Bab 1 (Ta'aruf Yang Gagal)

520 8 0
                                    

Namaku Nabila, aku baru pulang dari pesantren tempatku menuntut ilmu, lulus dengan nilai terbaik dan mendapat beasiswa ke Kairo Mesir.

Saat ini aku sedang menunggu panggilan keberangkatan beasiswa pendidikanku ke negara tersebut. Sungguh prestasi yang sangat membuat keluargaku bahagia, bahkan mungkin membuat mereka bangga.

Seperti yang dikatakan budheku pagi ini, Beliau mengungkapkan sangat bangga mempunyai keponakan seperti diriku, yang cantik, baik, santun, sederhana, dan pintar.

Pujian yang tentu membuat anganku melayang, namun juga menjadi beban karena dengan pujian itu aku harus berusaha menjadi seorang yang lebih baik seperti yang Beliau harapkan.

***

Pagi ini di ruang makan yang berdekatan dengan dapur, budheku meminta izin kepada ibu untuk mengenalkan aku dengan salah seorang putra temannya, budhe mengatakan putra temannya adalah seorang perwira polisi yang sangat tampan dan memiliki karir cukup bagus.

"Nabila mau ya, kenalan sama Bimantara? Cuma kenalan aja, ta'aruf," kata budhe.

"Bimantara juga baru lulus sekolah perwira, dia juga masih mau berkarir, dan kamu juga masih bisa melanjutkan pendidikan," tambah budhe.

"Orang tua Bimantara, sangat suka sama kamu, siapa tau kalian jodoh," imbuhnya.

Aku yang saat itu menyuguhkan teh hangat dan kudapan untuk budhe hanya menunduk tidak menjawab.

Budheku mulai meraih gawai di dalam tasnya. Menunjukkan foto Bimantara yang ada di dalam ponsel itu kepada ibu.

Ibu yang duduk di sebelah kiri budhe, mulai memperhatikan gambar di dalam layar tersebut.

Aku merasa heran. Entah kenapa budhe berkata kalau ibu perwira polisi itu sangat menyukaiku, padahal kita sama sekali belum pernah bertemu.

Apa mungkin selama ini budhe selalu menceritakan tentang kebaikanku padanya, hingga tanpa bertemu muka wanita itu begitu saja menyukaiku.

"Kalau aku terserah Nabila, Mbak. Yang penting kenalnya sama-sama di dampingi orang tua, biar tidak ada fitnah," kata ibu kemudian seraya menjulurkan gawai milik budhe padaku.

Aku yang duduk di hadapan dua wanita paruh baya itu, segera meraih gawai yang dijulurkan.

Sejujurnya aku juga merasa penasaran dengan paras perwira polisi yang hendak budhe kenalkan padaku.

Sesaat setelah memperhatikan gambar itu, jantungku berdegup.

'Subhanallah!' lirihku dalam hati.

Bimantara memang mahkluk ciptaan Allah yang bagitu nyaris sempurna, wajahnya begitu tampan, halus, dan bersih. Sungguh melihat parasnya membuat dua senti bibirku melengkung karena rasa kagum.

*****

Dua hari kemudian budhe meminta aku dan ibu untuk berkunjung ke rumahnya.

Beliau mengatakan hari ini ada pengajian rutin bersama teman-teman majlis ta'lim, dan ibu Bimantara juga akan hadir di sana.

Hatiku mulai berdebar mendengar kabar itu, mungkin hari ini budhe akan mempertemukan aku dengan Bimantara, seorang perwira polisi yang hendak dikenalkan padaku.

Dengan perasaan berbunga pagi ini aku menemani ibu menuju rumah budhe.

Sesampai di sana, budhe meminta aku untuk menjadi penerima tamu, sementara ibu membantu asisten rumah tangga budhe untuk menyiapkan kudapan dan makanan berat yang hendak disuguhkan.

Aku menjadi penerima tamu yang sangat baik dan ramah, bukan karena ibunya Bimantara akan datang, melainkan karena memuliakan tamu adalah tuntunan yang diajarkan dalam agama.

TENTANG JODOHKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang