Kami sudah sampai di hotel. Ning feyl masih tertidur "ning feyl! Sudah sampai" ucapku sedikit berteriak. Kuulang hingga beberapa kali tapi tidak ada respon. Harus kuapakan biar bangun? Masa iya aku membangunkannya dengan memegang lengannya? ning feyl, sudah samapi ucapku sambil menepuk pelan lengannya. Akhirnya mendapat respon dengan sedikit mengerjap-ngerjap matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dan mengembalikan kesadaran. Dia melotot karena kaget dengan wajahku yang sangat dekat dengan wajahnya. Bagaimana tidak, aku membangunkannya dari kursi depan. Segera kukembali ke posisi semula beberapa detik kemudian setelah sadar dari keterkejutanku. Jantungku memompa sangat cepat "monggo ning turun dulu, tunggu aja di resepsionis, saya masih mau bayar dulu" perintahku setenang mungkin.
Kami jalan beriringan dibelakang pelayan untuk menunjukkan kamar kami "gus pesan satu kamar?" tanyanya yang diiringi wajah penyesalan "maaf gus maksud saya.." belum selesai dia bicara, pelayan telah membukakan kamar kami lalu pamit pergi. Dia terpaku diam setelah tau ternyata aku memesan kamar yang double bed "sampun shalat isya ning?" tanyaku untuk menyadarkannya dari keterkejutannya. "anu, kulo udzur gus" jawabnya malu-malu. Lalu kutinggalkan dia ke kamar mandi setelah memastikan semua barang bawaan masuk. "dia haid" ucapku dalam hati. "aku ini kecewa atau lega sih?" rutukku lagi dalam hati. Ah sudahlah aku sanggat lelah ingin segera rebahan.
***
Aku membulatkan mata selebar-lebarnya ketika kulihat wajah lelaki sanga dekat dengan wajahku. Berusaha mengingat siapa ini orang. Oh ya lupa, aku kan sedang di taksi perjalanan ke hotel. Setelah kesadaranku pulih kembali, segera kuperbaiki posisi dudukku, begitupun dia. "monggo ning turun dulu, tunggu aja di resepsionis, saya masih mau bayar dulu" perintahnya yang hanya kubalas anggukan. Setelah mengurus check in, kami diantar pelayan menuju kamr. Tunggu bagaimana kalau dia mmesan satu kamar? "gus pesan satu kamar?" tiba-tiba saja kalimat itu lolos dari mulutku. apa yang kamu bicarakan feyl? rutukku menyesal dalam hati. Tanpa berpikir lama, aku langsung meralat ucapanku "maaf gus maksud saya.." belum selesai bicara si pelayan telah membukakan kamar kami. Betapa kagetnya aku ketika tau ternyata double bed. Aku harus kecewa atau lega? Rasanya aku kecewa karena ditolak mentah-mentah, tapi lega karena bisa tidur nyaman, karena pada dasarnya aku hanya bisa nyenyak jika tidur sendiri di kasur. Tidur dengan kakakku saja tak bisa. "sampun shalat isya ning?" tanyanya membuyarkan lamunanku. "anu, kulo udzur gus" jawabku malu-malu. Sekarang dia di kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwuduhu.
Ini hari pertamaku bertemu dengan suamiku, tapi aku masih belum melaksanakan satupun kewajibanku sebagai istri, bahkan aku masih belum menyalaminya. Aku harus melakukan apa untuk menebusnya? Aha, aku siapkan saja keperluan shalatnya. Tapi apakah tidak lancang namanya tiba-tiba membukan ranselnya? Akhirya kubentangkan sajadah milikku.
Menurut pelajaran yang kupelajari selama di pesantren, boleh bersenang-senang dengan istri yang sedang haid, kecuali antara pusar sampai ltut. Hih, mengingatnya saja aku sudah ngeri. Tapi aku akan dilaknat malaikat langit dan bumi sampai suhubuh jika menolak ajakannya. Apa yang harus kuperbuat, aku mau tapi masih belum siap untuk sekarang. Aku berpikir keras.
Aha! Aku mendapat ide. Segera aku duduk rapi di kasur dan membuka quran di hp. Anggap saja aku tidak melepas kerudung karena memurajaah quranku sampai tak tertidur. Cekrek. Suara pintu kamar mandi terbuka. Segera kupejamkan mataku untuk memulai aktingku. Aku duduk menyandar ke tumpukan bantal dengan hp berlayar quran di tangan kananku.
Hanya terdengar suara resleting ransel kemudian suara takbir. Setelah itu tak lagi kudengar apapun. aku tertidur ketika pura-pura tertidur.
***
Sajadah siapa ini? batinku ketika keluar dari kamar mandi. Sepertinya sajadah ini dipersiapkan untukku karena tidak ada lagi yang hendak shalat disini kecuali aku. Tiba-tiba saja terasa hangat di dada shalat isya ini sangat spesial dari biasanya, mungkin inilah yang disebut salah satu nikmat mengikuti sunnah Rasul-Nya, alhamdulillah ala kulli nimah.
Sebelum shalat, aku mengambil koko terlebih dahulu yang tempatnya berada diantara dua ranjang. Kutoleh sebentar istriku sebentar, sepertinya kecapean sampai ngajinya tertidur, ingin membenahi tidurnya tapi takut batal wuduku, ya sudah nanti saja setelah shalat. Akupun kembali ke sajadahku dan melakukan shalat isya beserta wirid dan rawatibnya, bedanya doaku kali ini sudah bertambah "rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata ayun wajalna lilmuttaqina imama" seperti masih mimpi rasanya aku sudah menjadi seorang suami.
Setelah selesai semuanya, kulipat kembali sajadah dan menaruhnya di nakas karena aku tak tau harus megembalikannya kemana. Kuluruskan kakinya pelan karena dia tertidur duduk memegang ponsel berlayar quran. Lalu ku tarik ponselnya pelan-pelan dari tangannya. Biasanya ummi akan membuka kerudung mbak ningku jika tertidur masih berkerudung, dawuh beliau biar tidak ewuh tidurnya dan takut tertusuk jarumnya sendiri, intinya biar nyaman lah. "Apa aku buka kerudungnya saja ya, sepertinya juga dia tidak nyaman" langsung kutepis pikiran itu, bisa saja dia memang sengaja tidak membuka kerudungnya karena masih canggung. Akhirnya aku putuskan untuk tidak membukanya lalu kuperbaiki posisi bantal dan selimutnya. Ingin kucium keningnya, tapi dia saja belu menyalamiku sejak kedatangannya, sepertinya dia masih benar-benar syok dengan pernikahan ini.
***
jam 00.00, "telpon siapa sih berisik banget!" gerutuku karena bunyinya memekakkan telinga dan mengganggu tidurku. Aku turun dari ranjang dan mencari asal suara, ternyata ponsel ning feyl sumbernya. "loh shibgha? Ada apa dia dengan istriku?" betapa tidak terkejutnya ketika wajah shibgha yang muncul di layar telponnya. Sepertinya ponselnya sudah terhubung dengan wifi hotel. aku tak berani mengangkat, malah pikiranku berjalan cepat tak berarah apa sebab ini dia masih belum terbuka denganku, sampai menyalamikupun dia tak sudi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram
Spiritualkuliah di Madinah mengharuskan ning feyl untuk memiliki mahram yang menjaga, tapi ia tak memiliki sanak saudara disana. haruskah ia memilih menikah untuk mengejar mimpinya atau justru sebaliknya?