5. Menjemput Calon

1.6K 291 161
                                    

"Kemarin kenapa tidak jualan? Padahal ibu nunggu dari awal datang, sampai mau pulang masih cari-cari. Tanya juga ke pedagang lain sekitar sini. Katanya kamu memang tidak jualan. Kenapa? Padahal ibu lagi butuh minuman ginseng kamu. Bapak di rumah sakit, badannya meriang."

"Kemarin? Ah..." Seokmin menyengir lebar dengan tidak enak hati. Sedikit merasa bersalah. Menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Mempersilakan 2 orang ibu-ibu itu agar mengambil sendiri ukuran botol minuman ginseng yang mereka inginkan. "Tapi sekarang Bapak sudah baikan, kan? Kemarin ke Seoul, Bu. Ada yang mesan 50 botol. Jadi harus mengantar sendiri ke sana."

"Mengantar pesanan atau menjemput calon?" Ibu lainnya menggoda. Memberikan 2 botol berukuran kecil untuk dibungkus. "Kemarin Ibu lihat kamu pulang bawa perempuan. Cantik. Pasti dia calon kamu. Iya, kan?"

Kemarin? Pulang bawa perempuan? Seokmin melebarkan kedua mata beberapa saat. Maksud ibu ini pasti adalah Jisoo. Tidak mungkin salah lagi. Beliau pasti sempat melihat Seokmin dan Jisoo pulang kemarin sore. Ditambah lagi, beliau memang berstatus sebagai tetangga Seokmin. Hanya dibatasi oleh 2 buah rumah. Akan tetapi, apa yang diucapkannya tadi? Calon? Tidak... Ini adalah sebuah kesalahpahaman.

Tapi sayangnya, belum sempat Seokmin mengajukan bantahan, Ibu lainnya kembali menyahuti dengan antusias. "Wah, jadi Nak Seokmin sudah punya calon? Bagus itu. Jadi ada yang mengurus kamu di rumah. Kapan kalian akan menikah?"

Mengurusku di rumah? Yang ada malah aku yang mengurusnya di rumah, Seokmin mengomel dalam hati.

Tetangga Seokmin bicara lagi. "Aku sempat mengira kalau kamu akan menikah dengan Jihoon. Kalian berdua sangat akrab. Aku lihat Jihoon juga sering bantu-bantu di rumahmu."

Sudah cukup... Seokmin meringis pelan. Pembahasan kedua ibu ini rasanya sudah terlalu jauh dan berlebihan. Seokmin harus mencari topik lain, agar topik yang menyebalkan ini segera dialihkan. "Kami hanya..."

"Nah, ini orangnya," pekik salah satunya. Memotong ucapan Seokmin. Segera memberi uang atas minuman ginseng yang telah dibungkuskan. Ibu lainnya pun melakukan hal yang sama. "Terima kasih, ya. Seokmin, Jihoon, ibu pergi dulu."

Jihoon menatap Seokmin dengan penuh keheranan. Sambutan ibu-ibu itu terdengar ambigu di telinganya. Coba tanya Seokmin melalui sorot mata, tidak mendapat jawaban. Seokmin malah hanya mengangkat bahunya sekali. Menyusun botol-botol minuman ginsengnya lagi. Enggan bercerita banyak. Tingkah seperti ini tentu saja membuat Jihoon semakin penasaran.

"Oh... Jadi sekarang main rahasia-rahasiaan denganku?" Jihoon nampak kesal.

Alis kiri Seokmin terangkat naik. Ada apa dengan gadis yang juga bermarga Lee ini? Tidak biasanya Jihoon merajuk hanya karena masalah sepele. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau Seokmin harus menjelaskan, daripada terus mendapat intimidasi. Biarpun berbadan mungil, Jihoon akan beberapa kali lipat lebih menyeramkan jika berada dalam mode merajuk. Mode yang paling Seokmin hindari, sejak pertama kali mereka bersahabat.

"Ibu-ibu itu pikir kita ada hubungan lebih, karena kamu sering bantu-bantu di rumahku." Seokmin menjelaskan dengan singkat, padat, cukup jelas.

Cukup jelas, karena Jihoon merasa masih ada yang menjanggal.

"Terus?" Jihoon merasa tidak ada yang aneh dari fakta tersebut. Sangat wajar jika para tetangga Seokmin merasa curiga dengan hubungan mereka. Jihoon memang tergolong sering bertandang ke rumah Seokmin. Entah itu disengaja, atau tidak disengaja seperti tadi pagi. Kebetulan saja, karena ia juga hendak pergi ke pasar. "Pasti ada lagi, kan?"

Seokmin tergelak menahan tawa. Entah bagian mana yang menurutnya lucu. Jihoon sudah terlalu mengenal dirinya. Sampai hafal betul kalau ada beberapa poin yang dengan sengaja Seokmin sembunyikan. Keberadaan Jisoo di rumahnya.

The Princess Without A Palace (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang