BAB 3

488 71 2
                                    

JOANA

Firasatku tentang teman-teman satu kantorku mengatakan bahwa tidak seharusnya aku berkawan akrab dengan mereka. Seharusnya aku mempertahankan opiniku bahwa tidak ada pertemanan di lingkungan pekerjaan. Setelah kejadian di Happy Bar beberapa malam lalu, aku mengerti jika yang mereka inginkan bukanlah pertemanan. Mereka hanya ingin mempermalukanku. Bahkan Belinda dan Adithya saja tidak peduli padaku saat di kantor. Sasha mendatangi mejaku dan membahasnya. Dia minta maaf. Meski dengan mudah aku memaafkan mereka tetapi akan sulit bagiku untuk kembali bersenang-senang dengan mereka.

Sasha bilang, mereka melakukan itu hanya untuk bersenang-senang. Tanpa mereka sadari hal itu justru membuatku malu. Bahkan aku berinisiatif menghubungi Riza yang sebenarnya untuk meminta maaf. Bagusnya Riza membawa santai dan tidak terlalu memikirkan kejadian malam itu. Tetapi tidak bagiku. Itu sangat memalukan. Ditambah aku secara tidak sengaja bertemu dengan Alvin di kedai kopi. Aku pikir aku bisa meminta maaf padanya tetapi mungkin dia memiliki kesan buruk tersendiri tentang pertemuan kami di Happy Bar.

Aku mendesah setelah menghentikan mobil tepat di depan rumah. Aku harap aku tidak bertemu lagi dengan Alvin. "Yaish..." Aku mengacak-acak rambut karena sedikit frustasi.

Seseorang mengetuk kaca mobilku.

"Ayah?"

Ayah tersenyum. Dia memberi isyarat padaku untuk keluar.

Aku mengambil tas dari kursi penumpang lalu membuka pintu mobil. "Ayah pulang cepat. Tumben," kataku.

Ayah merangkulku sembari membawaku menuju rumah. "Ayah malam ini mau makan malam sama anak gadis Ayah. Ayah masak lho."

Aku berdeham pelan seolah menggodanya. "Ada angin apa nih?"

Biasanya Ayah dan Ibu selalu pulang larut malam. Aku sampai rumah hanya disambut oleh Bu Yati, asisten kami, atau tidak ada orang yang menyambut sama sekali.

Ayah menoleh padaku dengan ekspresi yang tidak aku mengerti. “Jo,” Ayah mendesah, “Ayah merasa belum bisa kasih apa-apa buat kamu. Jadi, menu makan malam buatan Ayah malam ini bisa jadi hadiah paling mengesankan buat kamu.”

Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Ayah tidak menjawab, dia hanya tersenyum tipis. Ayah menepuk bahuku beberapa kali lalu masuk ke dalam rumah lebih dulu. Ini bukan seperti Ayah yang biasanya. Ini terlalu melankolis untuk ukuran laki-laki tua yang humoris.

Sekelebat aku melihat seseorang di depan pagar. Seperti seorang pelajar berseragam SMA. Seingatku tidak ada pelajar SMA yang tinggal di sekitar perumahan ini. Yang kutahu ada anak-anak di bawah kelas SMP. Saat aku benar-benar memerhatikannya, aku yakin anak itu memang berdiri di depan pagar. Aku mencoba untuk berjalan menuju pagar tetapi pelajar SMA itu justru pergi berlari meninggalkan pagar, membuat langkahku berhenti dan larut dalam rasa penasaran. Siapa dia?

"Jo?" Panggil Ayah dari dalam rumah.

"Oh, come in."

***

Ternyata benar, masakan Ayah sangat lezat. Aku pikir Om Bernard hanya mengada-ngada saat mengatakan jika Ayah adalah koki terbaik mereka sebelum Ayah menikahi Ibu. Alangkah baiknya jika Ayah bisa setiap malam membuatkan makanan untukku.

"Kenapa Ayah nggak masak tiap hari sih? Kalau enak begini kan aku jadi suka makan." Aku menyuapi sapo tahu sekali lagi ke dalam mulut.

"Ayah bisa masak tiap hari untuk kamu." Ayah mengusap kepalaku. "Asal kamu janji sama Ayah."

Aku mendongak. "Asal janjinya bukan suruh aku menikah besok. Belum ada lagi laki-laki yang naksir anak perempuan Ayah ini."

Ayah tertawa. "Ayah sih punya calon yang oke buat kamu."

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang