Hujan di Bulan Juli

114 5 0
                                    

Setelah aku dan Naf kembali ke Jakarta, seolah-olah aku hidup dalam duniaku sendiri. Aku begitu sibuk dengan kuliahku, dengan project novel, dan bisnis butik yang mulai kukembangkan bersama Bunda. Nama Pras seperti lepas dari kehidupanku. Naf sendiri sibuk dengan kuliah dan bisnis keluarganya. Ia paham dengan kondisiku dan tak pernah sekalipun menyinggung soal Pras.

Tapi melupakan tak segampang itu.

"Sora, ada tamu," panggil Papa sambil mengetuk pintu kamarku.

"Siapa, Pa?"

"Ganti baju. Tamu penting," ujar Papa sebelum menutup pintu.

Aku bercermin. Baby doll bergambar Princess Aurora ini begitu nyaman dipakai. Sayangnya aku harus menggantinya dengan mini dress yang kupakai untuk kuliah kemarin dan bergegas ke ruang tamu. Lalu aku terlonjak kaget melihat siapa yang sedang mengobrol dengan Papa.

Mbak Dera dengan, ah, apakah itu sungguh Jaka Abdullah? Sutradara terkenal yang filmnya berkali-kali mendapatkan penghargaan. Buat apa editorku datang bersama dengan sutradara muda ini? Apa mereka sedang pacaran. Ah, nggak mungkin! Mbak Dera sudah jadi ibu 2 anak.

"Halo, Ra. Sori gue ganggu jam istirahat lo," Mbak Dera beranjak. Begitu juga dengan Jaka. "Ini Bang Jaka. As we know, sutradara terkenal se-Indonesia,"

Ia menyodorkan tangan yang langsung kujabat. Aku duduk disamping Papa dengan jutaan pertanyaan di kepala.

"Gue yakin lo pasti kaget dengan kedatangan kita. Tapi Bang Jaka yang ngotot minta diajakin kesini. Jadi, Bang Jaka dan crew sudah datang ke publisher. Bang Jaka mau memfilmkan novel lo, Hujan di Bulan Juli. Semua persyaratan sudah ada. Tinggal persetujuan lo,"

Napasku tertahan. Aku bersyukur tidak melonjak-lonjak kegirangan di hadapan mereka.

Sebulan kemudian, aku sudah berada di lokasi shooting untuk tapping pertama. Ini adalah pengalaman pertamaku terlibat langsung dalam proses pembuatan film. Tapping pertama menceritakan tentang Achita, tokoh utama berada di Camp seorang diri. Ia belum bertemu Bang Felin, yang merupaka. penggambaran dari Bang Brian. Achita juga belum bertemu dengan Aji, penggambaran dari Pras.

Tak ada yang tahu bahwa novel Hujan di Bulan Juli ini adalah kisahku di Camp yang kuikuti karena terpaksa. Hanya Naf. Dan mungkin beberapa orang yang benar-benar menyadarinya.

Shooting diadakan di Tanakita Camp. Tempat kemah yang benar-benar indah dan memanjakan peserta kemah. Settingnya tak jauh berbeda dari tempat camp 5 tahun yang lalu. Yang berbeda hanya situasinya. Dulu aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Kini aku dan Bang Jaka yang mengatur semuanya.

Aku sedang membantu Mbak Dera menata beberapa naskah saat Bang Jaka memanggilku. Ia tampak lebih segar beberapa hari ini. Harus kuakui Bang Jaka yang lebih tua 4 tahun dariku sangat menawan. Dengan matanya yang cokelat, suaranya yang lembut, dan aura kepemimpinannya yang terasa jelas, ia mampu menjadi magnet bagi para gadis.

"Ra, gue mau ngenalin lo sana pemeran di film. Kemarin gue belum sempat. Nggak apa kan?"

"Sante aja, Bang," aku menepuk bahunya.

Ia mengajakku ke tenda khusus pemeran dan tiba-tiba aku lemas. Aku ingin tetap di tempat, sayangnya Bang Jaka menarik tanganku mengikutinya. Mau tak mau aku mengikutinya. Menatap kembali pemilik binar mata indah itu. Pemilik kisah ini.

"Ini Farah, pemeran Achita," ujar Bang Jaka seraya mengenalkanku pada gadis jangkung berkulit cokelat.

"Ra, inget gue? Gue Farah. Peserta Camp dari Tangerang," ujarnya antusias.

Aku segera tersadarkan. "Serius lo Farah? Astaga, dunia ini sempit banget, ya! Beruntung banget lo bisa meranin Achita,"

"Girls, kangen-kangenannya nanti dulu, ya," Bang Jaka tergelak dan menarik tanganku menuju dia. "Dan Ra, ini Radityaji Prasetya Awan, pemeran Aji,"

"Halo, Pras. Lama nggak ada kabar," ujarku canggung seraya menjabat tangannya.

"Lo sehat, Ra? Ponsel gue ilang. Kontak lo juga ngilang. Pas gue dapet info casting film ini dari Elaine, gue langsung daftar, buat ketemu lo,"

"Great, lo beruntung memerankan Aji," aku tersenyum dan keluar dari tenda. Mencari keheningan.

*

"Oooooh, jadi pria beruntung itu adalah pemerannya Aji?" tanya Maya yang langsung disambut dengan kasak kusuk penonton. "Dan gue tebak lo pasti jadian sama Pras karena proses pembuatan film itu?"

"Huh, sok tau!" Naf mendengus.

"Bukan, sih. Setelah tahu kalau Pras pemeran Aji, gue nggak pernah lagi datang ke lokasi,"

"Untuk menghindari? Ah, pengecut lagi," audiens yang duduk diatas kursi roda.

Aku terdiam. Karena itu memang jawabannya.

*

Sore itu aku sedang tertidur diatas ranjang dengan selimut berlapis-lapis karena sedang demam. Lagi-lagi serangan flu di akhir bulan. Padahal shooting tinggal seminggu lagi.

Aku masih bersikeras tidak akan datang ke lokasi shooting padahal Papa dan Naf berulang kali menawarkan menemaniku. Tetap saja aku masih tak sanggup menahan kakiku yang selalu gemetar tiap menatap matanya. Atau desir halus yang selalu meresap ke setiap sendi-sendi tubuhku, menyeruak langsung ke dalam hati dan memberi genderang keras tiap detiknya. Hanya karena sepasang mata miliknya.

Aku terjaga saat mendengar ketukan di pintu. Bunda masuk dan diikuti oleh orang yang sama sekali tak kuharapkan datang. Beruntung bukan Pras yang datang. Bang Jaka masuk dan duduk di kursi yang diletakkan bunda disamping ranjang.

"Bunda keluar dulu, ya," pamit Bunda setelah memeriksaku.

Bang Jaka tersenyum menatapku.

"Sehat, Ra? Lokasi terasa sepi tanpa lo,"

"Udah agak enakan. Biasa, gue bukan pecinta hujan," aku terbatuk. "Iya, makanya gue nggak datang. Takut ngeramein lokasi,"

Bang Jaka terbahak. "Ngomong-ngomong, gue mau bilang sesuatu sama lo,"

"Gue nggak akan tertidur, Bang. Ngomong aja,"

"Gue cinta sama lo, Ra," aku membelalak menatapnya kaget. "Tapi setelah Naf cerita soal buku lo, gue tahu gue bukan siapa-siapa,"

"Naf cerita apa?"

"Buku lo. Hujan di Bulan Juli. Adalah novel yang lo tulis tentang Pras. Bahkan Farah juga terlibat di karangan lo. Dan setelah gue buat filmnya, ajaibnya Pras terpilih buat menempati posisi Aji. Penggambaran dirinya sendiri. Dia sendiri, dengan bodohnya nggak pernah tahu perasaan lo yang sebenarnya buat dia. Sampai saat dia memerankan tokohnya sendiri,"

Aku memejamkan mata dan mendengus kesal. Astaga. Naf membocorkan rahasia terbesarku.

"Bukan salah Naf. Gue yang memaksa. Awalnya gue menyadari banyak kesamaan antara tokoh Aji dengan Pras,"

"Gue minta maaf banget, Bang. Nggak seharusnya..."

"Lo nggak perlu minta maaf. Gue mau berterimakasih. Karena tanpa karya film ini, gue nggak akan kenal cewek sehebat lo. Sebelumnya gue mau menyatakan perasaan gue. Tapi melihat lo dan Pras, gue lebih baik mundur,"

"Gue udah nggak berharap lebih sama Pras," aku menghela napas panjang. "As you know, Pras ikut casting karena info dari Elaine, supermodel top yang sekarang jadi aktris itu. Dia pacarnya, Bang,"

Bang Jaka menatapku bingung, sedetik kemudian ia terbahak. "Elaine? Elaine Ross? Pacar Pras? Bukan, Dear. Mereka putus sudah lama putus. Sekarang Elaine tunangan sama pengusaha asal Aussie,"

Great. Anehnya tak ada reaksi gembira apapun dariku.

"Dan kalau kamu menunggu Pras sadar dengan perasaanmu? Jangan harap. Dia terlalu fokus dengan karier dan pekerjaannya. Sulit sekali membuatnya memperhatikan keadaan sekitar,"

"Walaupun gitu gue nggak akan pernah menyatakan perasaan gue "

"Siapa bilang gue meminta lo menyatakan perasaan?" ia mengusap dahiku dan membelai rambutku dengan lembut. "Buat dia tahu karya kita ini tentangnya. Dan tahun depan gue harus dengar kabar tentang kalian berdua,"

Dia tersenyum. Tulus

Angin Pujaan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang