PART 5

156 2 0
                                    

"Hiks... Hiks..."

Suara tangisan Bu Ijah tak terbendung lagi. Betapa tidak, anaknya telah tiga hari tak bangun-bangun. Entah mengapa bisa terjadi.

Banyak sanak saudara,tetangga yang menenangkan Bu Ijah. Mereka juga memanggil Pak Ustadz Arifin untuk meminta bantuan.

"Coba ibu ceritakan awal mulanya mengapa Abdi sampai begini?" Tanya Pak ustadz.

"Saya tidak tau pak, yang saya tau si Abdi, habis maghrib ketiduran. Ia kecapean habis panen sayur dikebun, dan memang ia tertidur beluk salat isya." Bu Ijah menjelaskan sambil terisak-isak.

Pak Ustadz mengangguk, sepertinya ia sedikit faham. Ia berpikir sejenak.

"San, tolong ambilkan air putih segelas ya!" Pak Ustadz memerintah Ikhsan.

"Iya Pak,"

Ikhsan segera kembali dengan segelas air putih. Pak Ustadz mengambil air itu, lalu membaca doa-doa. Mulutnya terlihat komat-kamit serta matanya terpejam.

Beberapa menit kemudian ia meniup air itu, kemudian memanggil roh Abdi.

Pak Ustadz membuka mata perlahan, ia melihat air didalam gelas itu. Seperti sedang menonton, namun tak seorangpun yang tau.

Ustadz Arif menghela napas panjang, ia meletakkan air diatas meja. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Lalu mulai berbicara.

"Jiwa Abdi tidak disini, ia terjebak di Negeri lelembut penunggu Sungai Dawuhrani." Ustadz Arif menjelaskan kepada keluarga dan warga yang ada disana.

"A... Apa..." Ikhsan terlihat terkejut mendengarnya.

"Tidak... Tidak... Bagaimana ini, Anakku kembalilah, Ibu merindukanmu nak," Ujar Bu Ijah sambil terus menangis.

"Apa solusinya Pak Ustadz, agar adik saya bisa kembali ke alam kita?" Tanya Somad, kakak tertua Abdi. Matanya terlihat berkaca-kaca, dengan raut wajah yang kacau.

Ustadz Arif menghela nafas, ia sedang mencari cara untuk mengatakan yang sebenarnya. Sedangkan keluarga Abdi menanti dengan cemas.

"Hanya ada dua kemungkinan, Abdi selamat atau mungkin ia akan mati," Pak Arif menjelaskan.

Ibu Ijah langsung jatuh pingsan. Dengan sigap diangkat ke ranjang oleh anaknya. Suasana semakin kacau, malam kian mencekam.

Setelah selesai mengurus Bu Ijah, mereka kembali duduk. Melanjutkan perbincangan dengan Pak Arif.

Pak Arif segera melanjutkan,
"Abdi, jiwanya tertawan di Negeri lelembut sana. Entah sampai kapan, karena ada suatu hal yang membuatnya masuk dan melanggar pantangan. Saya bisa membantu Abdi, dengan meragasukma."

"Tolong Ustadz, selamatkan adik kami," Evi memohon.

"Nanti kami akan menuruti semua persyaratan yang Ustadz minta," sahut Somad.

Ikhsan hanya diam, dengan mata berkaca-kaca. Ia sedih memikirkan nasib Pamannya.

"Ya, dengan izin Allah, kita semua akan berusaha. Saya minta Ikhsan tolong puasa putih selama tiga hari,Ikhsan masih muda dan bersih. Akan saya ajak ikut menyelamatkan Abdi."

Ikhsan kaget, ia tak menyangka jika Ustadz akan mengajak dirinya. Tapi ia senang, bisa membantu mencari Pamannya.

"Baik, Pak, Ikhsan siap!" tegas Ikhsan.

Karena hari semakin larut, Pak Arif pamit pulang. Ia mengatakan akan kembali tiga hari lagi, setelah selesai melaksanakan puasa putih.

Pak Arif pulang dengan sepeda motornya. Di pertigaan jalan, ada seekor ular besar menyeberang jalan. Pak Arif kaget, langsung mengerem motornya mendadak.
Ular itu berukuran tak lazim, bersisik emas berkilau.

Pak Arif beristighfar, sambil melihat ular itu lewat berlalu. Seperti sebuah teror awal untuk memulai sebuah perjalanan jauh. Setelah ular itu pergi, Pak Arif kembali menjalankan motornya. Situasi hujan gerimis kecil, diiringi suara lolongan anjing.

Ketika lewat Kedai kopi Mpok Rika, ada Pak Suketi, ia terlihat sedang menikmati secangkir kopi dan gorengan.

Pak Arif menghentikan motornya, ia ingin ngobrol dengan Pak Suketi. Beliau adalah tetua masyarakat, beliau tau betul seluk beluk Desa ini. Sedangkan Pak Arif, baru tiga tahun tinggal di Desa ini.

"Eh, Ustadz Arif, darimana malam-malam gini?" Pak Suketi menyapa.

"Dari Rumah Bu Ijah, Pak,"

"Oh ... Pasti mereka minta bantuan untuk mencari sukma Abdi ya?"

"Iya, tadi saya lihat ada Bapak di sini, makanya saya mampir."

"Ya, sudah ... Kita ngobrol dulu ya, sambil minum. Nanti saya ceritakan tentang sesuatu," ujar Pak Suketi.

"Mpok ... Buatkan kopi susu satu ya! Sekalian sama tambah gorengan dan bolu!"

"Iya, Ustadz, saya buatkan." Mpok Rika segera ke dapur.

Tiba-tiba ada suara motor terdengar, ternyata Mang Fauzan. Ia suami dari Mpok rika. Ia baru pulang dari mengantar anaknya ke Pesantren.

"Assalamu'alaikum," kata Pak Fauzan.

"Waalaikumsalam," sahut Ustadz dan Pak Suketi bersamaan.

"Eh, ada Ustad sama Pak Suketi. Sudah lama disini?"

"Belum Mang, dari mana kok baru pulang?" tanya Ustadz.

"Biasa, saya tadi nganterin anak saya ke Pesantren. Kemalaman, gara-gara hujan."

Mpok Rika datang, dengan membawa pesanan Ustadz. Ia juga membuat segelas kopi untuk suaminya, ia hafal betul suara motor sang suami.

"Ustad, saya tidak menyangka malam ini adalah momen yang sangat pas. Kami adalah orang asli daerah sini. Kami tau, Ustad pasti ingin membantu Abdi," ujar Mpok Rika.

Ustadz Arif kaget, ia tidak tau. Ternyata mereka bertiga faham dengan kondisi ini. Usut punya usut ternyata mereka bukan orang sembarangan. Mereka faham betul tentang lelembut.

"Iya ... Makanya saya ingin tau lebih dalam dan bertanya pada Pak Suketi, jika Mpok dan Mamang tau juga, tolong bantu saya," kata Ustadz.

Mang Fauzan menyeruput kopi, sambil menghela nafas.

Bersambung...

NEGERI PUTRI DAWUHRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang