PART 7

156 1 0
                                    

Puasa hari ketiga, semua masih normal dan berjalan lancar. Siang, sehabis salat zuhur, Ustadz Arif pulang dari mengajar di Pesantren. Ia sengaja lewat depan rumah Mang Fauzan. Dari kejauhan, terlihat Mang Fauzan sedang menjemur daun bidara.

"Assalamu'alaikum, Mang," Sapa Ustadz.

"Waalaikumsalam, Ustadz." Mang Fauzan sedikit terkejut, karena sedang fokus memikirkan sesuatu.

"Bagaimana, puasanya? Lancar?"

"Alhamdulillah, Ustadz. Kebetulan, Ustadz kemari, saya mau mengingatkan kalau nanti malam sehabis isya kita kumpul di rumah saya, ya?" ujar Mang Fauzan.

"Ya, baiklah. Ikhsan juga akan ikut bersamaku," jawab Uztadz.

"Iya, harus. Ikhsan, akan sangat membantu nantinya."

"Bagaimana, dengan Pak Suketi?"

"Ia pasti datang, tadi sudah di telpon," jawab Mang Fauzan.

Mereka berdua, akhirnya larut dalam pembicaraan tentang gangguan yang terjadi. Saling menceritakan pengalaman tadi malam, tak lupa, Ustadz menceritakan tentang Kuncranti.

"Wah, sangat bermanfaat! Kuncranti bisa membantu menunjukkan arah, jangan lupa bawa dia." Mang Fauzan, terlihat sangat sumringah.

"Iya, ya. Aku lupa, membicarakan hal ini dengan Kuncranti, nanti akan aku coba." Ustadz mengangguk, mungkin benar, Kuncranti bisa membantu. Tapi, apakah dia mau? Sedangkan keselamatan jiwanya pasti akan sangat terancam.

Setelah dirasa cukup, Ustadz pamit pulang. Sesampainya di rumah, ia menuju tempat penyimpanan Kuncranti. Terjadilah dialog antara mereka.

"Kuncranti! Maukah kau ikut bersamaku? Ke Negerimu, kau sebagai penunjuk arah," tanya Ustadz.

"Bukan tidak mau, aku hanya takut. Jika, aku tertangkap, aku akan mati!" Kuncranti berkata, dengan wajah ketakutan. Ia membayangkan, eksekusi yang akan diterimanya nanti.

"Aku berjanji, akan menyelamatkanmu Kuncranti! Ammar, bisa kupanggil kapanpun untuk membantuku." Ustadz menenangkan Kuncranti, jika ia ikut, maka akan lebih cepat proses penyelamatan. Sehingga, tak perlu waktu lama untuk menyusuri Kerajaan.

"Baiklah, jika itu maumu, bawalah aku ikut serta." Kuncranti pasrah, hidup atau mati hanya diujung rambut saja.

Selepas salat asar, Ikhsan datang ke rumah Ustadz. Sesuai janjinya, ia akan membantu mencari Pamannya.

**********

Maghrib tiba, mereka berbuka puasa. Lalu, salat bersama. Sembari, menunggu waktu isya, Ustadz mengajak Ikhsan dzikir bersama. Untuk menguatkan sukma mereka. Karena sebentar lagi, waktu yang ditunggu segera tiba.

Ikhsan, ia sangat deg-degan. Seumur hidupnya, ini adalah yang pertama. Berkelana ke alam halus. Jantungnya terus berdegup kencang, siapapun yang dekat, akan merasakannya.

Mengapa, Ustadz mengajak Ikhsan? Sebuah pertanyaan misterius. Karena, Ikhsan sebenarnya keturunan ke tujuh dari, Tuanku Rajo Bara. Ia adalah seorang pertapa sakti dari Gunung kembar Wisnu Wandari. Ikhsan belum bisa mengendalikan dirinya, ia masih belia. Ia bahkan tidak tahu, jika ia adalah pewaris tunggal semua kesaktian Buyutnya.

Itu sebabnya, mengapa, Ia tak melihat ular besar yang dilihat Abdi tempo lalu. Ada yang menjaganya, serta menutup mata batinnya.

Selepas isya, mereka berangkat ke rumah Mang Fauzan. Mereka berjalan kaki, karena jarak memang tidak jauh. Hanya saja, mereka akan melewati hutan kopi yang hanya 200 meter.

Sepanjang perjalanan, mereka ngobrol-ngobrol. Untuk membuang sedikit ketegangan. Apalagi Ikhsan, ia masih remaja.

Suasana malam ini, sangat terasa beda. Hawa dingin sangat menusuk, padahal tidak hujan. Angin berhembus kencang, merontokkan daun kopi dan berterbangan.

NEGERI PUTRI DAWUHRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang