chapter 3

1.1K 36 0
                                    

Waktu yang dijanjikan telah tiba. Aku dan abah kembali ke ndalem mbah yai untuk memberi jawaban. Aku hanya membisu selama perjalanan. Aku tak berani bertanya apa jawaban abah sama sekali. Aku yakin abah pasti memlih jalan terbaik untukku. Lamunankuku usai setelah mobil kami masuk halaman pesantren tua ini. Gelisah. Yang kumampu saat ini hanyalah shalawat dan shalawat.

"assalamu alaikum" ucap abah yang disambut riang oleh bu nyai. Aku langsung menyalami beliau sembari masuk ke ruang tamu. "sebentar. Abah sedang telpon" tutur bunyai yang langsung pamit ke belakang. Aku tertunduk glisah. Tiba-tiba abah menggenggam tanganku "kamu harus siap ya nak apapun keputusannya" ucap abah menguatkanku. Ceklek. Mbah yai rawuh lalu duduk di depan kami. "gimana cah istikharahnya?" tanya beliau penuh harap. Hatiku semakin berpacu cepat. Aku harus yakin dan mantap dengan keputusan yang akan aku dengar setelah ini. Abah memperbaiki posisi duduknya. Aku semakin tertunduk. "sebelumnya ngapunten kyai atas kelancangan saya". Kenapa abah minta maaf? Apa abah menolak lamarannya?.

Abah mulai melanjutkan ucapannya, "bismillah saya terima lamaran njenengan atas gus felix untu putri saya". Deg. Aku tak tau harus bahagia atau bersedih. Bu nyai pun langsung memelukku yang masih tercengang. "alhamdulillah, ayu men mantuku iki" celoteh bu nyai saking senangnya. Abah menyuruhku untuk bersalaman kepada beliau berdua. aku sudah mengabari felix. Katanya dia manut saja. "Berarti hari ini langsung kita urus ke KUA. Tinggal berapa hari terakhir pengumpulan formuir nak?" sambung mbah yai. "tinggal empat hari kyai" jawabku gemetar. "tidak usah panggil kyai. Panggil saja abi" perintah beliau kepadaku. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan.

***

Rasa yang tak dapat terdefinisikan bahkan olehku sendiri. Aku masih terbayang ucapan abi tadi di telpon. Siapa dia? Namanya siapa? Umur berapa?. Sosok asing yang tiga hari lagi akan menjadi istiku.

Flashback on

Aku terbangun kaget ketika ponselku berdering. "Untuk apa abi menelpon tengah malam seperti ini?" Batinku. 02.40. "di rumah sudah pagi felix!" rutukku pada diri sendiri. Segera ku menetralisir suaraku. "Ekhem ekhem assalamu alaikum bi". Abi menjelaskan maksudnya menelpon dengan panjang lebar. Aku hanya bisa diam mendengarkan. "kulo manut abi mawon". Terdengar ungkapan lega di seberang sana. Kata beliau akad akan dilaksanakan tiga hari lagi. Aku akan diwakilkan oleh abi. Kurang dari sebulan aku akan menjemputnya di bandara.

Flashback off

Aku mencoba menebak-nebak seperti apa wajah calon istriku. Bagaimana aku menjemputnya di bandara, wajahnya saja aku tidak tau. Oke, aku harus minta nomor telponnya pada ummi. "halo assalamu alaikum felix? Disini rame. Ummi lagii di mall cari cincin untuk mahar kamu" teriak ummi di seberang sana. Ya sudah aku ta jadi meminta nomornya. Sepertinya Allah ingin mengingatkanku bahwa dia masih belum boleh kupandang. "waalaikum salam mi. Nanti aku telpon lagi. Jangan lupa kirim foto cincinnya ya mi!" pintaku.

***

"assalamu alaikum felix? Disini rame. Ummi lagii di mall cari cincin untuk mahar kamu". Aku kaget. Bukankah felix adalah nama calon suamiku? Aku langsung mentralisir wajahku kembali setelah dirasa pipiku sedikit memanas. Apa-apaan nih aku, masa salting hanya karena mnedengar namanya. "Dasar baperan" rutukku kesal dalam hati.

Aku dan ummi memasuki salah satu toko perhiasan. ummi menunjuk sebuah cincin. Bagus, tapi terlalu rame, tidak cocok untuk umurku. "bagus mi, tapi terlalu dewasa buat saya" tolakku halus. "iya juga ya. Ayo ke toko lain!" pinta beliau. Setelah puas mengelilingi mall untuk membeli baju, cincin dan keperluan lain untuk lusa, kami berhenti di salah satu restoran di dekat gerbang keluar mall. Katanya beliau sangat tidak sabar untuk melangsungkan akad. Jangan ditanya bagaimana denganku. Bukan tidak suka dengan keputusan ini, hanya saja terlalu cepat bagiku. Dua hari lagi aku akan menjadi istri sah agama maupun negara dari sosok yang sangat asing bagiku. Ya sudahlah Allah pasti sudah menyiapkan hikmah besar dibalik ini semua.

Mobil yang kami kendarai mulai memasuki halaman rumahku. Para santri minggir memberi jalan untuk mobil kami lewat. Sebelum aku turun ummi menarik tangaku "wonten nopo mi?" tanyaku kaget. "ini aku kasih nomor felix biar kamu taaruf sebelum akad" ucap beliau sembari menyodorkan ponselnya bukti telah ia kirim ke nomorku. Aku bingung harus berekspresi seperti apa "injih ummi matur nuwun" jawabku sambil menyalaminya dan berjalan sedikit berlari ketika melihat abah tersenyum menungguku di depan pintu rumah. Aku langsung menyalaminya dan pamit ke kamar untuk istirahat. Setelah mandi, kurebahkan badan ini sambil membuka ponselku. Pesan masuk dari ummi. Nomor si calon suami. Harus kukasih nama apa kontaknya? GUS FELIX. Nama yang paling aman dan tidak lebay. Aku hanya menyimpannya. Aku tak berniat untuk mengiriminya pesan.

***

Ummi mengirimiku nomornya tanpa kuminta. Katanya biar aku kenalan aja dulu sama dia sebelum lusa akan akad. Aku menyimpannya. Sayang dia tak memasang wajahnya di foto profilnya. Aku hanya menemuka satu identitas dari nomor itu. Namanya mutabahhirah fil ilmi. Nama yang sangat cantik. Kuharap hatinya juga secantik namanya. Tuhan bagaimana bisa aku jatuh cinta hanya karena namanya? Aku ingin mengiriminya pesan. Tapi harus memulai dengan percakapan apa?. Ya sudah aku tak usah mengiriminya pesan saja sampai aku menjemputnya di bandara nanti.

***

Dua hari terasa sangat cepat. Abi, umi dan saudara-saudara iparku telah hadir. Aku masih sibuk dengan lamunanku sampai-sampai tak terasa abah masuk ke kamar. "nak, setelah ini kamu bukan lagi tanggung jawab abah. Berbaktilah selalu pada suamimu. Jadilah pembelanya ketika tidak ada lagi yang membelanya. Jadilah penyejuknya ketika dia menderita. Usahakan jangan sampai ada kata cerai dalam rumah tanggamu" nasehat abah yang membuatku spontan memeluknya daan menangis. "sudah jangan menangis. Akadnya akan segera dimulai".

"qabiltu nikahaha watzwijaha mutabahhirah binti zakaria al anshari limuwakkili bilmahril madzkur haalan" ucap abi dengan sangat tegas dan lancar. Semua keluarga mengucap syukur. Tanpa terasa air mataku jatuh. Aku langsung menyalami abah, umah, abi, umi dan para kerabat dekat yang hadir karena memang bukan acara besar. Acaranya pun hanya di rumahku tanpa mengurangi kesakralan acara. Rasanya aku masih belum percaya telah menjadi seorang istri.

MahramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang