BAB 5

462 58 8
                                    


JOANNA

Pikiranku masih saja belum bisa beralih dari anak itu. Aku mulai penasaran siapa dia sebenarnya dan apa yang dia mau. Bahkan aku tidak bisa berkonsentrasi penuh saat rapat tadi pagi. Aku memiliki firasat kurang baik tentang kehadiran dia. Mungkinkah dia memang membuntutiku? Apakah dia mengenalku? Atau mungkin sebelumnya aku pernah melakukan sesuatu yang membuatnya memiliki sebuah dendam tanpa kusadari? Ini benar-benar membuatku penasaran.

"Joana?" Sasha menyenggol tanganku. "Kamu nggak apa-apa?"

"Eh?"

"Dari tadi kamu diam melulu. Kamu juga kelihatan pucat. Kamu nggak lagi sakit kan?" Dia meletakkan sekotak susu cokelat. "Nih, barang kali kamu cuma lapar."

Aku tersenyum. "Makasih ya." Sebenarnya Sasha berbeda dari dua temanku yang lainnya. Belinda dan Adithya cenderung masa bodo dengan keadaanku. Mereka bahkan sama sekali tidak merasa bersalah atas kejadian saat di Happy Bar. Bukannya aku pendendam, tetapi alangkah baiknya jika mereka berdua melakukan hal yang sama seperti Sasha, meminta maaf padaku.

"Ada yang kamu pikirin?"

"Hm?" Dia juga peka pada semua orang.

"Kalau ada masalah, cerita dong. Kita kan teman. Apa gunanya teman kalau bukan untuk tempat sharing, iya kan?"

Aku mengangguk beberapa kali. Terkadang aku merasa dia bisa dipercaya tetapi sampai saat ini aku belum bisa mempercayakan semua ceritaku padanya. Bahkan tidak pada satu orang pun yang kukenal selama ini. Aku lebih suka mengubur semua cerita sedihku di masa lalu dan mengenang semua cerita bahagiaku sebagai penyemangatku. Bahkan rasa gelisahku seharian ini... aku tidak mengatakannya pada siapapun. Aku hanya ingin mencari tahu sendiri.

"Sasha, kamu pernah pusing mikirin sesuatu nggak? Ah, maksudnya selain masalah pekerjaan dan urusan pacar."

"Hmm... pernah. Waktu aku ditolak orang yang aku suka." Dia menopang dagu dengan tangan. "Padahal aku sudah tiap hari bikin bekal makan buat dia, selalu tanya dia sudah sampai di rumah atau belum, dan ikutin dia pulang tiap hari." Sasha tertawa. "Gila ya?"

"Ngikutin dia sampai rumah?"

"Hm. Mungkin kalau di zaman kita sekarang ini dibilangnya stalker kali ya. Dan aku pasti sudah dilapor ke polisi."

Apa anak itu juga...

"Tapi untungnya dia ngomong sesuatu yang kasar setelah dia muak dengar pernyataan cinta aku hihihi... Jadi, aku sama sekali nggak sedih. Justru aku jadi semangat buat bikin dia nyesel sudah sia-siain aku. Tujuh tahun kemudian kami ketemu lagi. Dan..." Sasha tersenyum manis. Bahkan lebih manis dari biasanya seperti sedang menceritakan kisah bahagianya, "dia nggak lebih sukses dari aku. Seenggaknya aku bisa lihat ekspresinya yang kaget di reunian SMA. Aku nggak berharap dia nyesel tapi aku cuma mau buktiin kalau dia nggak bisa bikin aku down cuma karena dia tolak aku."

"Woah..." Aku bertepuk tangan, kagum. "Luar biasa."

"Masa sih?" Sasha menunduk saat tertawa. Mungkin dia tersipu. "Kenapa tanya soal ini? Maksudku, soal sesuatu yang bikin pusing. Setiap pelajaran matematika dulu juga aku pusing."

"Yang itu nggak perlu dikasih tahu. Waktu aku SMA juga." Aku tidak yakin tetapi mungkin tidak ada salahnya aku coba. "Ah, Sha. Kayaknya aku nggak bisa makan siang sama kamu hari ini." Aku memasukkan laptop dan susu dari Sasha ke dalam tas.

"Hm? Kenapa? Ada janji ketemu orang di site?"

"Bukan. Kalau ada SPV, DeptHead, atau siapapun yang cariin aku, bilang aku ke customer dulu."

"Lho, customer?? Memang ada apa?"

Aku bersiap pergi. "Aku kerja dari sana. Ada yang mau diambil." Maaf, Sha. Aku tidak bisa cerita untuk saat ini. "Bye."

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang