14. Calon

1.6K 302 197
                                    

Dengan kaki yang menjuntai ke tanah, Jisoo melepas ikat rambut. Terdiam sejenak demi menikmati terpaan angin yang meniup setiap helai rambutnya. Setelah dirasa cukup lama, Jisoo mengikat rambut panjangnya lagi. Akan tetapi, jika biasanya Jisoo sudah merasa cukup dengan mengikatnya seperti ekor kuda, kini Jisoo lebih memilih untuk menggulungnya tinggi-tinggi. Demi merasakan hembusan angin di leher. Rasanya sejuk. Bahkan terlampau sejuk.

Halaman belakang rumah memang menjadi salah satu spot terbaik di rumah Seokmin. Tidak pernah lupa Jisoo datangi, saat ia merasa mulai kesepian selama ditinggal oleh Seokmin untuk berdagang minuman ginseng di pasar tradisional. Meskipun hari ini Seokmin tidak pergi berdagang, Jisoo lebih memilih untuk mendatanginya lagi daripada harus bertengkar.

Sayangnya niat itu telah digagalkan. Niat Jisoo mendatangi halaman belakang rumah untuk menghindar, malah pria berhidung bangir itu sendiri yang mendatanginya. Berdehem kecil. Membuat Jisoo terperanjat kaget. Ikut duduk di sana. Tepat di samping Jisoo. Jaraknya pun cukup dekat, hingga Jisoo dapat mencium aroma keringat khas seorang Lee Seokmin yang sudah cukup ia hafal. Bukan berarti bau. Aroma itu tercium sangat khas, terutama saat Seokmin berkeringat banyak. Usai bertani ginseng dan sepulang berjualan di pasar.

Karena masih marah, Jisoo ingin segera pergi dari sana. Namun berhasil Seokmin tahan.

"Kita bicara dulu sebentar..." bujuk Seokmin. Mengirim senyuman tulus begitu Jisoo nampak pasrah saja. Terduduk lagi. "Untuk mewakili Jihoon, aku minta maaf. Sangat wajar jika kamu marah dan tersinggung dengan ucapannya. Aku juga merasa kalau ucapannya sudah sangat berlebihan. Maafkan Jihoon, ya?"

Harusnya, karena Seokmin sudah meminta maaf atas nama Lee Jihoon, Jisoo sudah merasa senang dan lega. Lalu memaafkannya dengan mudah. Benar, kan? Tapi pada kenyataannya, rasa kecewa Jisoo malah meningkat tajam. "Kenapa harus kamu yang meminta maaf?"

Untuk pertanyaan kali ini, Seokmin tidak sanggup menjawab. Ia malah diam. Memalingkan wajah. Menatap lurus ke depan. Enggan menatap mata Jisoo. Tentu perilaku seperti ini membuat Jisoo semakin curiga.

Jisoo bertanya dengan penuh selidik. "Sebenarnya hubungan kalian lebih dari teman, kan? Kalian pacaran? Waktu orangtuaku tanya sama kamu apakah sudah punya pasangan atau belum, kamu menjawab belum punya hanya karena merasa kasihan denganku, kan? Supaya aku tidak jadi dijodohkan melalui acara sayembara konyol itu. Kalau aku ganggu hubungan kalian, bilang saja. Itu bukan masalah. Aku bisa pergi sekarang juga. Kalau orangtuaku mengadakan sayembara lagi, apa boleh buat. Aku bisa menunjuk penonton secara acak dan kabur untuk yang kedua kalinya."

Kalimat Jisoo terlalu panjang. Beruntung, meski kepala Seokmin masih terasa sangat pusing, ia berhasil mencerna setiap kalimat itu dengan baik. Sebab itulah Seokmin menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pernyataan panjang Jisoo. Senyum lagi. Mengusak puncak kepala Jisoo hingga gulungan rambut gadis Hong itu menjadi berantakan. "Aku tidak pernah bohong sama kamu. Dari awal kita kenalan, sampai detik ini, aku tidak pernah bohong. Kami berdua, aku dan Jihoon, cuma sebatas teman."

Jelas. Meski dikatakan ratusan kali pun, nampaknya Jisoo enggan mempercayai. Seokmin pun sebenarnya tidak mengharapkan itu. Cukup jangan merajuk lagi. Untuk percaya atau tidak, itu hak Jisoo sepenuhnya. Dan demi mencairkan suasana, Seokmin coba menggoda dengan menyentuh pipi tembam Jisoo. Mengandalkan ujung jari telunjuknya. Membuat Seokmin terkekeh geli. Pipi Jisoo benar-benar terasa kenyal. Tidak kuat menahan rasa gemas, langsung saja Seokmin langsung menariknya kencang-kencang.

Jisoo masih kesal. Dengan tegas ia menepis tangan Seokmin. Memalingkan wajah.

"Baiklah... Aku minta maaf lagi. Tapi bukan untuk mewakili Jihoon. Kali ini untuk kita berdua," Seokmin akhirnya berhasil menarik perhatian Jisoo sepenuhnya. Gadis bergigi kelinci itu menoleh dengan wajah penasaran. Lagi-lagi membuat Seokmin gemas. Tidak tahan hendak menyentil hidung mancung gadis itu. "Aku senang kamu tinggal di sini. Maaf kalau aku sering memarahimu. Ya... Mau bagaimana lagi? Selama belasan tahun aku terbiasa hidup sendiri. Lalu tiba-tiba saja ada orang lain di rumah ini. Ditambah lagi seorang perempuan. Rasanya aneh. Jadi aku butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi tenang... Sekarang aku sudah terbiasa. Malah akan terasa aneh kalau kamu tidak tinggal di sini lagi. Jadi jangan pergi dulu. Aku senang akhirnya punya teman mengobrol di rumah."

The Princess Without A Palace (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang