BAB 2

567 66 1
                                    

ALVIN

Aku melemparkan tas dan blazer ke meja lalu menghempaskan tubuhku di atas sofa. Setelah rangkaian kejadian di kantor yang membuatku pusing, Happy Bar pun membuat kepalaku tidak merasa lebih baik.

Sky sulit sekali ditemui, bahkan saat aku sudah memintanya untuk bertemu di Happy Bar. Aku butuh konsultasi dengannya. Bagaimana bisa aku memutuskan tawaran siang tadi tanpa diskusi dengan Sky? Dia yang lebih punya kuasa untuk memutuskan nasibku di perusahaan. Dia juga yang akan menendangku keluar jika aku melakukan apa yang tidak disetujuinya.

Ponselku berbunyi. Aku merogoh saku celana dan melihat satu pesan dari Riza.

Riza : Dia telpon gue.

Dia? Aku tidak ingat membicarakan seseorang dengan Riza kecuali soal Sky.

Aku : Siapa?

Riza : Joana. Dia telpon gue barusan.

Joanna? Pacar barunya?

Aku : Pacar baru lo?

Riza : Cewek yang di bar tadi.

Oh, gadis gila itu. Permainan macam apa yang menjadikan nomor ponsel orang sebagai bahan mainan? Mereka pikir mereka itu masih anak SD?

Tidak peduli dengan pesan Riza, aku bangkit dari sofa menuju ke dapur. Di meja makan sudah ada tudung saji. Itu tandanya Ibu datang siang tadi. Aku membuka tudung saji. Sudah ada udang balado dan tumis kangkung. Dua makanan kesukaanku. Secarik kertas ditempel di meja.

Ibu sudah masak nasi, cukup sampai kamu sarapan besok. Di kulkas ada ayam ungkap, tinggal digoreng. Jangan lupa makan.

-Ibu-

Aku tersenyum membaca pesan Ibu. Aroma masakannya sangat menggoda, yang berarti Ibu baru saja memasaknya. Aku menarik kursi makan dan mencicipi udang balado. Eum! masakan Ibu memang tidak ada yang bisa mengalahkan.

Sampai detik ini aku merasa bahwa aku tidak tinggal sendiri. Meskipun aku menyewa sebuah unit rumah susun dan tinggal sendiri tetapi Ibu, Ayah atau Kakak perempuanku akan datang tanpa seizin aku. Dan mereka akan memakiku habis-habisan jika aku tidak memberi mereka satu kunci cadangan unit.

***

Aku membuka pintu ruang kerja Sky tanpa mengetuk pintu. Sky terlonjak dari singgasananya sambil berteriak kaget.

“Sori,” ucapku asal.

“Nggak sopan!” Dia mengusap dada. “Ketuk pintu sebelum masuk dong. Gue kan bos lo.”

“Okay.” Aku mundur lalu menutup pintu. Kemudian mengetuk pintu sesuai yang dia minta. “Sudah boleh masuk?”

“Sialan lo. Masuk!”

Aku terkekeh sembari membuka pintu. “Adik-Kakak samaan. Temperamen.” Aku duduk di sofa empuknya. Alangkah bagusnya jika aku juga punya sofa seperti ini di ruanganku. “Ah... enaknya.”

Sky melempar sebuah dokumen tepat di atas meja di hadapanku. “Maksud lo apa, Vin? Lo gila sudah tolak promosi jabatan. Kepala lo kebentur apa? Tiang listrik?”

“Pintu kantor lo.” Aku tertawa tanpa merasa bersalah. Aku sudah tahu dia akan memakiku saat beberapa menit yang lalu dia menelepon ke meja kerjaku dan memintaku untuk datang ke ruangannya. Dia pasti tidak terima dengan penolakanku.

Sky tahu persis aku seperti apa. Aku tidak suka segala sesuatunya dipermudah hanya karena aku memiliki banyak koneksi. Aku bahkan masuk ke perusahaan ini tanpa memberitahunya terlebih dahulu yang notabene Sky adalah mantan senior terdekatku di kampus. Meski kami memiliki hubungan akrab sejak dulu, aku tidak pernah mau memanfaatkan hubungan kami. Aku merasa itu tidak adil untuk semua staff di perusahaan ini.

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang