--🌸🌸🌸🌸--
Mean memukulkan kipasnya berulang kali ke telapak tangannya sendiri. Matanya tak lepas memperhatikan keponakannya yang tengah merapikan beberapa buku untuk dibawa. Rasa bosan karena sejak tadi tak dihiraukan oleh pemuda tampan itu, sudah tak kuasa ia tahan lagi.
"Perth, untuk apa semua buku itu kau bawa?" Mean akhirnya buka suara.
"Untuk dibaca." jawab Perth singkat tanpa memalingkan pandangannya dari buku itu.
"Aku juga tahu.. Yang aku maksud, kenapa harus sebanyak itu yang kau bawa?! Memang di sana kau hanya akan sibuk membaca buku-bukumu itu?"
"Hmm.."
Mean menghela nafas. "Haih, Perth, tak bisakah kau lepas dari kebiasaanmu itu? Sejak dulu kau hanya berteman dengan buku-buku itu. Kau tidak bosan?"
"Justru akan bosan jika tak membaca buku."
Mean menggaruk keningnya yang tidak gatal dengan ujung kipasnya. Sulit sekali rupanya membujuk Perth untuk mengurangi kebiasaannya membaca. Bukan Mean tak suka keponakannya menjadi pria yang rajin dan juga berwawasan luas, tapi pria muda ini jadi sangat menutup dirinya sendiri dari lingkungan luar.
"Hei, Perth, kesempatan kau keluar dari istana, harusnya kau memanfaatkannya. Berkeliling lah mencari suasana baru. Jangan hanya berkutat dengan semua dokumen dan bacaan yang.. Ah.. Apa ini? Melihatnya saja aku tak suka." Mean melempar buku yang sempat ia ambil dari hadapan Perth.
Perth melirik sekejap pamannya yang terlihat alergi dengan buku bacaannya.
"Aku yang membaca, bukan paman." jawabnya datar.
"Kau.." Mean menahan rasa kesalnya. Disibakkannya hanfu yang ia kenakan lalu kembali duduk menyesap teh yang mulai dingin. Kemudian ia memanggil pelayan untuk mengganti tehnya.
Sementara itu, Perth berjalan mengambil sesuatu dari rak susun tak jauh dari tempatnya duduk, meraih sebuah teratai kertas yang tampak sudah usang namun masih terawat.
Diusapnya sejenak benda itu. Sudut bibirnya terangkat.
"Dan kau juga akan membawanya?"
"Hmm."
"Ayolah, Perth, untuk apa kau membawanya juga?! Sudah bertahun-tahun kau mencarinya, tapi mana hasilnya?! Gadis itu bahkan tak pernah ada."
"Dia laki-laki, paman, bukan seorang gadis."
Mean menggerakkan ujung kipasnya dengan seringai mengejek.
"Perth oh Perth, sejak kapan kau berubah jadi bodoh, hah?! Bagaimana kau yakin anak itu seorang laki-laki?! Asal kau tahu, Perth, di dunia ini tidak ada anak laki-laki yang memakai gelang kaki. Benda itu hanya dipakai oleh para kaum wanita."
"Ada, paman." jawab Perth masih dengan nada yang sama, datar.
"Siapa? Katakan padaku!" Mean menepukkan kipasnya ke bahu Perth.
"Dia." jawab Perth singkat sembari masih mengusap kelopak teratai kertas itu.
Mean menghentikan tepukan kipasnya, menatap datar dan mendengus malas.
"Terserah kau saja."
Mean berjalan meninggalkan kamar Perth. Jengah sekali dengan tingkah keponakannya yang tetap tak memandangnya, seakan tak peduli dengan kehadirannya dan selalu lebih memilih mengamati bunga lotus kertas kesayangannya itu.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
the Lotus of Love
RomansaKetika sebuah lotus kertas memikat hati untuk pertama kali... Selalu mengingatkan cinta sejati yang tumbuh sejak dini... "the Lotus of Love"