02. humangel

11K 1.9K 450
                                    

Pagi ini, Jean keluar dari kamar Jaemin dengan air muka yang sembab akibat tangisannya kemarin. Dia hendak untuk menyiapkan sarapan untuk Jaemin, hitung-hitung membantu berkemas karena sudah menolongnya. Tetapi, baru saja Jean melangkah menuju dapur, disana sudah ada si pemilik rumah yang berdiri membelakangi pintu dapur di hadapan kompor.

Jean berdehem.

"Eh, udah bangun?" Jaemin menoleh sebentar dan kembali pada kegiatannya memasak. "Tunggu bentar, ya. Nasi gorengnya udah hampir jadi."

"I-iya."

"Itu ada susu, minum dulu. Baru aja gue seduh."

Jean melihat ke atas meja, menemukan segelas susu yang terlihat masih hangat disana.

"Maaf ya. Itu cuma susu biasa, gue gak sempat cari susu buat orang hamil."

"Gak apa-apa." Sergah Jean pada perkataan Jaemin lalu duduk. "Ini aja udah cukup, makasih banyak."

"My pleasure." Jaemin tersenyum sehangat susu pemberiannya sambil berbalik, membawa dua piring nasi goreng lalu duduk di samping Jean. "Tadi malam lo gak sempat makan karena gue lihat lo udah tidur pas makanannya datang. Gue sengaja gak ngebangunin lo, soalnya lo tidurnya nyenyak banget."

Jean tersenyum tipis, merasa sangat memberatkan Jaemin. "Maaf ya, kedatangan gue malah bikin lo repot."

"Nope, nope. Gue yang membawa lo kesini, jangan pernah merasa gak enak."

Jean terdiam dan menerima makanan yang baru saja dimasak Jaemin. Gadis itu melahap makanannya secara perlahan, sambil sesekali melirik Jaemin. "Itu—"

Jaemin menoleh pada Jean sambil mengunyah. "Hm?"

"Lo—lo gak merasa aneh ya sama gue?" Ucap Jean dengan suaranya yang semakin mengecil sebelum memasukkan suapan kedua ke dalam mulutnya. "Apa lo gak jijik—"

Otomatis Jaemin berdecak kesal lalu meletakkan sendoknya. "Apa? Kenapa gue harus jijik sama lo?"

"Maksud gue—gue kan hamil seperti ini dan—"

"Apa?"

Jean bingung untuk melanjutkan perkataannya. Dia seperti berhadapan dengan orang yang sangat berkuasa di negara, sangat malu melanjutkan ucapannya sendiri.

"Can you tell me the truth? Ya, kali aja lo bisa kasih tahu kenapa lo bisa sampai seperti kemarin. Gue bantu cari jalan keluarnya. Eh, kalau lo gak yakin buat cerita, gak apa-apa. Gue paham, kita kan belum sehari kenal."

Jean menelan salivanya, diterjang rasa rumit yang berkepanjangan. Dia terus berpikir, kenapa bisa ada laki-laki sepengertian, sebaik, dan selembut Na Jaemin?

"Makan ya." Tambah Jaemin. "Habisin."

"Sebenarnya—"

Pergerakan lelaki itu sontak kembali dibuat terhenti.

"Gue dihamilin sama mantan gue. Gue gak mau melakukan hal itu tapi—" suaranya yang bervolume kecil mulai meninggi dan bergetar. "Dia benar-benar membuat gue menurut karena dia berjanji akan menikahi gue. Katanya dia terlalu sayang sama gue. Dan gue—gue cuma punya dia."

"Kalau dia sayang, kenapa dia setega ini ninggalin lo dan anaknya? Hm?"

"Salah gue juga karena gue percaya, saking gak adanya siapa-siapa selain dia di hidup gue. Saat ibunya tahu kalau gue hamil, ibunya meminta gue untuk pergi. Dia bahkan gak membiarkan gue ketemu sama mantan gue. Dan mantan gue—"

"Hilang." Sambung Jaemin dengan cepat. Sesaat kemudian Jaemin menghela nafas kasar dan meraih segelas air mineral. "Bangsat."

"Gue malu untuk kembali kekosan gue dengan keadaan seperti ini. Gue juga berhenti cari kerja karena gak akan mungkin gue kerja dengan keadaan seperti ini. Tapi gue janji, suatu saat gue akan membalas kebaikan lo, Na."

Satu alis Jaemin terangkat, mendengar Jean menyebut marganya alih-alih namanya. "Na?"

"Uh, sorry. Gue cuma inget marga lo."

Jaemin tersenyum tipis. "It's okay. Nama gue Jaemin. Terserah lo mau panggil apa. Gue juga gak mau menuntut apa-apa dari lo. Gue cuma mau ini semua lo jadikan pembelajaran, dan juga lo jaga kesehatan sama dedeknya. Ya?"

"Eum." Jean mengangguk.

"Udah berapa bulan?"

"Masuk bulan ketiga."

"Oh ya?" Jaemin melihat perut Jean dan mengobrol dengan nada ceria, berniat menghibur. "Dedeknya harus makan banyak kalau gitu, biar sehat."

"Iya. Makasih banyak, ya."

"Tenang aja, lo gak boleh pikir ke hal-hal lain. Ada gue." Jaemin meraih tangan Jean dan memandanginya dengan tatapan yang damai. "Kalau lo stress, itu bisa berdampak besar ke anak lo. Paham?"

Jean mengangguk untuk kesekian kali.

"Gu-gue gak ada maksud apa-apa, jangan salah paham ya! Gue bener-bener mau lo baik-baik aja sampai anak itu lahir."

"Iya, iya. Jujur, gue sepertinya tahu sesuatu sejak pertama kali kita ketemu kemarin."

"Apanya?"

Jean menatap Jaemin cukup teduh, kemudian ia tersadar bahwa lelaki itu masih asing baginya. Jean buru-buru menggeleng, "gak ada apa-apa."

Meski dibuat heran, Jaemin pada akhirnya mengangguk tak ingin memaksa. "Yaudah, jangan canggung juga sama gue. Anggap aja ini tempat tinggal lo. Tuh, makan lagi. Eh, gimana rasanya?"

"Enak kok. Lo jago masak, ya."

"Hehehe, lumayan bisa, Ca."

Dahi Jean mengerut. "Ca?"

"Nama lo Jean Aneisha Kim, kan? Gue panggil lo Ica aja ya? Biar lucu. Gue juga—gue juga mau lo merasakan hal-hal yang baru mulai hari ini."

"That's a simple thing but—" Jean tersenyum mendengar penjelasan Jaemin. "You really made my day."

Jaemin tertawa ringan. "Bagus dong."

"Hm, gue boleh nanya lagi gak?"

"Apa tuh?"

"Kenapa lo bersikeras buat gue mempertahankan anak ini?"

Jaemin terdiam. Ia terlebih dulu meneguk air putih setelah nasi goreng pada mulutnya sudah ditelan habis. Jaemin lalu meletakkan gelas pada tempat semula dan tersenyum melihat Jean. "Gue pernah ada di posisi anak itu, Ca."

Mata Jean membulat, terkejut mendengar jawaban Jaemin. Senyumannya keduanya perlahan memudar, melihat satu sama lain dalam luncuran sebuah fakta. Secara bersamaan, alarm pengingat dari ponsel Jaemin berbunyi, membuat si empunya segera bangkit dan meraih tas yang sudah ada di kursi sebelah.

"Gue kerja dulu, ya. Piringnya simpan aja disana."

Jean menggeleng. "Bakal gue cuci."

"Jangan, nanti lo—"

"Ini sedikit kok, Na."

"Hm, yaudah. Makasih ya. Oh iya, kalau lo butuh baju, buka lemari gue yang warna putih. Disana banyak t-shirt kok. Nanti ngobrolnya dilanjut lagi, oke. Gue berangkat dulu ya."

"Hati-hati." Balas Jean seraya melihat kepergian Jaemin yang terburu-buru. "Such an angel. Gak kebayang yang jadi istrinya sebahagia apa nanti."

To be continue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continue.

FATED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang