BAB 13

334 55 4
                                    

ALVIN

Nyawa...
Aku butuh nyawa tambahan. Aku seperti seonggok daging tak berguna yang disingkirkan di depan pintu.

Apa yang barusan aku lakukan? Memeluk Joana?!

"Arrgh!!"

Lagi, kubenturkan kepala pada pintu. Meskipun aku melakukannya dengan kuat, tetapi aku tidak merasa kesakitan sedikit pun. Mungkin ini efek malu.

"Hah~"

Dengan kasar dan terburu-buru, aku membuka pintu lalu berlari menuju unit tetanggaku. Wilson. Aku harus bicara dengannya.

"Wilson! Wil? Son?" Aku mengetuk pintu beberapa kali tanpa henti. "Son-son!"

Pintu terbuka. "Apaan sih?" Wajahnya masih memperlihatkan jika dia baru saja bangun tidur.

Aku menyelonong masuk ke dalam. "Gawat, Son. Gawat." Aku duduk di sofa tanpa dipersilahkannya. "Gawat!"

"Apanya yang gawat?" Dia berjalan melewatiku menuju dapur. "Minum?" tanya Wilson saat dia membuka kulkas.

"Nggak. Gawat!"

"Apanya sih yang gawat?" Wilson menghampiriku sembari membawa sebotol air mineral. "Lo dipecat Sky?"

"Lebih gawat lagi, Son!"

Wilson hampir tersedak ketika minum air dinging itu. Dia tertawa meledek. "Ada ya yang lebih gawat ketimbang kehilangan pekerjaan?"

Aku mengangguk beberapa kali. "Tadi Joana datang."

"Joana??"

"Cewek yang pernah nginep di tempat gue."

"Oh, simpenan lo."

"Bangke! Bukan. Dia itu..." Tunggu. Jadi sebenarnya apa hubunganku dengan Joana? Teman? Kenalan? Kalau teman... kami tidak pernah saling telepon, bahkan saling mengirimi kabar pun tidak pernah. Lalu apa ya?

"Calon pacar?"

"Nggak juga, Son. Pokoknya yang tempo hari nginep di tempat gue."

Wilson mengangguk beberapa kali. Dia duduk di sampingku sembari menyandarkan kepalanya pada bantal sofa. "Terus?"

"Barusan dia datang."

"So?"

"Gue peluk dia." Aku menatap tembok sambil kembali mengingat kejadian spontan yang aku lakukan beberapa saat lalu. "Gue peluk dia, Son."

"Terus apa yang lo rasain?"

Aku meraba dadaku. Membicarakan kejadiannya saja membuat jantungku terasa aneh. Degupannya... aneh. Apalagi setelah aku memeluknya. Tubuh ini seperti meleleh.

"Jantung gue, Son. Dag, dig, dug, dag, dig, dug." Aku menoleh padanya. "Gitu."

"Oh..." Wilson menutup kedua matanya seolah bersiap untuk kembali tidur. "Itu namanya jatuh cinta."

"Apaan lo?! Sembarangan."

"Sembarangan? Lo kira gue sampah?" Wilson melirikku. "Dari gelagat lo juga sudah aneh. Malam-malam ngusir Reika terus lo ajak dia masuk ke dalam tempat tinggal lo. Jangan-jangan kalian..."

"Sembarangan. Sembarangan. Sembarangan." Aku memukul Wilson dengan bantal sofa beberapa kali. "Otak ngeres. Sampis."

Wilson tertawa meledekku. "Lo pikir gue mau ngomong apa? Otak lo tuh yang ngeres. Lagian nih ya," Wilson kembali duduk tegak, "lo pikir deh. Kenapa bisa lo peluk dia?"

"Spontan aja. Dia juga... bikin gue kesal. Seminggu nggak ada kabar padahal sebelumnya dia nginep di tempat gue, curhat ini-itu. Besokannya nggak ada kabar. Eh... pagi-pagi datang, bawain gue beginian," aku mengangkat goodie bag yang masih kutenteng, "bawa cowok pula."

Wilson menyeringai. "Jealous."

Kedua mataku membulat. Terlalu cepat dia menyimpulkan sesuatu. "Ya nggak lah."

"Kalau nggak, kenapa lo kesal dia bawa cowok?" Wilson menunjuk keningku. "Lo peluk dia spontan karena lo pasti baru bangun tidur. Otak lo belum sepenuhnya bisa berpikir jernih. Alam bawah sadar lo yang tuntun lo buat bersikap selayaknya apa yang memang mau lo lakuin ke dia." Dia kembali menyeringai. "Terus... itu apaan?" Wilson menunjuk goodie bag di tanganku.

"Oleh-oleh dari dia. Katanya dia baru pulang dari business trip." Aku mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Lho?" Lilin terapi?

"Lilin terapi?" Wilson tertawa geli. "Mungkin dia kira lo depresi, makanya dia kasih lo lilin terapi biar lo bisa hilangin depresi lo itu."

Sialan. Bahagia sekali orang ini. "Nggak lucu."

"Ada dua?" Dia melirik ke dalam goodie. "Buat gue satu ya?"

Aku segera memeluk goodie bag dan menghindar dari Wilson. "Enak aja!"

"Dasar koret." Wilson memukul bahuku. Dia bangkit berdiri. "Pulang sana. Gue mau sarapan."

"Gue mau juga dong, Son-son." Aku memasang tampang memelas. "Gue malas masak."

"Tampang lo bikin jijik tahu nggak? Bikin sarapan sendiri sana!" Wilson melempar bantal sofa ke wajahku. "Dan jangan panggil gue kayak gitu lagi. Nama gue Wilson. Sampis!"

***

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang