Hyunjin menatap ponselnya dengan dahi berkerut dan alis yang menukik tajam. Ia tidak sedang marah, hanya saja tatapan itu pertanda kalau benar-benar khawatir pada sosok lembut yang menjadi suaminya itu.
Berulang kali ia mencoba menelepon suaminya namun Jeongin tak kunjung mengangkatnya dan berakhir dengan mailbox.
Suami manisnya itu jelas-jelas meminta ijin pulang kembali ke flat kecil mereka 4 jam yang lalu, namun hingga kini Jeongin tak memberinya kabar sama sekali.
Tentu saja itu membuatnya khawatir setengah mati. Mengingat Jeongin adalah orang yang terlalu polos dan baik, ia takut jika ada orang jahat yang memanfaatkan sifat suaminya itu untuk melakukan tindak kriminal.
Penculikan atau penculikan misalnya?
"Ah, shit!"
Hyunjin melempar ponselnya kesal. Ia menggeram dengan wajah yang frustasi. Menjatuhkan dirinya diatas ranjang empuknya dan memijit pelipisnya pelan.
Ia kesal, khawatir dan juga bingung.
Ia sudah berniat mencari akan Jeongin diluar sebelum akhirnya terdengar pintu kamar yang terbuka, menampilkan sosok Jeongin dengan wajah kusut yang tersenyum paksa kearahnya.
Hyunjin tidak bodoh untuk menyadari senyuman aneh itu. Ia curiga, lalu bangkit mengahampiri suaminya.
"Aku meneleponmu sejak tadi, sayang. Kau kemana saja?"
Jeongin meletakkan tasnya perlahan. Helaan napas begitu berat keluar dari bibirnya. Seolah ada tumpukan beban disana.
"Ponselku hilang, maafkan aku."
Akunya. Bohong, sebenarnya Jeongin tak pernah bisa membohongi Hyunjin.Ia hanya tak ingin suaminya khawatir karena nyatanya handphone itu diambil oleh ayahnya sebagai imbal balik kehidupan sengsara ayahnya di penjara tanpa mendapat perhatian darinya. Picik dan memuakkan.
Ayahnya tak pernah melepaskannya begitu saja. Bahkan lelaki paruh baya itu mengancam akan menyakiti Hyunjin jika Jeongin tidak mengiriminya uang setiap bulannya dengan jumlah yang sangat banyak.
"Bagaimana bisa?" Kedua tangan Hyunjin menyentuh pundak Jeongin yang kini tengah membelakanginya. "Apa seseorang merampokmu?"
Jeongin terdiam, bingung ingin menjawab apa. Sementara ia tak mungkin mengatakan kalau ayahnya sendirilah yang merampoknya. Hyunjin akan sangat terpukul mendengarnya.
"Sayang?"
Tiba-tiba bahu Jeongin bergetar, menandakan kalau lelaki manis itu terisak dalam diam. Hingga detik berlalu, suara yang ditahan Jeongin itupun keluar. Ia menangis tersedu tanpa sepatah kata yang terucap.
Hyunjin langsung membalikkan tubuh rapuh itu dan memeluknya.
"Kau pasti sangat ketakutan. Maafkan aku, sayang." Tangan besarnya mengusap-usap pundak suaminya dengan lembut. "Sst... kau sudah aman sekarang." bisik Hyunjin tanpa benar-benar tahu apa yang membuat suaminya itu menangis.
***
Jaemin menatap sosok tinggi Hyunjin dengan alis bertautan dan wajah jengah yang sangat kentara. Matanya seolah bertanya-tanya apa maksud dengan memberikannya dua lembar tiket liburan ke pulau Nami.
Hyunjin yang berdiri di depan meja kerjanya hanya menatapnya dengan tatapan memohon. Jaemin membanting bolpointnya frustasi lalu menghela napas pelan.
"Kau bermaksud menjaga jarak denganku atau apa?" ketusnya.
Jujur, bukannya berniat memulai pertengkaran kembali setelah bertemunya mereka. Hanya saja hubungan keduanya memang belum sebaik yang orang kira. Ketika hanya berdua, apa lagi di tempat kerja mereka, Jaemin maupun Hyunjin enggan bertukar sapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jughead Spouse
Fanfiction이제노,나 재민 -Hyunjin tiba-tiba lari pada hari pernikahannya berlangsung. Untuk menutupi rasa malu keluarga, Jaemin pun dinikahkan dengan Jeno, adik Hyunjin yang mengalami keterbelakangan. [remake] author : btypeb Story/pairing : jughead spouse/chanbaek