, yuk?" ajakku, setelah tepat berada di depannya.

Naratha menurunkan satu tangan dari kepala, sementara tangan lainnya sedikit membenahi cepolan rambut. Lalu menatapku.

"Duluan aja," balasanya jutek.

Aku menghela napas. Menariknya paksa. "Ayo!"

"Andraa ...!"

.

"Tumben baik. Pasti ada maunya, ya?" Naratha bertanya sinis.

"Emang sudah baik dari lahir." Aku menyahut santai.

"Ish!" Gadis itu memanyunkan bibir, gemas.

Sesaat kami menunggu, akhirnya dua mangkok bakso yang dipesan telah datang. Naratha lantas melahapnya cepat. Aku baru sadar, kalau tadi pagi ia tak sempat sarapan karena aku.

"Telan sama mangkoknya sekalian. Kalau udah habis, gak boleh nambah! Kecuali bayar sendiri."

Gadis itu mendongkak sambil menelan kunyahannya. Menatapku jengkel.

"Kalau gak ikhlas, bilang!"

"Ikhlas, kok. Cuma takutnya kalau dibolehin nambah, kamu makannya kayak orang kesurupan." Aku membalas santai, lalu melahap makanan juga. Menahan senyum melihat ekspresi dongkol Naratha.

"Sembarangan!" Dia mendelik. Sempat melepas sendok di genggaman. Membiarkannya di mangkok begitu saja.

Aku meneguk es di gelas, sesaat.

"Kok, berhenti? Makan."

"Gak nafsu!" Dia cemberut.

"Yakin? Enak, loh!" Aku menggodanya. Dengan melahap bakso senikmat mungkin.

Membenci Ayah (GANTUNG KE HUBUNGAN LU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang