BAB 9

315 52 2
                                    

JOANA

Sekarang ini, bolehkah aku mengatakan jika dia tidak boleh tahu bahwa aku menyukainya? Ya, aku rasa aku menyukai laki-laki yang masih tertidur lelap di sofa itu. Laki-laki yang belum juga sadar bahwa aku sudah memerhatikan wajahnya lebih dari sepuluh menit. Rekor bagiku karena aku tidak pernah melakukannya sebelumnya, bahkan pada mantan pacarku sekalipun.

Dia menepati janjinya. Semalaman dia mendengar semua ceritaku. Akhirnya aku bisa meluapkan segalanya tentang keluargaku pada seseorang. Selama aku bercerita, tidak ada satu solusi pun keluar dari mulutnya. Dia hanya merespon ucapanku, berusaha menenangkanku tiap kali aku terbawa emosi, dan mengusap bahuku. Memang orang seperti itu yang kubutuhkan di saat aku merasa terpuruk. Aku tidak butuh solusi, nasehat, bahkan campur tangan orang lain. Yang aku butuhkan adalah orang seperti Mas Alvin. Yang mau mendengarkan tanpa memberi pembenaran atas apa yang aku atau kedua orangtuaku lakukan.

Pagi tadi, aku terbangun dengan kepalaku bersandar di bahunya. Kami tertidur di sofa. Cerita yang cukup lama dan berliku, membuat kami sama-sama makin lelah dan mengantuk. Aku merasa harus berterimakasih padanya. Dia begitu baik. Dia berbeda dengan Alvin yang pertama kali aku lihat di Happy Bar. Aku yakin inilah sosok dirinya yang sebenarnya. Aku menyukainya. Hanya sekadar suka, entah kemana nantinya perasaan ini membawa hatiku pergi. Yang pasti, sampai pada saat ini, aku tidak mau menyalah artikan semua kebaikannya. Sekali lagi kukatakan, aku menyukainya. Hanya sekadar suka.

Sebuah ponsel berbunyi di atas meja. Ponsel Mas Alvin. Sejauh ini hanya Sam, nama seorang gadis yang pernah Mas Alvin sebut, dan kini aku melihat nama gadis lain di ponselnya. Reika.

Tepat saat aku akan membangunkannya, Mas Alvin sudah lebih dulu tersadar. Dia cukup terkejut melihatku kemudian dia meraih ponselnya. Dalam beberapa detik dia menatap layar ponsel lalu bangkit berdiri dan menjawab panggilan itu dengan suara lembut.

"Ya, Rei? Maaf aku baru bangun."

Mengapa kalimatnya membuat perasaanku terasa aneh? Baru kali ini dia bicara sebegitu lembut pada seorang gadis. Aku bangkit berdiri, berjalan menuju dapur, membuka tutup panci yang berisikan sup ayam yang baru saja kubuat. Aromanya tidak lagi menggugah selera makanku seperti saat baru matang tadi. Mengesalkan.

"Jo?" Mas Alvin menyusul ke dapur. Dia menggaruk belakang lehernya, tidak lagi menatap kedua mataku seperti semalam. "Kamu masak?"

"Iya. Maaf pakai bahan makanan di kulkas Mas Alvin tanpa izin. Maaf juga semalam jadi ketiduran."

"Hah?" Dia seperti salah tingkah.

Saat aku akan bertanya, seorang wanita datang dan berhenti di ruang tamu. Wanita yang kini menatapku itu terlihat seperti wanita dewasa yang sempurna. Tubuhnya yang ramping, tinggi, rambut panjang, dan wajahnya yang begitu cantik meski aku tahu dia pasti hanya memakai bedak tipis dan lipstick merah muda. Dia terlihat sempurna.

"Oh... ada tamu?" Aku membuat senyuman seramah mungkin. Aku tidak boleh posesif. Memangnya Mas Alvin siapaku?

"Ini Reika." Mas Alvin memperkenalkan wanita itu. "Reika, ini Joana."

Kami bersalaman. Tidak hanya wajahnya yang cantik, senyumannya pun sama cantiknya. Aku tidak mau membohongi diriku sendiri tapi aku memang benar-benar... iri.

"Pacar baru Alvin?" tanyanya.

"Hah?" Aku mengerjap.

"Rei..." Reaksi Mas Alvin membuatnya tertawa. "Nggak lucu, Rei."

"Habisnya semalam katanya kamu capek, mau istirahat, tapi pagi-pagi gini ada cewek di tempatmu." Reika melipat kedua tangan di dada sambil tersenyum pada Alvin. Dan tatapannya... "Aku kira kamu sudah move on dari aku."

Oh, mantan pacar.

Kedua tanganku yang ada di belakang punggungku meremas kuat ujung bajuku. Sebenarnya aku paling tidak suka jika sedang merasa putus asa tapi ditambah dengan perasaan aneh seperti ini. Aneh yang kumaksud adalah ketika aku merasa hati ini terasa sakit sementara aku tidak berhak mencegah rasa sakit ini karena aku tahu aku bukan siapa-siapa. Padahal aku tahu seharusnya aku tidak menganggap khusus perlakuan Mas Alvin selama ini.

"Eng... aku kayaknya harus pulang," kataku sambil melihat jam di tanganku.

"Ada keperluan lain?" tanya Mas Alvin.

Aku menggeleng. "Tapi aku mungkin mau ketemu Jonathan dulu. Aku harus ngomong sama dia." Aku harus minta maaf padanya. Tidak seharusnya aku menyalahkannya seperti kemarin. "Aku sudah masak. Mas Alvin dan Kak Reika bisa sarapan dulu."

"Di luar masih gerimis. Kamu nggak bawa mobil."

"Naik taksi hehehe... Eum... aku permisi ya."

Aku melewati mereka tetapi Mas Alvin menahan tanganku. "Sarapan dulu."

Otak dan hatiku kompak menolak. Tidak boleh lagi menganggap perhatian Mas Alvin secara khusus, dia hanya berbasa-basi. "Sudah minum teh hangat, sudah kenyang, Mas." Aku mengangguk sambil tersenyum pada mereka. "Pulang dulu ya."

Aku mengambil ponsel dari sofa, memasukkannya ke dalam saku, lalu segera bergegas pergi sebelum aku tergiur untuk tetap tinggal dan melihat bagaimana mereka sangat cocok satu sama lain. Sekali lagi kuperingatkan pada diriku sendiri, aku tidak boleh cemburu.

***

ALVIN

"Kamu mau kejar dia?" tanya Reika. "Dari tatapanmu... kayaknya kamu khawatir banget."

Khawatir? Mungkin. Setelah mendengar ceritanya semalam aku merasa dia adalah gadis kuat tetapi lemah di waktu yang tepat. Dia kuat saat tidak ada satu orang pun di sekitarnya selama bertahun-tahun, dia hidup seolah tidak bersama siapapun. Tetapi di saat dia hanya membutuhkan keluarga yang utuh, kedua orang tuanya justru menjadi penghancur kebahagiaannya. Dan aku tidak merasa baik-baik saja saat dia bilang dia harus menemui Jonathan.

"Kejar dia."

Aku menoleh pada Reika. "Kenapa harus?"

Reika mendekat padaku. Dia menatap kedua mataku sambil tersenyum. "Sudah berapa lama kita kenal, Vin? Sudah berapa lama kita pacaran? Aku satu-satunya wanita yang bisa baca kedua matamu. Kamu khawatir sama dia. Itu yang aku lihat." Dia benar, dia tahu aku seperti apa. "Kenapa? Kamu takut aku cemburu? Atau kamu takut kamu jadi suka sama anak itu?"

Mungkin keduanya.

Aku menjauh dari Reika, melepaskan tatapan kami demi menutupi apa yang bisa dia baca dari kedua mataku. "Kita sarapan dulu."

***

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang