"Sore Bersama Sora?"
Radit mengangkat muka dari pasta buatanku dan menatapku dengan bingung. Aku duduk di sofa disampingnya setelah menghidangkan jus jeruk dan membuat popcorn untukku sendiri.
"Iya. Dasar Naf kurang kerjaan. Dari dulu aku udah bilang ke dia. Acara itu terlalu lebay. Maksudku, aku ragu ada yang mau datang. Aku siapa coba? Kenapa aku harus menceritakan kisah hidupku di depan banyak orang yang aku yakin, punya lebih banyak cerita kehidupan yang lebih asik dan lebih berguna," keluhku.
"Naf bener sih," ujarnya, membuatku langsung menoleh dan memelototinya. "Wait. Maksudku gini. Di acara sharing itu, sebisa mungkin kamu buat diskusi dua arah. Disitu mereka nggak hanya mendengarkan, tapi juga mengatakan,"
"Tapi tetap aja pusat perhatian adalah aku, Dit," aku mencomot popcorn. "Kamu sih nggak paham gimana rasanya"
"Aku boleh datang?"
"Nggak!" jawabku cepat. "Kamu nggak boleh datang ke Poirot Cafe.," aku menegaskan.
"Eh, kenapa?"
Siapa tahu disana nanti ada yang bertanya, siapa orang yang ada di hatiku dan sedang kutunggu. Bagaimana jadinya jika aku menjawab Raditlah orangnya, sementara dia sendir ada di tempat yang sama, bahkan dapat mendengarku. Sama saja aku menyatakan perasaanku di depan banyak orang, dan di depannya. Aku menggeleng kuat. Tidak, aku tidak boleh menyatakannya. Bisa jatuh harga diriku.
"Pokoknya nggak boleh,"
"Ngomong-ngomong, besok kita kalau mau ketemu nggak usah jalan atau pergi kemana-mana ya,"
"Kok gitu?"
"Soalnya mampir ke rumahmu aja udah dapat pasta rasa restoran. Gratis pula,"
Aku menjitak kepalanya
*
"Rapi banget Ra? Mau kemana?"
"Baju ini terlalu rapi ya Bun?" aku berputar, membiarkan Bunda mengamati pakaianku berupa dress biru dengan aksen bunga matahari di bagian rok dan bagian pinggang yang mengetat. "Mau ke acara yang kemarin aku cerita itu Bun"
"Oh, kirain mau kemana gitu sama Radit," Bunda tersenyum kecil. "Tadi dia telpon ke ponsel Bunda. Dia titip salam buat kamu. Katanya ponselmu mati, dan kamu nggak mau dia datang kesana. Bener?"
Aku terkikik. "Nanti kalau dia telpon lagi, jangan diangkat Bun," aku menyalami da mencium pipi Bunda. "Aku berangkat Bun. Doakan lancar ya,"
Diusapnya kepalaku sebelum aku keluar rumah dan menyalakan mesIn mobil. Selama perjalanan aku terus memikirkan cerita apa yang akan kuceritakan. Apa tentang perpisahan Ayah dan Bunda saat aju kecil, lalu Bunda yang menikah lagi dengan pria berkebangsaan Jerman dan memberiku adik kecil sebelum Papa-begitu aku memanggilnya-meninggal saat menjadi relawan gempa. Kemudian Bunda menikah lagi dengan teman SMA-nya hingga kini?
Itu sih lebih baik mengundang Bunda saja.
Pertanyaan itu belum terjawab saat aju sampai di Poirot Cafe. Naf sudah menungguku di pintu masuk. Ia tampak cantik dengan kemeja Mango putih, jins, da stiletto merah. Tangannya melambai memanggilku.
"Audiensnya banyak banget, Ra. Gue sukses datengin penonton. Ngomong ngomong," ia celingak celinguk mencari sesuatu. "Radit mana?"
"Nggak ikut lah. Kenapa?"
"Kenapa nggak diajak?"
"Lo bilang ini sharing tentang hidup gue dan novel novel gue kan? Seandainya nanti ada pertangaan menyangkut dia, mau ditaruh mana muka gue?"
Ia tertawa kecil. "masuk yuk. Tapi lo jangan kaget ya lihat audiens yang datang,"
"Kenapa?"
Sebelum pertanyaannya terjawab, ia lebih dulu membuka pintu cafe dan hembus napasku langsung tercekat. Astaga
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan
RomanceRindu? sudah biasa. Memendam? lumrah. Menyatakan? itu baru luar biasa. Sora, gadis ekspresif hadir di acara sharing bersama grup remaja berkebutuhan khusus. Bukan hanya berbagi mengenai kehidupan. Mereka juga berbagi soal kenangan penuh kerinduan. K...