Pikiranku melayang kemana-mana selama perjalanan pulang "gimana kalau habis ini gus felix minta hak? Kan aku udah suci" batinku gelisah sekali. Berusaha duduk setenang mungkin tanpa ekspresi gelisah membuatku sedikit gerah. Sedikit kukibaskan kerudungku untuk memberi udara masuk ke leherku "haduh lama banget sih sampai hotelnya!" seruku dalam hati. Tunggu, aku terburu-buru sampai hotel untuk apa?, ralat ralat. Aku tidak ingin segera sampai hotel, seperti ini saja terus, aku ingin terus di jalan, bukan di hotel, aku masih belum siap untuk melakukan kewajibanku itu sekarang!!.
Sesampainya di hotel, aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk berwudlu, kami belum shalat isya karena tadi di masjid nabawi hanya sampai maghrib. "aku harus keluar gimana nih?" rutukku pelan di depan cermin kamar mandi. Tok tok "ning masih lama? Saya juga mau wudlu ning!" seru gus felix dari luar kamar mandi. "injih gus sebentar lagi!" jawabku berteriak. Aku harus keluar memakai kerudung atau tidak??
Buka
Nggak
Buka
Nggak
Buka
Nggak
Ahh kelamaan! Aku tidak punya alasan lagi untuk tidak membuka kerudungku. aku keluar kamar mandi sambil menggelung rambutku yang panjang. Sebenarnya hanya pelampiasan kegugupanku. Aku tak berani melihat ekspresi gus felix.
Aku berjalan sedikit berlari dan memakai mukenah segera. Lalu aku mulai memebentangkan sajadah gus felix yang telah digunaknnya dhuha tadi di nakas. Ceklek. Pintu kamar mandi terbuka. Deg deg deg. Jantungku berpacu lebih cepat daripada biasanya. Ia segera shalat sunnah qabliyah isya, setelah selesai, "iqamah ning!" perintahnya halus.
aku hanyut akan suaranya membaca al fatihah "aamiinn" jawabku gemetar di akhir surat. Ia lanjutkan dengan membaca ayat di halam ke 11 sampai 13 dari juz 24, sebagaimana orang yang hafal al quran pada umumnya yang akan mengkhatamkan satu juz sehari dalam shalat maktubahnya. Padahal aku sudah terbiasa shalat dengan dengan banyak ayat seperti ini, tapi kenapa sekarang rasanya berbeda? 3 halaman serasa begitu cepat. Suaranya bagai candu untukku. Segera kukembalikan konsentrasiku, astaghfirullah, apa apaan aku ini menduakan-Nya.
Setelah shalat, wirid dan doa, gus felix tidak menoleh kebelakang menjulurkan tangannya untuk kusalami, justru berdiri lagi "umm, sepetinya ini shalat badiyah, makanya tidak mengajak berjamaah" gumamku dalam hati. Aku boleh bernapas lega sekarang, karena buktinya dia tidak mengajakku berjamaah shalat sunnah sebelum tidur. Akupun ikut berdiri untuk shalat badiyah.
Gus felix selesai shalat badiyah terlebih dahulu. Dia masih duduk. Tidak. jangan- jangan dia akan mengajakku shalat sunnah sebelum tidur. Kunetralkan wajahku sebelum gus felix menoleh kebelakang. Aku bersiap untuk segala kemungkinan yang akan ia ucapkan. Okeh feyl, siap atau tidak kamu harus melakukannya ucapku dalam hati menyemangati diri.
Gus felix menoleh kebelakang dan menjulurkan tangannya untuk kusalami. "apa ini? Berarti tidak jadi shalat sunnah sebelum tidur dong?" tanyaku heran dalam hati. Aku pun menyambut ulurannya dan menyalaminya. Dia langsung berdiri lalu melipat sajadahnya, meninggalkanku yang masih tercengang.
***
Aku tercengang ketika melihat istriku keluar dari kamar mandi tanpa kerudung yang menempel di kepalanya. Deg. Mataku membulat melihat lehernya yang polos karena sedang menggelung rambut panjangnya ke atas. Rambutnya sedikit basah karena wudlu membuatnya terlihat makin sexy. Dia tak menoleh ke arahku sama sekali dan segera bergegas menyiapkan peralatan shalat. Aku masuk kamar mandi dengan hati bergemuruh setelah tersadar ketika ia memakai mukenahnya.
"iqamah ning!" Perintahku setelah shalat qabliyah isya. Jamaah berjalan lancar. Seperti biasa, aku langsung berdiri untuk melaksanakan shalat badiyah. Seusai shalat, aku masih termenung sebentar. aku goyah untuk tidak meminta hakku sekarang terbayang leher polosnya. "tahan felix, semua yang terbuu-buru akan buruk hasilnya,, beri dia waktu untuk menyiapkan mentalnya, kasian juga dia capek seharian" ucapku dalam hati menyemangati diri. Aku langsung bergegas melipat sajadah dan berganti baju santai ke kamar mandi. Aku tak berani menatap wajah ning feyl saat ini, aku takut goyah lagi.
Aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan tak menentu. Aku masih duduk di tepi ranjangku tanpa berniat untuk tidur. Aku harus melakukan sesuatu yang dapat mengurangi rasa bergemuruh ini. Tapi aku harus bagaimana? .
Aku berdiri dari ranjangku dan menghampiri ranjang ning feyl. Dia terbangun dari tidurnya ketika merasa aku duduk di tepi ranjangnya. Aku memandangnya lama. Ia memperbaiki duduknya segera. "gus.." ucapnya tehenti ketika kucium keningnya. Lama. Sangat lama. Aku memjamkan mataku untuk menikmati keadaan ini sembari mengelus rambut panjangnya.
Setelah kujauhkan mukaku dari keningnya, "njenengan ngersaaken kulo nopo?" tanyanya malu-malu. Aku bingung menjawab pertanyaannya. Hatiku ingin mengiyakan, tapi akalku menolaknya. "njenengan istirahat mawon ning, capek kan?" tolakku halus. "kersane mboten nopo-nopo gus, niki sampun kewajiban kulo" ucapnya meyakinkanku. Cukup ning, kamu menggoyahkanku. Cukup. Aku sudah tak tahan lagi. "njenengan istirahat mawon pun" jawabku sambil berjalan melepas pegangannya di tanganku dan beranjak dari ranjangnya. Malam itu kami lalui dengan pikiran masing-masing hingga waktu fajar tiba membangunkan kami untuk menghadap-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahram
Spiritualkuliah di Madinah mengharuskan ning feyl untuk memiliki mahram yang menjaga, tapi ia tak memiliki sanak saudara disana. haruskah ia memilih menikah untuk mengejar mimpinya atau justru sebaliknya?