PLANING

956 106 15
                                    

"Aku juga tidak tahu siapa yang sudah menyebarkan data - data itu Ayah. Kau tidak bisa terus menyalahkanku'' Hinata hampir menggebrak meja dimana Hiashi duduk di belakangnya. Wajah cantiknya memerah parah, napasnya naik turun menahan emosi.

Hinata kesal bukan main. Ayahnya terus saja menimpakan semua kesalahan padanya, padahal dia sendiri tidak tahu kenapa data perusahaan bisa menyebar keluar. Kejadian ini membuat investor dan beberapa perusahaan lain yang bekerja sama dengannya ikut menderita kerugian. Hinata mengerti jika Ayahnya marah, tapi dia tidak suka hanya dirinya yang disalahkan dalam situasi seperti ini.

"Kau yang memegang kendali perusahaan ini. Memang Ayah harus menyalahkan siapa lagi. Neji? Dia sudah membusuk di neraka'' Hiashi menopang dagunya dengan kedua tangan.

"Ayah..'' desis Hinata, tidak percaya ayahnya kembali menyebut nama sepupunya itu.

"Ayah sudah susah payah membuat perusahaan ini jatuh ke tanganmu dan kau menyia - nyiakannya''.

"Aku...'' Hinata menunjuk dirinya sendiri ''Aku yang sudah berusaha. Ayah hanya diam menonton sambil terus menekanku untuk menyingkirkan Neji. Apa Ayah tidak berpikir seberapa berbahayanya itu jika ada orang luar yang tahu'' Hinata mengeluarkan semua emosi yang ditahannya. Dia sudah kesal selalu menuruti kemauan ayahnya dan nyatanya pria tua itu tidak pernah puas.

Hinata tidak ingin lagi menghabiskan tenaga hanya untuk mendengar penghakiman dari Hiashi. Wanita itu menegakan tubuh, menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga. Merubah ekspresinya menjadi tenang.

"Permisi''

Hinata berbalik. Memilih keluar dari ruangan dimana ayahnya berada tanpa memedulikan panggilan pria tua itu. Hinata menulikan pendengarannya. Kepalanya rasanya sudah mau pecah memikirkan solusi terbaik menyelamatkan perusahaan. Dia harus memulai membujuk kembali para investor, pemegang saham agar terus mempercayainya. Percaya kalau dia bisa mengatasi semua masalah ini.

"Aku ingin bertemu di tempat biasa Konan''

Hinata masuk ke mobilnya, menutup pintunya dengan keras, lalu melempar ponsel di tangannya yang baru dia gunakan untuk menelpon seseorang ke kursi penumpang di sampingnya.

Kedua tangannya mencengkeram erat kemudi hingga urat - uratnya terlihat, wajahnya mengeras dengan bibir terkatup rapat.

"Arrgg..''

Hinata memukul kemudi dengan kedua tangan, keras. Kepalanya disandarkan ke belakang. Wanita itu memejamkan mata sebenak. Matanya sedikit melirik ke kaca spion di depannya. Wajahnya berantakan. Dahinya berkeringat dan rambutnya sedikit tidak rapi. Hinata meraih pouch berwarna putih yang tergeletak di sampingnya, mengambil beberapa isinya.

Hinata menyisir rambutnya sedikit tergesa, menyanggulnya ke atas dengan rapi. Wanita itu juga memperbaiki make up nya dengan sapuan cushion dan polesan lip cream. Hinata melirik sekali lagi ke spion dan setelah dirasa tampilannya sudah lebih baik, wanita itu menyalakan mobilnya. Benda mahal itu meluncur cepat meninggalkan rumah besar milik Hiashi, melewati gerbang tinggi yang dibangun untuk menyembunyikan rumah itu dari pandangan dunia luar.

Hinata hanya butuh waktu tidak lebih dari lima belas menit untuk sampai di restoran tempat dimana dia akan bertemu dengan seseorang. Begitu sampai disana, seorang pelayan menyambutnya. Hinata segera mengatakan ingin menemui seseorang. Begitu si pelayan mengkonfirmasi identitas Hinata, pelayan itu mengantarkan Hinata ke ruangan yang lebih privat.

Hinata diantarkan sampai ke depan pintu dan si pelayan mempersilahkan dengan sopan.

Setelah si pelayan pergi, Hinata terdiam sejenak di ambang pintu, memperhatikan seorang wanita dengan rambut biru sebahu yang tergerai. Wanita itu tersenyum melihat dirinya yang masih terdiam dan dengan satu tangannya memberi isyarat pada Hinata untuk mendekat dan duduk.

PUZZLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang