UGM

68 6 0
                                    

"Oh iya, kudengar sekarang Sora punya pacar ya?" tanya Maya yang langsung diiyakan oleh audiens, padahal aku belum mengangguk. Heran.

"Mau bercerita tentang dia?"

"Sebenarnya, dia ada dalam cerita ini,"

*

"Halo, Ra. Apa kabar?"

Aku mengernyit heran saat sore itu ponselku berdering dengan nama Pras tertera di layar. Sudah lama ia tak menghubungiku. Begitu juga denganku. Belakangan aku tahu dia baru saja putus dari pacarnya yang seorang bintang iklan. Cantik, tinggi, modis. Cewek idaman semua lelaki. Aku tak tahu alasan mereka putus. Yah, kondisinya sama denganku. Baru saja putus cinta.

"Baik. Lo sendiri? Tumben banget lo telpon,"

"Gue baik juga. Gimana sekolah lo? Baru naik kelas 3 ya?"

Right. Ini hari terakhir libur sekolah dan besok hari pertama masuk sekolah sebagai senior kelas XII. Dan ia? Ah, pasti sudah mulai masa ospek kuliah. Apa mungkin tujuannya menelepon kali ini sama seperti saat itu?

"Yep. Gue udah kelas 12 nih. Lo kuliah dimana sekarang?"

"UGM. And guess what? Gue diterima lewat jalur undangan," terdengar nada bangga dari ucapannya. "Waktu itu lo bilang bakal nyusul gue di SMA 43, gue tunggu lo disana, dan lo nggak nongol juga. Sekarang lo harus nyusul gue disini. Lo janji?"

Aku terbahak.

"Gue serius, Ra. Gue nunggu lo sampe bulukan tau, nggak? Eh yang ditunggu malah bersinar di SMA Lazuardi,"

"Selamat ya Pras. Doain aja gue bisa nyusul lo kesana," ujarku berusaha tenang. "Kalo gue nggak bisa nyusul lo kesana, emang kenapa?"

"Ya kalau bisa kan lebih baik, Ra," ia terdiam sesaat. "Kalau lulus nanti, gue bakal jadi ilmuwan. Lo mau masuk fakultas apa?"

"Sastra mungkin keren," sahutku. "Menurut lo gimana?"

"Jangan. Lo kurang cocok disana," sanggahnya. "Kedokteran, Ra. Apalagi jadi dokter anak. Pas banget tuh," ujarnya ngotot.

"Iyadeh Mr. Scientist," kudengar ia tertawa. "Makasih sarannya. Lo baik-baik ya di Jogja sana. Jangan lupa sama gue,"

"Pastilah! Gue tunggu lo disini Bu Dokter," pamitnya sebelum menutup sambungan telepon.

Aku duduk. Diam. Dan menangis. Entah mengapa aku menangis. Ada luapan kebencian yang membuncah saat mendengar nada suaranya yang pongah dan penuh kebanggaan. Namun di sisi lain, ada kepedihan yang berteriak, berusaha membangunkanku agar aku segera menyiapkan peralatan perang, tentu saja untuk membalasnya.

*

"Terus, lo berhasil nyusul dia? Atau malah berhasil ngalahin dia? I mean, misal masuk UI, atau ITB dan ITS? Masuk universitas yang lebih dari sekedar UGM mungkin,"

Pertanyaan yang sama seperti cerita sebelumnya dari audiens yang duduk di kursi roda. Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Finally gue masuk sastra cina di UI. Sebenernya gue nyesel juga kenapa nggak ambil jurusan lain di UGM. Tapi lagi-lagi gue diselamatkan pilihan gue karena satu kejadian buruk,"

*

Naf menatapku dengan bingung. Alis tebalnya hampir menyatu, membuatnya tampak aneh.

"Sampai kapan lo mau nyembunyiin perasaan lo dari Pras? Sampai dia lulus dan bisa cari cewek manapun buat dinikahin? Hah?"

Aku menaklumi kemarahannya. Aku menyadari alasan ia marah padaku. Hari ini Pras mengabariku bahwa Ia sedang liburan di Jakarta sebelum tidak akan kembali dari Jogja karena kesibukan kuliahnya. Pras mengajakku untuk bertemu dengan teman-teman camp lainnya. Yang menurut Naf, hal itu dapat kumanfaatkan untuk bertemu dengannya. Sayangnya aku menolak ajakan Pras. Aku takut bertingkah aneh di depannya karena sudah lama tidak bertemu. Alasan konyol memang.

"Lo sadar nggak? Hampir 6 tahun lo nungguin dia. Pras bener-bener mengubah lo. Mengubah total! Dari lo yang tomboy, jadi lo yang feminin. Dari lo yang takut bicara di depan orang, jadi lo yang ceplas ceplos karena lo nggak mau kalah sama dia. Dari Sora yang penakut, jadi Sora yang ramah karena Pras gampah bergaul dengan orang lain. Bahkan dia jadi obsesi lo selama 6 tahun ini. Sadar, Ra! Lo cantik, populer, cerdas. Lo bisa bikin Pras jatuh hati seperti apa yang lo rasakan ke dia. Tapi kenapa lo jadi penakut gini?"

"Karena gue belum siap, Naf! Itu aja," ujarku memotong perdebatan kali ini.

Kemudian ponselku berdering. Nama Pras tertera di layar. Aku diam sejenak, sampai pandangan Naf yang memintaku menerima ponsel membuatku bergerak.

"Halo, Ra? Lo dimana? Gue udah perjalanan ketemu sama anak-anak, nih. Lo mau gue jemput?"

"Pras, sori, gue nggak enak badan, nih," ujarku yang membuat Naf mendengus kesal. "Lo have fun ya sama anak-anak yang lain. Gue nitip salam buat semua,"

"Yaah, sakitnya nggak tahu waktu banget, sih. Lo sakit apa? Ntar gue mampir deh. Mau dibawakan apa?"

"Gue," sakit apa ya? "Gue demam. Jangan kesini, nanti lo ketularan kan jadi gue yang berabe,"

"Aneh, perasaan kemarin gue telpon lo masih nggak apa-apa,"

"Yah, namanya juga sakit," aku tertawa kecil. "Oke, have fun there,"

Aku baru saja mematikan sambungan telepon saat Naf tiba-tiba memelukku.

"Oke, gue tahu alasan lo. Lo mulai tahu arti cinta. Yang memberi tanpa mengharapkan balasan. Yang memberi banyak tanpa tujuan apa-apa. Dan Pras mengajarkannya,"

Aku mengangguk...

Angin Pujaan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang