BAB 4

457 66 3
                                    

JOANA

Pagi ini aku terbangun saat mendengar sesuatu terjatuh di lantai. Seperti berasal dari dapur. Aku bergegas menuju dapur. Ibu sudah mengambil pecahan piring dari lantai. Sudah dua malam aku tidak melihat Ibu. Setiap Ibu pulang, aku sudah tertidur. Dan saat aku bangun pagi, Ibu sudah lebih dulu berangkat. Sesibuk itulah Ibuku.

"Kenapa bisa jatuh?" Aku ikut berjongkok di depan Ibu.

"Piringnya masih basah, jadi licin," jawab Ibu. "Jangan dekat-dekat. Nanti kamu kena." Ibu menyingkirkan tanganku saat aku hendak membantu. "Sarapan dulu. Ibu sudah siapin di meja makan."

Aku menurut. Sudah tersedia tiga lembar roti panggang di atas piring. Aku mengolesinya dengan madu lalu aku mulai menikmati sarapan plus teh manis hangat.

"Hari ini Ibu mau pergi belanja. Ikut yuk!" ajak Ibu.

Belanja bersama? Mungkin sudah hampir 20 tahun aku tidak pergi berbelanja bersama Ibu. Terakhir saat aku masih SD. Lagi, aku melihat keanehan dari sifat kedua orang tuaku. "Tumben."

Ibu menuang semua serpihan beling ke tempat sampah. "Kenapa? Nggak kangen belanja sama Ibu?"

"Bukan gitu tapi aneh aja." Aku menyeruput teh. "Sudah lama banget kan?"

Ibu menoleh padaku sambil tersenyum. "Yowes, kalau nggak mau ikut."

"Ihh... bukan begitu." Aku cepat-cepat mengunyah roti di dalam mulut. "Jam berapa?"

"Sekarang."

Aku segera turun dari kursi. "Oh, Ayah belum bangun ya? Kalau belum bangun, nggak perlu dibangunin. Aku yang bawa mobilnya."

Ibu mencuci tangannya. "Ayah sudah pergi. Hari ini Ayah pergi macing sama teman-teman kerjanya."

"Mancing??" Padahal semalam Ayah pulang larut. Biasanya Ayah akan tidur seharian jika Ayah pulang lewat dari jam sebelas malam. Kenapa tiba-tiba Ayah pergi pagi-pagi? "Bu?" Aku mendekat pada Ibu.

"Hm?" Ibu menghabiskan kopi di cangkirnya.

"Kenapa belakangan Ibu dan Ayah aneh banget?" Ibu menoleh padaku dan menaikkan alis. Mereka tidak berniat membuat kejutan untukku kan? "Ulangtahunku masih lama lho."

Ibu tertawa lepas. "Pede banget sih kamu. Sana cepat siap-siap. Kita berangkat jam sebelas."

***

Aku tidak tahu sejak kapan memiliki waktu bersama Ibu menjadi membosankan. Biasanya jika hanya ada kami berdua di rumah, akan banyak topik yang kami bahas. Hari ini aku seperti anak kecil yang mengekori Ibunya berbelanja. Yang aku lakukan hanya mendorong kereta belanja. Sesekali Ibu akan menyanyakan pendapatku soal bahan makanan.

"Ibu mau masak kari nanti malam. Setuju nggak?" Ibu memasukkan kentang dan wortel ke dalam kereta belanja.

Aku mengangguk. "Ayah suka kari," kataku. Mungkin aku salah lihat tetapi aku cukup yakin Ibu menyeringai.

"Mungkin Ayahmu nggak pulang. Kebetulan rekan kerjanya butuh Ayah untuk konsultasi masalah pekerjaan mereka."

"Oh ya? Terus mau nginep lagi di kantor?" Sebenarnya Ayah sudah beberapa kali menginap di kantor jika pekerjaannya banyak tetapi rasanya aneh, mengapa Ayah masih sempat memancing di saat pekerjaannya masih banyak? "Tapi ini bukan hari kerja. Kenapa pekerjaan makin jadi prioritas?"

Ibu menoleh lalu mengusap kepalaku. "Itu pasti penting banget. Kenapa kamu jadi sensitif?"

"Kenapa kalian makin sibuk? Padahal aku juga paham dunia kerja."

Ibu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum lalu kembali memilih bahan makanan. Di saat itulah secara tidak sengaja aku kembali melihat sosok yang belakangan membuatku penasaran.

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang