Angin dan Pohon Tinggi

89 7 1
                                    

"Pras? Wew, nama yang keren,"

Maya memuji dengan wajah terkagum-kagum. Aku memperhatikan wajah satu persatu audiensku yang menatap kami penuh tanda tanya. Menanti ceritaku selanjutnya.

"Kalau kalian menganggap cerita selanjutnya adalah  ceritaku dengan Pras. Kalian salah. Karena aku hanya menemukan Pras,"

"Apa Pras itu matahari?"

"Teliti juga," Aku tertawa kecil. "Ikuti saja ceritaku,"

*

2 hari kemudian Pak Gurit menjemputku lagi dengan tatapan heran. Tentu saja. Wajahku menghitam dan bawaanku bertambah oleh kenang-kenangan dari Farah, Gina, Tania, dan teman-teman lainnya. Sejam kemudian aku sampai di rumah dengan sempoyongan saking capeknya berjengit kaget saat ponselku berdering. Nomor tak dikenal.

"Halo, sapa nih?" tanyaku.

"Sora ya?"

Aku mengernyit. Aku kenal suara ini. "Siapa?"

"Gue brian,"

"Brian kelompok 3 dari Tangerang?"

Terdengar ia mendengus sebal

"Gue panitia, Ra. Quercus Brian,"

"Oooh Bang Brian," aku makin heran. Untuk apa panitia paling menyebalkan ini menelponku. dan darimana dia tahu nomer ponselku?

"Ini hadiah Ketua Terbaik lo belum lo ambil tadi. Besok gue anter ke sekolah lo, ya?"

"Oiya gue lupa. Iya gapapa deh. Makasih, Bang,"

Setelah beberapa obrolan yang nggak penting, aku menghela napas lega saat ia akhirnya menutup sambungan telepon. Teringat sesuatu, aku mengambil notes yang berisi nomer telepon teman-teman camp. Aku berhenti di nomer ponsel Pras.

Menjadi pimpinan dari 310 siswa ternyata melelahkan sekali. Walaupun aku dibantu dengan belasan panitia yang khusus ditempatkan di kelompokku, tetap saja hal itu sangat melelahkan sekaligus menantang. Aku dan Pras harus bolak-balik lapangan dan tenda hanya untuk mengantarkan kelompok-kelompok tenda. Atau harus berdiri sejam di tengah guyuran hujan karena salah menghitung. Pras sosok yang dingin dan cuek. Tak jauh berbeda denganku. Namun ia seringkali menjengkelkan saat aku mengajaknya berdiskusi dan ia menyerahkan semuanya padaku. "Gue percaya lo," selalu itu yang dikatakannya.

Namun ada satu hal yang paling kuingat. Malam itu kami baru saja mengantarkan kelompok terakhir ke tenda. Kemudian semua ketua kelompok dan wakil laporan pada ketua panitia mengenai jumlah dan kembali ke tenda masing-masing. Aku sudah berada setengah jalan menuju tendaku saat tiba-tiba Pras memanggilku. Aku bergegas menghampirinya dan ia mengusap kepalaku.

"Lo ngapain? Mau ngomong apa? Cepetan, gue udah ngantuk,"

"Sudah,"

"Haah?"

"Iya. Gue udah. Sekarang lo balik, deh. Tidur yang nyenyak, jaga kondisi,"

Rasa kesalku masih tersisa hingga kini. Benar-benar tak penting.

*

Bang Brian menepati janjinya keesokan harinya. Ia benar-benar datang dan mengantar piala emas berukuran cukup besar itu. Setelah menemui kepala sekolah, ia menghampiriku yang menunggunya di gerbang sekolah.

"Makasih, Bang. Gue aja nggak tahu gimana caranya gue bisa menang."

"Lo pantas dapat itu, kok," ia tersenyum lalu pergi dengan motornya.

*

"Udah, gitu aja?"

"Terus, Pras gimana?"

"apa Bang Brian itu moon yang ada di tiap novelmu?"

"Tunggu, siapa mataharinya?"

Pertanyaan tersengar bersahut-sahutan. Maya berusaha mengendalikan suasana.

"Brian nembak gue beberapa minggu setelah kami ketemu," ujarku yang sontak mendiamkan audiens.

*

"Yaudah, apa susahnya nerima cowok kaya Brian sih? Ganteng, udah kuliah, announcer radio, gentle pula! Lo nungguin Pras?"

Aku diam. Mengiyakan.

"Lo suka sama Pras? Gue kira lo cuma kagum sama dia. Lagipula, dari cerita lo, menurut gue Bang Dandi lebih hebat dari Pras. Walaupun mereka seumuran sih,"

"Bukan masalah hebatnya, Naf! Gue sendiri nggak tahu kenapa gue pengen nungguin Pras,"

"Tapi Pras hebat juga. Dia satu-satunya cowok yang bisa bikin Sora si Tomboy bertekuk lutut," ia terbahak. "Tapi kalau menurut gue, lo terima aja Bang Brian. Cinta bisa datang seiring waktu berjalan,"

Ah, old quote.

*

"Trus, akhirnya, lo jadian juga sama dia?"

Tanya Maya penasaran saat aku menghela napas.

"Iya. Gue terima Bang Brian. Tapi kalo gue nggak salah, 4 bulan kemudian gue minta putus,"

Terdengar hela napas kaget dari seisi cafe.

"Gue nggak nyaman. Dia yang 5 tahun diatas gue memang bisa bikin gue merasa aman dan bener-bener mengerti gue. Tapi di sisi lain, keberadaan fans Bang Brian dan teman-temannya yang suka sama dia bikin gue minder. Abis gue putus, gue nulis buku Angin dan terbit. Walaupun cuma bentar, tapi Bang Brian mengajarkan sama gue kalau makin tinggi pohon menjulang, makin banyak angin menerpa. Makin tinggi kedudukan kita, bakalan banyak angin yang menerpa. Dan Brian sudah membuktikannya. Makin lama hubungan gue sama Brian bertahan, makin banyak orang yang ingin menjatuhkannya. Sayangnya, gue yang masih 15 tahun nggak kuat dan nggak mengerti arti quote yang diajarkan Bang Brian. Belakangan gue baru tahu artinya,"

Dalam hati aku berujar, makasih Bang Brian

Angin Pujaan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang