Sebulan terasa sangat cepat berlalu. Sekarang sudah waktunya aku berangkat. Abah, umah, abi dan ummi mengantarkanku sampai bandara internasional djuanda. Pesawat akan take off, semua penumpang diberi instruksi untuk memakai sabuk pengaman masing-masing. Bismillah nawaituttaalluma.
Selama di pesawat aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku harus bersikap apa nanti ketika bertemu dengannya? Apa aku menyalaminya saja? Bagaimana kalau nanti dia mengajakku menginap di hotel lalu meminta haknya? Untung saja aku haid Berbagai pertanyaan muncul di benakku hingga tak terasa aku tertidur.
Aku terbangun ketika suara pramugari mengumumkan bahwa pesawat akan landing sebentar lagi. Pesawat kami akan transit terlebih dahulu di Dubai. Aku segera merapikan baju dan kerudungku. Setelah pesawat mendarat dengan sempurna, seisi pesawat mulai sibuk dengan barang bawaannya masing-masing. Bruk. tas tentengku jatuh, untung saja ada orang yang menangkapnya. "maaf, terima kasih akhi" yang dibalasnya dengan senyuman dan anggukan penuh tadzim. Tunggu. Dia si ketua panitia. "Kenapa harus satu pesawat sih" gerutuku dalam hati. "injih sami-sami ning. Kulo santrinipun panjenengan" jawabnya sangat sopan. Aku sudah tau kang. Sangat tau. Aku hanya meresponnya dengan anggukan lalu pamit turun terlebih dahulu. Ya allah cobaan apa lagi ini keluhku dalam hati.
Aku memilih ke salah satu kafe ternama yang pasti tersedia di setiap bandara. Aku hanya memesan satu matcha dingin, karena niatku hanya menumpang wifi hehe. Aku mulai memikirkan bagaimana cara suamiku nanti menemukanku, dia saja tidak tau wajahku?. Aku geli memanggilnya suami. Oke aku harus mengiriminya pesan terlebih dahulu, demi kemaslahatan bersama. Tapi aku harus memulainya dengan kalimat apa agar tidak terkesan cerewet dan lebay?. Aha aku punya ide.
"Assalamu alaikum. Ini jadwal kedatangan pesawat saya"
Pesanku teririm. Tidak. sekarang dia sedang mengetik. Ada apa aku ini seperti anak SMA yang sedang menanti balasan pacarya saja.
"Waalaikum salam. Iya, saya sudah stand by"
Pesannya hanya kubaca, tak sempat kubalas karena pesawatku akan segera berangkat. Segera kumatikan ponselku dan sedikit berlari masuk pesawat. Bismillah.
***
Hari ini aku akan menjemput istriku di bandara. Apa? Aku tadi menyebutnya istri? Wajahnya saja aku tak tau. Aku segera mereservasi hotel dekat universitasnya karena daftar ulangnya pasti akan memakan banyak waktu dan melelahkan. Aku harus pesan berapa kamar? Satu atau dua? Haduh aku sangat bingung hanya karena kamar. Ya sudah aku pesan satu saja tapi yang two bed untuk jaga-jaga ada hal yang tidak diinginkan.
Taxiku menurunkanku di depan gerbang kedatangan internasional, sesuai pesanan. Aku segera turun setelah membayar ongkosnya. Cettung. Suara notifikasi pesan masuk di ponselku. Deg. Tertera disana nama NING. Tak terasa aku sedikit tersenyum dan seperti aakan terbang karena terlalu bahagia. dasar suami tidak peka kamu! Bisa-bisanya istrimu dulu yang memberi kabar rutukku pada diri sendiri. Segera kubuka.
"Assalamu alaikum. Ini jadwal kedatangan pesawat saya"
Pesannya sangat singkat, tapi kenapa aku sangat senaang padahal tidak ada kata romantis sedikit pun? Aku harus menjawabnya bagaimana ini?
"Waalaikum salam. Iya, saya sudah stand by"
Dia hanya membacanya lalu offline. lah bagaimana aku menemukannya sedang aku tak tau wajahnya? Harusnya tadi aku menanyainya menggunakan baju apa sesalku dalam hati. Aku tak bisa menelponnya nanti karena pasti masih memakai kartu indonesia. lalu dengan cara apa?. Aha, aku ada ide. Segera kubuka chatku dengan ummi dan mencai foto cincin yang ummi kirimkan sebelum akad berlangsung. Oek, satu-satunya cara aku mencari orang yang memakai cincin ini. Tapi bagaimana jika dia tak memakainya? Sudah sudah optimis saja ucapku untuk meyakinkan diri sendiri.
Pesawatnya telah landing. Aku segera berdiri didepan gerbang kedatangan dengan mata fokus memandang tangan setiap orang yang keluar. Sampai keluarlah seorang gadis mendorong trolley nya yang berisikan dua koper besar. Mataku langsungterfokus pada jari kirinya. Tak ada cincin. cincin nikah itu di tangan kanan felix tegurku pada diri sendiri. Segera kualihkan fokusku ke arah tangan kanannya. Dia memakai cincin. Sebentar aku harus mencocokkannya dengan gambar yang ummi kirim. Yaps. Cocok. Segera kuhampiri dia. "assalamu alikum. Mutabahhirah fil ilmi?" tanyaku ragu. Sepertinya dia kaget deengan salamku yang tiba-tiba. "waalaikum salam. Iya dengan saya. Njenengan gus muhammad faliqul ishbah?" ada semburat hangat di hati ketika dia mengucap namaku dengan lengkap. "injih saya ning" Jawabku antusias.
***
Aku segera mengambil koperku. Berat sekaali. "monggo saya bantu ning" tawar si ketua panitia. aku menjawabnya dengan angggukan, setelah berterima kasih aku langsung pamit keluar terlebih dahulu. Tak baik lama-lama di dekatnya bisa-bisa CLBK nih aku. Perjalanan dari tempat pengambilan barang ke gerbang kedatanagn, aku berpikir bagaimana cara suamiku menemukanku?. Sudahlah kalau jodoh pasti bertemu. Apa-apaan aku, menggunakan peribahasa itu sangat menjijikkan untuk keadaan sepeti ini.
Aku keluar gerbang kebingungan harus mendorong troleyku ke arah mana. Tiba-tiba "assalamu alaikum. Mutabahhirah fil ilmi?" ada suara salam dari arah kananku. "waalaikum salam. Iya dengan saya. Njenengan gus faliqul ishbah?" jawabku sambil membenarkan kerudungku untuk menutup kegugupanku. Sangat lebay rasanya memanggilnya dengan nama lengkap. Mau bagaimana lagi, hanya itu nama yang kuingat ketika abi menawarkannya kepadaku sewaktu sowan pertamaku dan abah. Dia tersenyum. Sepertinya terharu karena aku memanggilnya dengan lengkap. Aku harus bagaimana ini? Apa aku menyalaminya?. Aku bersikap sebiasa mungkin padahal sebenarnya sangat panik. Untuk memcah kecanggungan, aku menanyainya "bagaimana bisa njenengan menemukan saya gus?". "saya mencockkan cincin yang njenengan pakai dengan gambar yang dikirim ummi" jawabnya sambil tersenyum kikuk. What? Cincin? Seseorang tolong pegang aku,, aku kepalaku sepertinya membesar.
Gus felix segera mempersilahkanku berjalan. Dia memesan taksi online. Setelah datang, dia masuk terlebih dahulu kemudian mempersilahkanku masuk "kalau naik taksi, tunggu saya masuk dulu. Nanti keluarnya njenengan dulu ning. Bahaya kalau perempuan sendirian" ucapnya yang tak dapat dipaham oleh si sopir, karena memang bukan bahasanya. Aku hanya mengangguk. Untung saja gus felix memilih duduk di dekat sopir, bukan di dekatku, bisa jadi marathon jantung nuh aku.
Tiba-tiba aku teringat dengan ketua panitia. siapa yang menyusulnya di bandara?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram
Spiritualkuliah di Madinah mengharuskan ning feyl untuk memiliki mahram yang menjaga, tapi ia tak memiliki sanak saudara disana. haruskah ia memilih menikah untuk mengejar mimpinya atau justru sebaliknya?