Chapter 7✔️

1.1K 182 6
                                    

Ketika peserta lainnya berkumpul di lapangan sekolah setelah jam pulang, Faneza memilih untuk tidak ikut, meskipun ia ingin karena Fajri juga ada disana. Namun, janjinya kali ini lebih penting dari itu. Kini dia sudah berdiri di depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia--ga deng author canda:v

Kini dia sudah berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah yang setiap bulan rutin ia kunjungi. Sudah beberapa kali ia berkunjung ke rumah ini, tapi ia masih merasa takut dengan apa yang akan terjadi.

Saat jari telunjuknya sudah mantap ingin menekan bel rumah itu, suara klakson motor vespa mengagetkannya. "Buka pagarnya, tidak di kunci. Cepat! Aku kepanasan dan kehausan!"

"Memangnya aku pesuruhmu?" balas Faneza. Tetapi raut datar yang di tunjukan pemilik vespa membuatnya dengan sukarela membukakan pagar untuk sang pemilik rumah. Kemudian mereka masuk bersamaan.

"Lihat siapa yang mulai akur," kata seorang pria dewasa

"Kita hanya bertemu di depan rumah. Lagipula seharusnya kamu masih di sekolah dengan para babu itu."

"Iya, dan urusan itu sudah selesai," katanya sambil menikmati dinginnya suhu kulkas yang baru saja ia buka.

"Sonii, jangan melakukan itu lagi. Kalau kulkasnya rusak, Mama akan marah besar!"

"Iya, Pa," kata Zweitson nurut.

Ayah Zweitson yang merupakan seorang dokter selama ini merawat Faneza yang mentalnya memang kurang baik. Awalnya Faneza tidak menyadari bahwa yang salah adalah dirinya. Ia selalu menyalahkan ibunya yang begitu lemah tidak bisa melindunginya, begitu lemah hingga rela di pukuli oleh ayahnya, begitu bodoh karena dibutakan oleh cinta kepada ayahnya yang keparat.

Tetapi sejak bertemu Zweitson saat MOS, Faneza perlahan sadar bahwa yang salah bukan ibunya. Tidak salah jika kita mencintai seseorang, bukan salah kita jika kita dipukuli, dan ibunya bukannya lemah, hanya saja ayahnya yang terlalu kuat.

Dari dulu, ayahnya selalu merasa diri yang paling benar. Dia merasa istri dan anaknya tidak akan bisa hidup tanpa dirinya, sehingga ia bisa semena-mena memperlakukan mereka berdua. Faneza memang belum sepenuhnya sembuh. Ia masih perlu obat untuk tidur dengan tenang. Namun dirinya telah bertekad bahwa dia akan lebih kuat dari ayahnya dan akan membawa ibunya pergi suatu hari nanti.

"Saya dengar, kamu membuat kekacauan di sekolah?"

Dasar Zweitson!

"Ya, begitulah," jawabnya tertawa canggung

"Kalau kamu ingin lebih kuat dari ayahmu, kau harus membuktikannya dengan tindakanmu. Sudah bagus kamu mulai bekerja untuk menghasilkan uang sendiri, tetapi kekuatan ayahmu bukan hanya soal uang. Dia punya prinsip, dia punya aturan yang tertib ia jalankan, dia disiplin dengan aturan yang ia buat. Kau juga harus begitu."

"Saya dengar ayahmu menghukum mu dengan menjadikanmu pengurus Osis? Itu langkah yang bagus untukmu. Kamu bisa memulainya dari hal yang kecil. Kau harus tahu dasar aturan terlebih dahulu untuk berjalan ke langkah selanjutnya."

Diam-diam Zweitson mendengarkan dari balik pintu kamarnya. Ia selalu suka mendengar kata-kata yang terucap dari mulut ayahnya. Meskipun kata-kata itu bukan untuknya, entah mengapa ia selalu merasa segala yang terucap itu adalah untuknya. Saat ini, ia seolah diajak untuk berada di posisi Faneza lalu termotivasi saat mendengar kata-kata ayahnya.

Setelah percakapan Faneza dengan ayahnya selesai, ia beranjak dari balik pintu dan membuka materi yang Lala berikan padanya. Ia jadi teringat kalau dia harus memberikan materi satunya kepada Faneza. Buru-buru ia keluar kamar dan mengejar Faneza yang baru saja keluar dari rumahnya.

Faneza yang berjalan dengan earphone di telinganya tidak mendengar panggilan Zweitson dari belakang. Terpaksa anak itu harus mengerahkan sedikit tenaga untuk berlari dan menghentikan Faneza. Namun tidak ia sangka, respon Faneza membuatnya merasa bersalah.

Calon Pengurus Osis ||  UN1TY [REVISI BESAR-BESARAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang