Naf dan Telepon Malam Hari

82 6 0
                                    

"Kalo menurut gue itu bukan cinta. Tapi obsesi. Sama aja kan kalau Pras nggak tau perasaan lo,"

Seorang audiens yang duduk disamping kruk menatapku bingung. Lalu ia menambahkan.

"Jadi, lo bener-bener nggak nemuin dia? Atau mungkin lo nyusul Pras ke Jogja? Pengecut, dong!"

"Finally Sora ke Jogja, kok!" sahut Naf tak mau kalah. "Ceritain dong, Ra!"

Mataku menerawang keluar cafe, seolah-olah terlempar oleh kenangan ke masa lalu.

*

Papa menurunkan koperku dan Naf dari dalam mobil dengan napas terengah-engah. Bunda sibuk membenahi jaket yang kukenakan. Papa menatapku dan Naf bergantian.

"Oke, uda siap semua? Siap backpacker ke Jogja?"

"Om lucu, deh. Kan yang mau backpacker cuma Naf sama Sora," ujar Naf yang membuat kami terkikik geli.

"Abisnya semangat kalian nular, sih,"

"Hati-hati di jalan, ya. Sesering mungkin kabari kami," ujar Bunda seraya mengecup dahiku dan Naf.

"Doain pulang dengan selamat dan Naf bawa pacar," sahutku sambil menyodorkan tangan dan mencium tangan Papa dan Bunda.

"Dasar! Lo juga jomblo!" sahut Naf kesal sebelum melakukan hal yang sama denganku.

Kami melambai dan masuk ke dalam kereta. Sosok Papa dan Bunda menghilang lamat-lamat seiring dengan laju kereta.

Aku menatap jauh keluar jendela, meresapi batang-batang pepohonan yang bergerak dan berderak lebih cepat dan hanya menyisakan bayang-bayang. Seakan-akan pikiranku sudah lebih dulu tiba di Jogja, sampai di kamar Pras dan menyapanya. Berusaha memberitahunya bahwa aku sedang dalam perjalanan untuk bertemu dengannya. Hanya untuk sekedar menatap matanya yang bulat dan merasakan aroma tubuhnya yang manis seperti cokelat. Apa binar matanya masih seindah dulu? Apakah tangannya masih selembut dahulu, saat jemarinya hadir diantara helai rambutku, memberikan kelembutan yang dirasanya sesaat tapi efeknya luar biasa dalam hidupku? Apa mungkin kelembutannya masih bertahan atau seperti lautan? Bercampur dengan unsur lainnya dan berubah tiap saat, meninggalkan yang lama, berubah menjadi yang baru dengan perbedaan yang tampak jelas? Aku tak tahu.

Yang kutahu aku sangat merindukannya.

*

Naf menghempaskan tubuhnya keatas ranjang dengan lega. Kopernya ia biarkan tergeletak begitu saja disamping pintu. Sementara aku masih duduk di meja rias, menelusuri peta Jogja sambil membuka laptop, meneruskan kembali draft novel yang kutunda sejak kemarin.

"Istirahat dulu, Ra. Besok baru cari jalan ke UGM. Lagipula lo kan belum telpon Pras kalau lo ada di Jogja,"

Aku bergumam. "Sebenernya gue nggak ada niatan ngasih tahu Pras kalau gue ada disini,"

"Whatt???" tanya Naf seraya melonjak bangun.

"Iya. Gue pengen datang ke UGM dan cari dia tanpa dia harus tahu gue ada disitu. Kalaupun nggak ketemu, seenggaknya gue sudah ada di tempat dia hidup,"

"Dasar novelis!" keluhnya. "Lo tau kan UI segede apa. Dan UGM juga nggak jauh beda. Lo inget nggak, waktu itu ada yang nyari Ghani, anak sastra cina, di fakultas sastra. Ketemu nggak sama Ghani? Enggak kan! Sama aja di UGM," ia menyebut nama salah satu teman kuliah kami.

"Tapi, Naf..."

"Buat mendapatkan cinta, kita nggak boleh cuma berharap. Tapi juga berusaha. Dengan usaha yang real! Bukan sekedar doa dan menghayal aja!"

"Oke, gue telpon Pras,"

Aku beranjak dan berjalan menuju toilet.

"Heh, mau telpon sambil berendam?" tanya Naf.

"Gue mau telpon besok aja. Ini udah malem,"

"Malem apaan? Baru juga jam 7 malem. Sono telpon! Gue mau denger!"

Terdesak dan tak ada pilihan lain, aku duduk di ujung tempat tidur dan menekan nomor telepon Pras. Dua nada sambung terdengar. Dan kakiku sudah gemetar hebat. Ugh! Rasanya aku lebih baik terjun bebas dari green canyon daripada harus menelepon Pras.

"Halo,"

Anjiiiirrr. Suara Pras bener-bener lembut.

"Halo, Pras. Ini gue, Sora,"

"Iya, gue udah tahu. Nomer lo kan ada di ponsel gue," ia tertawa kecil. "Apa kabar Ra? Tumben telpon,"

"Baik. Lo sendiri gimana?"

"Baik juga, sih. Lo abis dapet mimpi apa sekarang telpon gue?"

"Gue lagi di jogja, nih,"

"Seriuus?" tanyanya dengan cepat.

Aku melirik Naf yang mengacungkan jempol padaku. Memintaku terus lanjut.

"Iya, dan," aku bergumam lagi. "Gue sama Naf. Sohib gue. Anak Unpar. Dia kepo banget sama UGM. Soalnya ntar dia mau ambil S-2 disini,"

Naf menatapku dengan pandangan tak percaya sekaligus kesal.

"Wah, asik tuh. Gue bisa bantu apa nih? As a student of UGM," ujarnya sambil tertawa. Menyadari dia bertingkah konyol.

"Bisa ketemu? I mean, Naf yang maksa gue buat ketemuan sama lo. Kan dia yang butuh. Jadi ntar gue cuma nemenin Naf doang,"

"Boleh lah. Gue lagi free, nih. Cuma besok ada kuliah pagi,"

"Sepulang kuliah?"

"Oke," hening. Kemudian ia bersuara lagi. "Oh, ya Ra. Gue ajak orang ya?"

"Sip. Besok ketemuan dimana enaknya?"

"Nanti gue SMS. Kalo gitu, see you Ra,"

"See you, Pras,"

Aku baru saja mematikan sambungan telepon saat Naf menimpukku dengan bantal. Kami tertawa sepanjang malam dan baru tertidur setelah merancang obrolan untuk esok.

*

Sepanjang pagi kami habiskan dengan berjalan-jalan di Malioboro dan mencicipi berbagai macam makanan khas Jogjakarta. Naf begitu santai membelanjakan uangnya. Sementara aku sangat gugup menanti waktu berubah menjadi pukul 12 siang.

Menjelang siang, aku dan Naf bergegas mencari takdi menuju cafe yang kami sepakati. Letaknya tak begitu jauh dari Malioboro. Sesampainya di cafe, Naf dan aku langsung memesan makanan dan kudapan. Nafsu makanku tak juga muncul. Rasa gugup masih membanjiri sekujur tubuhku.

Lewat 10 menit dari waktu yang dijanjikan, Pras datang. Ia tidak sendiri. Ia datang dengan seorang gadis yang membuat napasku tercekat.

Astaga.

***

Dear readers:)
Comment dog:) makasiih

Angin Pujaan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang