Jaemin terus menggenggam tangan pucat Jeno, memeluk lengannya penuh rasa khawatir. Matanya masih saja berkaca-kaca sejak ia duduk disamping ranjang suaminya.
Sesak, sakit, namun ia tak bisa menangis. Ia tak boleh menangis di hadapan Jeno. Ia ingin terlihat kuat agar Jeno mau membuka matanya dan menemukan dirinya yang akan selalu menjadi batu karang untuk suaminya.
Jaemin hanya ingin Jeno percaya kalau dia selalu menjaga suaminya dan terus berjanji akan selalu melindunginya. Meski pun rasa bersalah mendominasi hatinya yang kalut.
Lelaki sipit itu kini terbaring lemah dengan alat kedokteran yang menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat dan jantungnya lemah. Ia belum juga sadar sejak ia berhasil di selamatkan oleh petugas pantai.
Entah saat itu Jaemin harus bersyukur atau justru sedih karena suaminya belum membuka matanya sejak dua hari yang lalu.
"Jaem, Istirahatlah. Kau butuh tidur." Suara itu membuyarkan lamunan Jaemin.
Sesosok wanita paruh baya meremas pundaknya, menatap khawatir sang anak yang tidak bergeming sedari tadi.
"Setidaknya makanlah sesuatu. Bukankah kau ingin Jeno segera membuka matanya? Dia akan sedih melihatmu sakit."
Menyadari ucapan khawatir ibunya membuat Jaemin mau tak mau mulai beranjak dari kamar Jeno dan digantikan ibunya. Tubuh ringkihnya berjalan keluar dengan langkah yang sangat lambat. Seolah tak rela meninggalkan suaminya barang sedetik pun.
Setelah menutup pintu rawat Jeno, Jaemin menemukan sosok Hyunjin yang terlihat frustasi dan ditenangkan oleh suaminya; Jeongin. Mereka terlihat tengah melakukan percakapan penuh emosi dimana Hyunjin terus-terusan menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa Jeno.
Sempat terlintas di pikiran Jaemin kalau semua ini disebabkan oleh Hyunjin, namun ia sadar kalau ini juga kelalainnya karena meninggalkan Jeno tanpa pengawasan siapapun.
Tanpa menggubris panggilan Jeongin, Jaemin kembali melangkahkan kakinya.
Baru berjalan sekitar semenit, Jaemin berhenti di depan kamar yang terletak tiga meter dari kamar rawat Jeno. Matanya bisa melihat dari luar, apa saja yang sedang dilakukan seorang suster disana.
Bola mata indah itu kemudian bergulir ke samping, kearah ranjang yang diisi oleh seseorang yang tak pernah di duganya. Itu, Renjun. Baru kemarin ia mengetahui kalau Renjun juga di rawat karena mengalami kecelakaan dan mengalami koma.
Entah tuhan bermaksud mengejeknya atau sekedar mengingatkannya kalau Renjun dan Jeno akan selalu berhubungan. Jika salah satunya tersakiti, pasti yang satunya pun mengalami hal yang sama.
Bukankah mereka seperti dua orang yang saling mencintai yang dipisahkan oleh takdir? Jaemin merasa kecil dengan pemikirannya sendiri.
Entahlah. Ia hanya merasa buruk dan berpikiran negatif akhir-akhir ini.
"Sebenarnya... bagaimana perasaan kalian satu sama lain?" gumamnya lirih. Dan air matanya pun perlahan menetes.
Ia mengingkari janjinya sendiri untuk tidak menangis. Rasanya terlalu perih untuk sekedar di tahan olehnya. Ia sudah tak sanggup.
"Kenapa kau tidak mau merelakannya, hyung? Kenapa kau justru menyusul Jeno ke alam bawah sadarnya? Kenapa kalian seolah ingin selalu bersama?" Bisiknya penuh rasa kesakitan membuat siapapun yang mendengarnya akan ikut terluka.
Jaemin dan segala keputusannya.
***
Seulgi mengulurkan gelas kopinya pada Jaemin yang tampak termenung beberapa menit yang lalu. Matanya memandang ke depan namun hanya kekosongan yang terlihat.
Lelaki mungil Itu tampak rapuh. Lebih rapuh daripada ketika Hyunjin meninggalkannya. Seolah jika di sentuh sedikit saja, ia akan retak.
Wanita yang lebih tua beberapa tahun dari Jaemin Itupun duduk tepat disampingnya. Wajahnya yang biasanya ceria kini juga tampak sendu. Ia sama-sama melempar tatapannya lurus ke depan. Melihat lalu lalang suasana taman rumah sakit itu.
"Jeno akan segera dioperasi." Jaemin tampak tak bergeming karena ia sudah mengetahui hal itu.
"Ada kabar baik dan buruknya."Helaan napas kembali terdengar dari bibir tipis sang psikiater.
"Kabar baiknya, keadaan Jeno secara psikis 75% akan kembali normal seperti saat dia masih kecil. Tapi kemungkinan terbesar ia akan kehilangan sebagian memorinya. Ia mungkin hanya akan mengingat orang-orang di kehidupannya dulu."
Jaemin kini menatap si psikiater dengan pandangan kosongnya. Ia seolah kehilangan harapan hidup.
"Jadi, Jeno akan melupakanku begitu?"
"Yeahㅡ"
Seulgi menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu untuk meneruskan karena Jaemin terlihat sangat hancur.
"Dalam keadaan tidak sadar ini, psikis Jeno sedang stabil. Dengan meengoperasinya, akan banyak harapan untuk kesembuhan mentalnya. Daya ingat dan kognitifnya akan stabil kembali. Meskipun tidak ada kesembuhan total, namun Jeno sudah akan bisa berpikir layaknya orang normal." jelasnya perlahan, berharap Jaemin bisa menerimanya tanpa menambah beban pikiran.
"Lakukan saja jika itu bisa menyembuhkan Jeno." balas Jaemin lirih.
Ia memilih untuk menatap ujung sepatunya, menyembunyikan mata bulatnya yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Meskipun hal tak bisa menyembuhkan hatiku..." gumam lelaki mungil itu lirih tanpa bisa ditangkap oleh pendengaran Seulgi.
"Maaf, Jaem. Aku tidak bisa melakukan apapun untukmu."
"Tak masalah. Aku sudah terbiasa ditinggalkan."
***
Guanlin telah selesai memeriksa keadaan Renjun yang masih sama seperti sebelumnya. Lelaki berwajah malaikat itu sepertinya enggan membuka matanya. Ia tampak lebih kurus dan pucat.
Keadaan ini sebenarnya membuat Guanlin frustasi sendiri. Ia bahkan memaksa dokter Kim untuk bertukar posisi dengannya sehingga ia bisa merawat Renjun dengan leluasa.
Namun yang didapatinya kini tetap keheningan tanpa harapan yang pasti. Renjun tetap tak menunjukkan keadaan yang lebih baik.
"Sampai kapan kau akan tetap tertidur, Njun?"
Guanlin mengulurkan tangannya dan menggenggam jemari dingin Renjun yang sedikit membengkak karena efek infus yang diterimanya setiap hari. Jemari hangat Guanlin mengusap punggung tangan itu lembut.
"Aku akan menjagamu. Bangunlah."
"..."
"Lupakan semuanya, lupakan perasaanmu pada Lee Jeno dan mari memulainya dari awal. Kau dan aku..." lirih Guanlin penuh keikhlasan.
Hatinya sakit melihat orang yang disukainya terbaring lemah tak berdaya. Guanlin rindu dengan senyuman di wajah cantik itu.
Rindu akan suara lembut Renjun meski dia hanya bisa mendengar suara itu menyebut nama Jeno dan bukan dirinya. Ia rindu semuanya.
Guanlin sendiri merasa bodoh karena tak pernah berusaha mendekati Renjun. Ia merasa bodoh karena hanya mampu melihat Renjun dari jauh saat lelaki itu mengajari Jeno.
Ia pikir semua akan baik-baik saja walau ia hanya bisa menatap Renjun dari kejauhan. Namun, kenyataan kini memukulnya telak.
Seharusnya sejak awal ia memberikan perlindungan bagi Renjun. Seharusnya ia membuat Renjun merasa aman dan nyaman dipelukannya. Membuat lelaki manis itu mencintainya perlahan dan bukannya membiarkan lelaki itu terlarut akan cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Kebodohan membuatnya lambat dalam mengambil keputusan. Kini hidup dan mati Renjun hanya Tuhan yang bisa menentukan.
"Aku akan membuatmu mencintaiku, Njun."
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Jughead Spouse
Fanfiction이제노,나 재민 -Hyunjin tiba-tiba lari pada hari pernikahannya berlangsung. Untuk menutupi rasa malu keluarga, Jaemin pun dinikahkan dengan Jeno, adik Hyunjin yang mengalami keterbelakangan. [remake] author : btypeb Story/pairing : jughead spouse/chanbaek