Delapan Tahun di Ujung Balkon

66 6 0
                                    

"Film Hujan di Bulan Juli sukses besar. Setelah itu Faradiba dan Radityaji jadi aktor dan aktris muda yang banyak dicari untuk film-film romantis. Cemburu?"

Maya memancingku dengan pertanyaan yang langsung disambut antusias oleh audiens.

"Nggak. Sama sekali nggak. Mungkin teman-teman disini sudah lupa tentang perasaanku yang menguap saat tahu Pras jadian sama Elaine,"

"Nggak lupa, sih," sahut salah satu audiens. "Tapi kami yakin masih ada sedikit sisa perasaan di hati,"

Iya, sedikit. Tapi makin lama terisi penuh dan meruah.

*

Acara launching film disambut antusias oleh masyarakat. Tak hanya itu. Rekan-rekan Bang Jaka ang juga sineas muda turut datang dan mengapresiasi film dan buku. Dengan bangga Bang Jaka menyebut film ini dengan 'karya kita'. Dan ia berulang kali memberi kode padaku agar segera menyatakan karya kami ini adalah tentang Pras.

Pras sendiri tampak gagah malam itu. Ia memakai jas hitam dengan aksen biru tua di bagian kerah tanpa kancing. Rambut hitam tebalnya dibiarkan berantakan. Ia tampak sangat great malam itu. Namun satu-satunya hal yang membuatku tak mampu menolak keistimewaannya adalah matanya. Aku sendiri tak tahu bagaimana mata hitamnya dapat berubah warna menjadi cokelat keemasan tiap berbinar, dan berganti menjadi hitam gelap lagi. Indah. Sungguh indah.

Dan Elaine datang malam itu. Tidak untuk menemani Pras. tapi untuk menemani Varo, tunangannya, yang juga sahabat Bang Jaka. Ia tampak benar-benar menawan malam itu. Dengan dress merah yang seksi, yang dilakukannya saat pertama kali menatapku adalah langsung memelukku dengan riang.

"Soraa, yaampun Sora! Gue nggak percaya bisa ketemu lagi sama lo. Astagaa, lo keren banget! Nggak salah gue punya idola kaya lo. Cantik, rendah hati, cerdas, istimewa deh pokoknya," ujarnya seraya memelukku. Seperti sahabat yang lama tak bertemu.

"Ah, lo berlebihan banget, El!" aku terbahak. "Eh, selamat ya buat pertunanganmu sama Varo. Dia good man yang dikirim Tuhan buat good woman kaya lo,"

"Makasiih," ia memelukku lagi. "Ngomong-ngomong, gue baru sadar kalau Aji itu ternyata Radit. Atau yang lo panggil dengan Pras. Ah, whatever his name! Yang gue tahu, lo pinter banget menggambarkan Radit sebagai Aji. Tapi aslinya dia nggak seganteng dan sekeren Aji. Yaudah lah, intinya buku lo keren banget!"

Aku terdiam sejenak. Elaine sudah menyadari siapa Aji sebenarnya. Tinggal menunggu waktu hingga Pras menyadari bahwa tokoh Aji adalah dirinya.

"Gue duluan, ya. Varo buru-buru ngenalin gue ke temen-temennya. Bye, Sora,"

Aku melambai, lalu buru-buru mencari Naf. Saat tepat tubuhku menabrak tubuh tinggi yang berbalut jas hitam. Ia menunduk menatapku dan napasku tercekat menatap matanya yang kini berbinar cokelat keemasan.

"Mau kemana Ra? Menghindar lagi dari gue?"

"Huh, kegeeran banget lo!" aku tergelak. Berusaha bersikap wajar. "Gue nyari Naf. Lo lihat nggak?"

"Lihat sih. Tapi ntar aja gue kasih tahu dimana dia. Gue harus bicara sama lo,"

Well, maybe this is the time. Aku berjengit kaget saat tiba-tiba ia menggenggam tanganku dan mengajakku keluar dari venue acara menuju balkon.

"Gue mau bilang makasih, Ra," ujarnya dengan wajah riang. "Karena lo sudah mengarang novel yang keren banget, dengan cerita yang mirip sama cerita kita,"

Aku menunduk.

"Dari setting camp yang asyik banget, kebetulan yang nggak disengaja saat kita punya tugas yang dama, bahkan tokoh Aji yang mirip sama gue. Belakangan gue tahu Aji diambil dari nama gue,"

Aku menunduk makin dalam.

"Lo mempermainkan gue!"

"Lo pantas marah! Lo boleh menyalahkan gue. Tapi lo nggak bisa menyalahkan perasaan gue yang gue pendam hampir 8 tahun buat lo. Dan satu-satunya cara gue buat mengatakannya adalah lewat karya ini,"

"Siapa marah?" tanyanya balik. "Gue nyesel kenapa nggak bilang kalau gue punya perasaan yang sama kaya lo,"

Angin Pujaan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang