"Mantan?"
Seorang audiens bertanya spontan padaku. Maya menatapnya penuh ancaman karena ini bukan sesi tanya jawab. Aku menyentuh bahunya, mengatakan tidak apa-apa.
"Buat saya, mantan itu bukan hanya orang yang sudah melepas komitmen dengan kita. Tapi orang yang sudah mengisi ruang kosong di hari dan hati kita, lalu pergi menyisakan bekas. Simple as that,"
Ia mengangguk-angguk paham.
"Terus, sun moon and tree, apa artinya?"
Maya menatap audiens lagi. Merasa terkalahkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang kuhiraukan. Aku tertawa kecil menatapnya.
"Oke, tentang matahari,"
*
Sebulan setelah menolak Dandi, tak ada lagi gangguan Hanum ataupun Dandi yang mendekatiku. Semua berjalan normal. Kecuali pagi ini. Kepala sekolah memanggilku ke ruangannya. Aku tercengang mendengarnya. Seingatku aku tidak berbuat onar atau melakukan hal fatal. Dengan kepala penuh pertanyaan aku masuk ke ruangannya dan menemukan kepala sekolah, seorang lelaki berkepala botak dan bertubuh gempal sedang tersenyum menatapku.
"Sora sudah datang rupanya. Mari sini duduk,"
Kepsek berdiri dan perutnya yang bergelambir itu berguncang saat beliau menarik kursi agar aku duduk. Aku berterimakasih, lalu duduk dan menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
"Bapak tahu kamu berprestasi dan jago dalam banyak hal. Matematika, bahasa jerman, dan seni," nah, ini baru basa basi yang sangat tidak diperlukan karena ia berbohong. Aku biasa-biasa saja di matematika. Tidak begitu jago di bahasa jerman. dan anjlok di seni tari walaupun cukup tahu seni bela diri dan bisa menggambar. "Dan Bapak yakin kamu bisa menbawa kebanggaan untuk sekolah ini. Bapak harap kamu mendengarkan secara seksama perintah kali ini,"
Aku mendengus dalam hati. Seolah-olah aku sedang mendengarkan pidato Bung Karno pada masa penjajahan. Untung saja aku tidak mengantuk.
"Besok lusa akan ada Camp Remaja se-Provinsi. Bapak mau kamu mewakili sekolah dalam acara itu. Akomodasi ke tempat acara sudah disiapkan, semua materi tinggal dipelajari,yang kurang hanya persetujuanmu saja,"
Aku melongo.
"Saya, Pak?"
"Iya, kamu. Peserta dari Jakarta hanya kamu dan 3 siswa lain. Sisanya dari kota lain,"
Aku bersyukur tidak tergeletak tak sadarkan diri di hadapan kepsek.
*
Dan dengan satu anggukan, kini aku sudah berada disamping Pak Gurit, supir sekolah yang siap mengantar ke alamat yang tertulis di secarik kertas yang menempel di dashboard. Tas carrier biruku tergeletak dengan tenang di jok tengah. Seakan tidak memahami kegelisahan pemiliknya.
"Dek Ra, uda sampe nih," ujar Pak Gurit menghapus lamunanku. Pak Gurit lebih dulu turun dan membantuku membawa tas carrier yang rasanya makin berat 2 kali lipat tiap menitnya. "Besok kalau sudah selesai, telpon bapak ya. Moga sukses, Dek"
Aku mengacungkan jempol dan berterimakasih sebelum pergi menemui panitia untuk mendaftar dan mengambil kit selama camp. Aku disambut seorang panitia berbaju biru tua sambil mendengus. Tanpa berterimakasih aku mengambil kit yang disodorkannya.
"Sendirian?"
"As you can see,"
"Pantesan kecil. Tasnya besar, orangnya sekecil semut. Peserta lain aja ada yang mendampingi,"
Aku mendengus kesal. "Sudah selesai ngomongnya?"
Ia mengangguk dengan ekspresi pongah.
"Gue gaada waktu ngomong begituan," ujarku seraya pergi menuju tenda.
*
"Jadi, di talkshow ini lo bakalan cerita asyiknya camp itu?" sanggah Maya penuh keraguan.
"Nggak. Ini gue baru masuk waktu gue menemukan matahari,"
*
Setelah beberapa materi dan ice breaking, aku mulai mengenal peserta lain. Farah, Gina, dan Tania. Cantik, asyik, dan cerdas. Tapi sepertinya kami harus berpisah di sesi pembagian kelompok.
Cara membagi 700 siswa menjadi 4 kelompok benar-benar asyik. Semua siswa diberi sebuah kotak berukuran kecil berisi 3 lembar kertas kecil. Kemudian pemateri menyampaikan pertanyaan.
"Seandainya kamu ada di sebuah jembatan kecil diatas lahar panas, apa yang akan kamu lakukan? Kembali dan tidak melewati jembatan lalu mencari jembatan lain? Kembali dan mencari cara menguatkan jembatan? Atau maju terus?"
Ah pertanyaan simple. Maju terus lah. Uda kepalang basah. Ngapain juga harus mundur kalau masih ada waktu? lagipula belum tentu jembatannya masih punya banyak waktu buat bertahan. Tunggu, ngapain juga aku lewat jembatan gantung? Di jakarta mana ada gunung berapi?
"Masing-masing pilihan ada di kertas tadi. Ambil dan temukan kamu ada di kelompok mana,"
Aku mengambil kertas pilihan option C yang ternyata masuk ke kelompok 2. Anehnya, terdapat lencana merah di dalam kotak.
"Lo dapet apaan Ra?" tanya Farah. "gue masuk kelompok 1, nih,"
"Iya, gue sama kaya Farah," sahut Tania.
"Gue kelompok 2 nih," sahut Gina yang membuatku melonjak senang. Mata Gina tertumbuk pada lencana di tanganku. "Lo dapet apaan tuh? Lencana merah? Wah, kaya cowok di sebelah sana, dong,"
"Apaan nih artinya?"
"Halo, ketua,"
Kami berempat sontak menoleh keasal suara yang datangnya dari seorang peserta laki-laki di belakang kami. Aku tercekat menatapnya. Matanya cokelat bulat dan berbinar. Aku tidak pernah menemukan sepasang mata seindah itu. Seperti bulan. Bercahaya dan indah.
"Lo dapet lencana itu, kan? Berarti gue wakil lo," ia menyodorkan tangannya yang kujabat setelah Farah menyenggol lenganku. "gue Pras"
"Sora"
Selepas beberapa basa basi, ia berbalik meninggalkan kami dan aku masih tak percaya. Ia, cowok tinggi dan penuh karisma itu, wakilku?
Dear readers :)
Ini cerita pertamaku di wattpad. Cant wait for your vote and comment. Terutama buat yang menemukan typo atau nggak paham sama istilah-istilah yang kupakai. Dan untuk arti Angin Pujaan Hujan di judul, kamu akan paham kalau ngikutin cerita ini.
Enjoy:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan
RomanceRindu? sudah biasa. Memendam? lumrah. Menyatakan? itu baru luar biasa. Sora, gadis ekspresif hadir di acara sharing bersama grup remaja berkebutuhan khusus. Bukan hanya berbagi mengenai kehidupan. Mereka juga berbagi soal kenangan penuh kerinduan. K...