BAB 14

331 54 11
                                    

JOANA

Apa yang akan kalian lakukan jika seseorang yang kalian sukai tiba-tiba saja memeluk kalian? Apa kalian akan mengambil kesimpulan bahwa orang itu juga menyukai kalian? Atau justru kalian hanya menganggap hal itu umum dilakukan oleh semua orang?

Aku memang memiliki beberapa teman yang juga sering memperlakukanku seperti itu... dulu. Tetap saat Mas Alvin memelukku, rasanya seperti aku hampir kehilangan nyawa. Berlebihan? Ya, pasti ini terdengar berlebihan. Tetapi kalian akan mengatakan hal yang sama seperti yang kukatakan jika kalian adalah seorang penggemar rahasia.

"Sudah sampai, Jo."

Aku tersadar dari lamunan indahku. Aku menoleh pada Jonathan yang kini menatapku dengan tatapan datar. Apa yang salah dari wajahku?

Aku mengangguk. "Ya," sahutku. Aku mengambil tas dari kursi penumpang di belakang. "Cepat ya."

"Ya cepat lah. Kan cuma dua kilometer."

Aku keluar dari mobil, diikuti Jonathan dari belakang. Aku tidak melihat mobil Ayah. Pertanda di rumah pasti hanya ada Ibu. Rencana apa lagi yang Ayah buat untuk mendekatkan aku dengan Ibu?

"Sepenting itu ya, Jo?" tanya Jonathan. "Kasih oleh-oleh ke seseorang di jam segini."

"Oh... Yang tadi? Hmm... Cuma mikir, mungkin lebih cepat lebih baik. Mana tahu dia butuh barang itu." Aku berbohong. Sebenarnya tujuan aku datang di pagi hari hanya ingin tahu, apakah ada wanita itu di sana atau tidak. Mengingat aku pernah menginap di tempatnya. Jadi aku ingin tahu, apakah dia tipikal orang yang senang membawa perempuan ke dalam tempat tinggalnya atau tidak.

"Memang isinya apa?"

Aku menoleh pada Jonathan saat kami sudah sampai di depan pintu. "Ada deh." Aku mengacak-acak rambutnya.

"Ish..." Jonathan melepaskan tanganku dari kepalanya. "Aku bukan anak kecil. Paham?"

Di mataku dia tetap saja seperti anak kecil. Meski dia selalu mencoba untuk bersikap dewasa, tetapi terkadang ekspresinya menunjukkan seorang anak remaja menuju dewasa.

***

ALVIN

Untuk apa juga aku harus merasa cemburu? Mengapa Wilson bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Tidak. Tidak. Aku tidak mungkin cemburu. Aku hanya kesal dia tidak menghubungiku. Hanya itu. Dia tidak tahu aku khawatir dengan keadaannya setelah dia datang dengan mata bengkak. Hanya itu.

Aku menatap layar ponsel. Mati. Dia bahkan tidak memberiku kabar. Lalu untuk apa kami bertukar nomor ponsel? Dasar bocah! Haruskah aku menanyakannya lebih dulu?

"Masa gue yang mesti tanya duluan?" Harus memulai dengan kalimat seperti apa?
"ASTAGA!"

Ponselku berbunyi. Dengan cepat aku menatap layar ponsel. Kupikir dia yang menghubungiku! "Si kampret." Aku menjawab panggilan. "Apaan?"

"Sudah terima lilin aroma terapinya?" tanya Riza tanpa basa-basi.

"Eeh?"

"Lilin aroma terapi. Joana bawa oleh-oleh lilin aroma terapi kan? Sudah terima atau belum? Katanya dia sampai di Jakarta pagi ini."

"Kenapa lo bisa tahu?"

"Hm?" Riza berdeham. "Gue yang saranin dia buat beli."

"Ke-kenapa?" Aku menatap lilin aroma terapi yang kuletakkan di atas meja makan.

"Karena belakangan ini lo kelihatan setres. Kenapa? Ada masalah dengan Reika? Sudahlah... kan kalian sudah putus. Nggak perlu balikanlah. Itu lebih baik."

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang