BAB 7

393 59 2
                                    

JOANA

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Kedua orang tuaku menunggu reaksiku. Ibu sudah menyingkirkan laptop dari hadapannya, sementara Ayah masih berdiri di tempatnya. Aku masih duduk tegang di hadapan Ibuku. Dengan tangan yang bergetar, aku berusaha untuk kembali bicara.

"Anak?" Intonasiku tidak santai. Pikiranku mulai bercabang hingga menemukan maksud dari ucapan Jonathan tempo hari.

"Dia sudah Ibu anggap seperti anak Ibu sendiri, seperti adikmu." Ibu mencoba menjelaskan padaku.

"Kenapa? Karena dia nggak punya Ibu?"

Ibu terdiam dalam beberapa detik, kemudian Ibu mengangguk.

Ini tidak logis. Maksudku, seseorang bisa menganggap orang lain sebagai anaknya tetapi tidak sampai mengurusi urusan anak itu di saat dirinya sendiri tidak peduli pada anak kandungnya. Mana ada yang seperti itu. Apa Ibu belum juga sadar jika anak kandungnya tidak pernah diperhatikan seperti anak-anak pada umumnya? Sementara anak orang lain mendapatkan apa yang anak kandungnya sendiri butuhkan.

"Ibu bahkan nggak peduli dulu aku mau masuk SMA mana. Ibu cuma setuju setelah aku pilih sekolah itu."

"Apa kamu permasalahin sekolah itu?"

"Bukan itu, Bu!"

"Renata," Ayah mendekat. "Bukan itu yang Joana maksud."

Ibu menoleh pada Ayah. "Kamu mau bahas masalah itu lagi, Mas? Saya capek kalau kamu mau tanya hal yang sama."

Hal yang sama? Apa sebelumnya mereka pernah membahas soal Jonathan tanpa sepengetahuan aku? "Apa? Maksudnya apa?"

Ibu menunduk seraya mendesah. "Bukan apa-apa."

"Kenapa kamu nggak mau jujur ke Joana kalau Jonathan itu anak mantan tunanganmu?"

"Mas!" Ibu berteriak.

Aku terdiam. Apa ini? Apa maksudnya?

"Itu nggak ada hubungannya. Harus berapa kali saya bilang kalau saya benar-benar cuma mau balas kebaikan ayahnya Jonathan? Kamu nggak pernah percaya sama saya, Mas."

"Cuma balas kebaikan tapi justru kamu mengundang gosip di perusahaanmu. Kamu sadar nggak sih kalau di perusahaanmu itu banyak yang satu kampus sama kalian? Jelas hubungan itu bikin kabar nggak baik." Suara Ayah tidak kalah hingga membuat ruangan kami berisik. "Bahkan kabar itu sampai ke kantor saya!"

Aku menunduk. Ini pertama kalinya aku mendengar perdebatan mereka. Suara kencang. Emosi yang menyelimuti kami.

"Saya nggak peduli dengan omongan orang lain." Ibu bangkit berdiri. "Kamu yang nggak pernah percaya sama saya, Mas."

"Kalau saya nggak percaya sama kamu, saya nggak pernah bertahan sampai dua tahun seperti ini, Renata!" Ayah menggebrak meja hingga membuatku harus memejamkan mata. "Saya sampai harus menahan diri untuk nggak bikin keluarga kita hancur. Bahkan setiap kali kamu harus bussiness trip sama orang itu."

Untuk pertama kalinya air mataku mengalir karena pertengkaran mereka. Untuk pertama kalinya aku mendengar teriakan Ayah. Untuk pertama kalinya aku berada di situasi seperti ini. Aku mengerti, mungkin saja Ibu masih menaruh hati pada mantan tunangannya.

"Dia mantan tunanganmu, Renata," kata Ayah lirih. "Sementara saya orang yang dijodohkan dengan kamu."

Aku mengangkat kepala saat mendengar kalimat terakhir Ayah malam itu. Aku tidak pernah tahu hubungan Ayah dan Ibu yang sebenarnya. Berarti mungkin saja yang kupikirkan itu benar...

"Jadi bagitu?" Aku mendesah. Aku tidak sanggup berada di sekitar mereka untuk saat ini. Aku meremas ujung kemeja demi menahan air mata tidak lagi mengalir, tetapi aku gagal. Aku terlanjur kecewa. "Aku pulang setelah kalian selesaikan semua ini." Aku bergegas keluar dari rumah.

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang