BAB 17

812 59 9
                                    

ALVIN

Secangkir teh hangat aku letakkan di atas meja ruang tamu. Tepat di depan Joana yang masih menundukkan kepala. Aku terus menatapnya, menunggunya untuk melihatku dengan keseriusan.

Jujur saja, selama aku memasak air panas untuk membuat teh, aku berpura-pura fokus pada pekerjaanku. Aku tidak menoleh sedikit pun pada Joana. Aku tidak memulai pembicaraan. Aku tidak lebih dulu membahas apa yang seharusnya kini kami bahas.

Joana tiba-tiba saja datang dan mengatakan apa yang tidak kubayangkan sebelumnya. Itu bukan sebuah pernyataan. Dia tidak menyatakan perasaannya. Meski cukup bahagia, tetapi ada rasa kecewa di diriku. Mengapa dia tidak mengatakan padaku setelah aku menyatakan perasaanku? Apa dia ragu dengan perasaannya sendiri? Atau... hanya kasihan padaku?

"Jo?" Aku mendorong cangkir teh agar lebih dekat dengannya. "Tehnya."

Joana mengangkat kepala. Dia melirikku. Hanya lirikan sesaat kemudian dia mengambil cangkir teh. Dia menyeruput pelan teh hangat buatanku. Perlahan dia meletakkan kembali cangkir ke atas meja. "Manis," komentarnya.

"Kemanisan?"

"Ah, nggak." Dia menggeleng cepat.

Aku tertawa pelan melihat ekspresi paniknya. "Akhirnya kamu lihat saya." Aku menunduk saat dia kembali menyembunyikan wajahnya. "Kita bahas ini sekarang."

"Hm? Bahas apa?" Sepertinya dia pura-pura tidak mengingat ucapannya beberapa menit yang lalu.

Aku bersandar di sofa. Duduk di sebelahnya membuatku gugup. Ini pertama kalinya kurasakan. "Kenapa kamu mau jadi pacar saya?"

Dia berdeham beberapa kali, melihat langit-langit, melirikku dalam satu detik, kemudian kembali melihat langit-langit. "Kan menjawab pertanyaan Mas Alvin," ucapnya pelan.

"Saya nggak tanya apa-apa sama kamu."

Sontak dia menoleh padaku. "Lho, tadi itu lho, yang waktu di depan rumahku. Mas Alvin bilang kalau aku nggak perlu jawab saat itu tapi yaaa... sekarang aku jawab."

"Iya sih..." Aku melipat kedua tangan di depan dada. "Tapi kayaknya saya nggak tanya kamu mau atau nggak jadi pacar saya. Saya cuma bilang kalau saya suka sama kamu."

"Haaah?" Dia melongo.

Aku tidak berhenti menatapnya. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengatakan hal itu? Aku tidak tahu apakah aku harus bahagia atau tidak. Sikapnya selalu bisa tiba-tiba berubah.

"Jo, kamu..."

"Mas bohongan ya?"

"Hah? Apanya?"

Dia menatapku dalam bebarapa detik. Tidak lama Joana bangkit berdiri. "Kalau memang Mas Alvin ragu sama perasaan Mas, kenapa pakai ngaku segala? Kenapa Mas bilang kayak gitu di mobil tadi? Kenapa Mas Alvin bikin orang hampir percaya kalau Mas beneran suka sama aku?"

"Hampir?" Aku menggeleng cepat. "Tunggu." Aku ikut bangkit berdiri. "Saya harus jawab yang mana dulu nih?"

Dia terlihat kesal. "Ish!" Joana kembali duduk dan aku mengikutinya. "Sebenarnya Mas Alvin suka nggak sih sama aku? Aku tuh bingung. Mas Alvin kayak ragu sama perasaan Mas sendiri. Pengakuan Mas tuh nggak bisa bikin aku percaya sepenuhnya. Makanya aku ragu buat ladenin Mas di mobil tadi."

Begitu ya? Mungkin dia meragukan pengakuanku. Mungkin aku tidak cukup baik saat mengatakannya. Tetapi aku ingin dia tahu jika aku tidak main-main dengan ucapanku. Mungkin ini terdengar egois, tetapi aku tidak ingin kehilangan perhatiannya.

Aku menggenggam tangannya. Menautkan tangan kami lalu menatap kedua matanya. Dia terlihat terkejut tetapi aku segera tersenyum padanya. "Jo, kamu ragu sama saya?"

"Iya lah."

"Tapi kamu mau pacaran sama saya?"

Bibirnya mengerucut dan itu terlihat menggemaskan. "Mas Alvin nggak budek kan?"

Aku tertawa pelan. "Iya." Aku menariknya mendekat kemudian memeluknya. "Saya rasa, saya bukan suka sama kamu, Jo. Saya sayang sama kamu. Saya nggak mau kamu jadi pacar orang lain. Tapi..." Aku mendorong bahunya pelan agar bisa kembali menatap kedua matanya. "Saya belum siap kalau tiba-tiba kamu minta saya buat ketemu orang tua kamu. Semua cowok pasti harus ada persiapan mental untuk ketemu orangtua si pacar, nggak mudah."

Joana tersenyum dan mengangguk. "Aku paham."

"Saya juga bukan cowok yang romantis."

"Tahu kok."

Aku menaikkan sebelah alis. "Masa?"

"Kalau Mas Alvin romantis, pasti nggak bakal diputusin mantan."

"Diputusin?? Siapa yang diputusin? Itu kesepakatan bersama."

"Oh ya? Tapi kelihatannya Mas Alvin yang frustasi."

Aku bergeser dan mengambil cangkir teh. "Frustasi apanya?" Aku meneguk habis teh yang sudah mulai dingin.

"Yakiiin?" Joana menunduk untuk meledekku. "Kok kayaknya bohong yaaa."

Aku meletakkan kembali cangkir teh lalu mendekatkan wajahku padanya hingga membuatnya menjadi terlihat gugup. "Buktinya saya yang duluan move on." Aku mengecup bibir Joana. "Perlu bukti lain?"

Kedua mata Joana membulat kemudian dia segera mengalihkan wajahnya. "Nggak." Segera dia menghabiskan tehnya dan itu membuatku tertawa. Aku mengusap kepalanya dan membuat wajahnya semakin memerah. Aku yakin aku tidak akan merasa bosan jika setiap hari bisa bersama anak ini. Dia membuat perasaanku selalu bercampur aduk.

"Jo?"

"Hm?" Dia melirik.

"Love you."

Dia mengerjap beberapa kali. Diletakkannya kembali cangkir ke atas meja lalu dia berbisik. "Cieee yang lagi jatuh cinta."

"Dih!" Aku melototinya. "Rese ya!" Aku menggelitik pinggangnya hingga dia tertawa kencang. "Nggak sopan sama orang tua." Dia mencoba menghentikan tanganku dan memohon untuk berhenti tetapi aku tidak melakukannya.

Sekarang aku yakin, aku tidak meragukan perasaanku lagi. Aku benar-benar membutuhkannya untuk terus berada di sisiku, aku tidak ingin kehilangannya, aku tidak ingin berpisah dengannya. Karena aku menyayanginya. Karena aku ingin menjadi laki-laki terakhir di dalam hidupnya. Laki-laki yang menjadi tempat meluapkan kesedihan dan kebahagian baginya.

Boleh kan, Jo?

- SELESAI -

DESSERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang