As a Friend

138 5 0
                                    

Entah mengapa aku menurut saja pada Naf. Ia memintaku duduk di sofa empuk diatas panggung, tepat di hadapan audiens yang melimpah ruah. Presenter yang atraktif membuka acara dengan suaranya yang menggelegar. Kemudian ia menyodorkan microphone padaku. Aku masih bengong hingga ia menyebut namaku dan

angan audiens menyadarkanku dari lamunan dan aku segera naik keatas panggung.

Presenter yang akhirnya kuketahui bernama Maya ini membuka obrolan dengan membicarakan buku-buku karanganku yang sudah diterbitkan, ia membahas tentang nama kata 'sun, moon, and tree' yang selalu kucantumkan di bagian thanks to, hingga menanyakan tentang Radit. Aku hanya diam.

"Ayolah, temen-temen disini pada kepingin tahu siapa Radit, apa arti kata sun,moon, and tree. Atau mungkin, Sora mau cerita tentang cerita cinta Sora?"

Audiens bersorak kegirangan. Aku mengernyitkan alis menatap Maya. Kemudian pandangan mataku tertuju pada Naf yang berdiri disamping panggung. Ia berkata, "ayolah, Ra. Cuma sekali seumur hidup lo kaan" yang langsung kujawab dengan gelengan kepala. Kemudian ia menunjukku lalu menggoreskan telunjuknya di leher. Artinya aku bisa membunuhnya kalau menggagalkan acaranya.

Naf kampret!

"Oke, aku bakal cerita," sahutku yang langsung membuat audiens terdiam. "Jadi, ini tentang orang-orang yang berhasil menggoreskan pena di hari-hari yang sudah lewat, yang sekarang terhapus dan sukses meninggalkan bekas"

It means mantan

*

Aku dan Naf masih berumur 14 tahun. Kami masih duduk di bangku SMP. Ia masih tampak lucu dengan rambut panjangnya yang selalu dikuncir ekor kuda dengan karet bermanik-manik. Sementara aku sendiri masih sangat tomboy. Rambut pendek, klub futsal, dan gabung tim basket.

Siang itu, sekolah mengadakan classmeet dengan jadwal pertandingan basket cewek kelas VIII-D, kelasku, melawan kelas IX-E. Pertandingan berlangsung biasa saja hingga Hanum lawanku datang dan secara tiba-tiba menyerangku. Anehnya, malah Ia yang jatuh berguling-guling dan berteriak kesakitan. Aku mengangkat tangan.

"I'm not doing anything!" seruku keras

Terlambat, wasit yang juga coach basket menghentikan permainan melihat cedera Hanum yang parah.

Aku melayangkan tinju ke udara dengan kesal. Kami digiring ke ruang ganti dan diadili. Terutama aku. Semua lawan menyalahkanku. Bahkan reguku sendiri yang tak melihat apapun. Kecuali coach dan, dia.

"Saya kenal dia, coach," ujar Dandi berapi-api. "Yah, walaupun saya seniornya, tapi saya tahu dia nggak akan mencederai orang lain. Saya tadi juga lihat bagaimana Hanum tiba-tiba menyerang Sora dan langsung jatuh. Agak aneh, coach"

Suara lawan langsung bersahut-sahutan mengomentari pembelaan Dandi. Aku diam saja. Seperti yang diajarkan Papa, jangan menyiramkan bensin ke dalam api yang berkobar. Aku dikejutkan oleh tangan yang tiba-tiba mengusap pundakku. Aku mendongak dan menemukannya, senyum menenangkan yang seolah menyiramkan air dingin ke tubuhku. Tentram.

*

Masalah selesai keesokan harinya. Secara ajaib Hanum sembuh. Bahkan Ia mengaku memang ia sengaja menyerangku dan berpura-pura jatuh yang ternyata menjadi senjata makan tuan baginya, karena ia memang benar-benar cedera. Ia merasa gengsi, ia tak ingin kelasnya dikalahkan oleh junior sepertiku. Karena ia tahu aku ahli basket, ia membuat seolah-olah aku bersalah agar aku dikeluarkan dari permainan.

"Kok lo nggak dendam sama dia sih Ra?" tanya Naf sepulang sekolah.

"Ngapain juga? Buang-buang energi. Toh udah nggak ada masalah lain kan,"

"Sebenernya ada, sih"

"Apaan?"

"Kayanya dia bakal tetep musuhin elo, deh," ujar Naf. "Inget Dandi? Senior yang mantan ketua OSIS itu. Hanum kan ngebet banget sama Dandi. Tapi abis kejadian kemarin, ada gosip yang nyebar kalo Damdi ngebetnya sama lo,"

Aku terbahak.

"Gue serius, Ra. Dandi mana pernah belain cewek sampe ke ruang bk cuma buat jelasin apa yang terjadi kemarin. Dandi juga nggak mungkin mau berdiri diatas meja kantin dan jelasin ke seluruh siswa kalau kemarin bukan junior yang nyerang senior,"

"Anak sekolah kita mah emang lebay. Junior nyerang senior aja sampe seheboh itu," kemudian aku tersadar akan sesuatu. "Eh, lo serius dia naik keatas meja kantin?"

Naf mengangguk.

"Puas lo dengernya?"

Kami terlonjak kaget dan menoleh keasal suara. Di belakang kami, Hanum, dengan kroni-kroninya, berdiri menatap kami dengan pandangan mengejek. Bahkan kroni-kroninya menatap kami dengan jijik.

"Iya, Dandi emang suka sama lo sejak dulu dan baru keliatan sekarang. And you will pay for that," gertaknya.

Aku dan Naf baru saja akan membalas saat kroni-kroninya mendekati kami dan merampas tas kami. Dibukanya resleting tas kami dan mereka membuang seisinya. Bahkan kotak bekalku. Aku tak dapat melawan karena tubuh mereka yang lebih tinggi dan juga beberapa senior yang berdiri di sekeliling kami.

"Berhenti, Hanum!"

Seperti yang sudah diduga beberapa senior, suara itu milik Dandi. Ia menyeruak kerumunan dan langsung berdiri di hadapan Hanum yang seketika mengekeret ketakutan. Sedetik kemudian ia dan kroni-kroninya langsung berlalu.

"Apa yang dilihat? Kenapa nggak bantu beresin?" tanya Dandi pada kerumunan siswa yang berdiri di sekeliling kami.

Mungkin dengan aura dan pengaruh yang dimiliki Dandi, mereka langsung turun tangan membantuku dan Naf membereskan barang-barang yang berserakan.

"Ra, aku mau ngobrol. Tapi nggak disini. Besok sepulang sekolah di pujasera sebelah sekolah. Bisa?"

"Ngomong apa kak?"

Wajahnya memerah lucu. "Besok sekalian. Bisa Ra?"

Aku mengangguk. Kemudian ia pulang. Semalaman itu aku terus bertanya-tanya tentang apa yang akan dibicarakannya.

*

"Aku suka sama kamu, Ra"

Aku mengernyit heran. Ia begitu to the point mengatakannya setelah kami duduk di pujasera dan memesan kudapan. Tanpa basa basi, ia langsung menyatakan begitu saja.

"Tapi aku nggak, Kak," jawabku spontan. "Maaf, kak,"

Ia menatapku penuh pertanyaan. Mungkin karena aku cewek pertama yang menolaknya, yang tidak tertarik dengan pesonanya, yang membiarkannya pergi begitu saja. Ia tak terbiasa ditolak.

"Tapi aku mau tunggu kamu," ia tersenyum, lalu menyuap kudapan dan menikmatinya.

Aku menyodorkan tangan sambil tersenyum. Ia menatapku heran. "As a friend,"

Ia menjabat tanganku sambil tersenyum.

Angin Pujaan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang