Part. 20

650 94 9
                                    

“Jaeminie, apa kau akan berlibur dengan Jeno di tahun baru ini?” Haechan menatap Jaemin dengan binar di matanya.

Mendengar ucapan Haechan, Jaemin hanya tersenyum kecil kemudian menggedikkan bahunya. Yang lebih tua mengerang tak suka.

“Ayolah, Jeno itu sudah sembuh. Kalian harus liburan dan bersenang-senang berdua. Kalian bisa memulainya dari awal. Bukankah kau bilang Jeno tak pernah memarahimu atau membencimu? Jadi, dia sudah menerima pernikahan kalian. Itu artinya kalian bisa honeymoon berdua~ astagaaa, aku tak bisa membayangkannya. Kalian pastiㅡ”

“Chan.”

“ㅡakan menikmatinya. Ya?”

Wajah sendu Jaemin membuat Haechan mengernyit heran. Tidak biasanya Jaemin selesu itu. Apa terjadi sesuatu? Atau dia salah bicara? Kenapa Jaemin terlihat tidak senang.

“Apa ada sesuatu yang terjadi? Kalian bertengkar?”

Haechan bertanya pelan. Takut menyakiti sahabatnya. Kepala Jaemin menunduk, rasa sesak di dadanya kembali menumpuk layaknya roll benang yang sudah kusut dan tak bisa ditata dengan baik. Kacau dan sulit dibenahi. Sama seperti perasaan dan pikirannya sekarang.

“Aku bermimpi... Jeno, diaㅡ” Jaemin menelan ludahnya dengan susah payah. Matanya mulai memanas. “Jeno berniat menikahi Renjun.”


Uhhuk.


Haechan tersedak ludahnya sendiri. Matanya melotot penuh kekesalan.

“YA! Jaga ucapanmu, Lee Jaemin! Jeno tidak mungkin melakukan itu!”

Jaemin menatapnya dengan tatapan yang paling dibenci Haechan. Mata bulat yang berkaca-kaca dan ekspresi penuh terluka benar-benar menyiksanya. Jaemin sudah dianggapnya saudara sendiri, adiknya yang paling berharga. Ia sangat menyayanginya.

Melihat kesedihan adiknya, membuat Haechan ingin memenggal kepala Jeno detik ini juga.

“Kenapa kau bisa berpikiran sesempit itu, hah?!”

“Chan, dia bahkan lebih memilih merayakan natal bersama Renjun dari pada aku.”

“Bukankah dia mengajakmu dan keluarganya?”

Lelaki bermata bulat itu membuang tatapannya pada jalanan di depannya. Banyak orang lalu lalang dengan mengenakan pakaian khas musim dingin mereka, berjalan pelan-pelan di tengah salju dan hawa dingin yang menyerang.

Entah mengapa, meskipun Jaemin berada di dalam ruangan cafe yang hangat, ia masih saja merasakan dingin.

“Mereka saling mencintai, Chan. Aku harus bagaimana?”

“Tahu dari mana kau?! Kau selalu saja berputus asa, Jaem. Aku tidak suka!”

“Aku bukannya berputus asa, Chan. Aku memang sudah tak memiliki kesempatan lagi.”

“NA JAEMIN!”

Haechan membentaknya dengan suara yang cukup keras. Serta pelafalan nama Jaemin secara lengkap membuat Jaemin sadar kalau Haechan sedang sangat emosi sekarang.

“SEMUA PIKIRAN ITU MEMBUATMU GILA, JAEM! BERHENTI BERPIKIRAN NEGATIF! KAU SELALU SAJA MENYAKITI DIRIMU SENDIRI! AKU MUAK MELIHATMU YANG SELALU BERPUTUS ASA! KALAU KAU INGIN BAHAGIA, KEJAR KEBAHAGIAANMU DAN JANGAN MENYERAH BEGITU SAJA! AKU PERGI!”

Haechan segera beranjak dari dalam cafe itu, membiarkan Jaemin dengan semua keputusannya. Bukannya Haechan bermaksud untuk memusuhinya. Ia hanya tak bisa melihat kesedihan di mata Jaemin. Itu menyakitkan.

Langkah Haechan berhenti beberapa menit setelahnya, matanya bergulir melihat sahabatnya yang masih belum beranjak dari dalam cafe itu. Ia menghela napas lalu merogoh saku blazernya.

Setelah menemukan ponsel, ia segera menghubungi seseorang.

“Jeno, ini aku Haechan ㅡsahabat suamimu. Sepertinya kita harus bicara. Sore ini di kedai kopi dekat apartemenmu.”

***

“Aku sudah mengurus seluruh berkasmu dan lusa kau bisa memulai kuliahmu.”

Jeno mengangguk perlahan tanpa begitu menggubris kalimat kakaknya, Hyunjin. Pikirannya sedang tertuju pada sosok suaminya.

Jaemin memang akan bertemu Haechan –sahabatnya– tapi lelaki mungil itu pergi tanpa membawa ponsel atau alat apapun yang bisa menghubungkan mereka. Jujur, ia khawatir. Apalagi Jaemin belum benar sembuh.

“Jen, kau mendengarku kan?”

Kepalanya mengangguk lesu dan Hyunjin langsung memahami kalau adiknya sedang dilanda pikiran.

“Apa kau tidak nyaman dengan keadaanmu yang sekarang? Maksudku, apa ini terlalu mendadak?”


“Tidak, hyung. Aku memang ingin meneruskan sekolahku agar bisa menggantikan Jaemin di perusahaan.” Hyunjin mengangguk pelan lalu menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan Jeno di kampus barunya.

Jeno memang bersekolah privat sejak kecil, maka dari itu Hyunjin agaknya susah memasukkan Jeno ke dalam universitas biasa.

Sebenarnya ia takut kalau Jeno belum begitu bisa menguasai materi dalam perkuliahan dikarenakan sakitnya dulu. Dia khawatir kalau Jeno belum benar sembuh. Anak itu sering mengeluh pusing.

“Apa kau yakin?”

“Ya.” Ia mengangguk mantap. “Waktu empat tahun itu akan ku manfaatkan dengan baik. Dengan begitu aku akan segera bisa membantumu di perusahaan.”

“Jangan terlalu memaksa, Jeno-ya.”


Hyung tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja.”

Jeno memalingkan wajahnya dan menatap tembok yang terbuat dari kaca itu dengan sendu. Menatap kawanan burung yang terbang menuju barat untuk pulang ke rumah mereka.

“Aku akan pergi ke rumah sakit bersama Seulgi noona untuk menemui dokter Jung Jaehyun. Hubungi aku jika hyung tau dimana keberadaan Jaemin.”

Hyunjin mengangguk pelan. Tersenyum melihat ke khawatiran terpancar di mata adik lelakinya. Jeno pun segera beranjak dari ruangan kakaknya untuk menemui Seulgi yang sudah menunggunya di lobi kantor.



Sepertinya Jaemin sudah menemukan kebahagiaannya.”




To be continued.

Jughead SpouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang