The Jerk Twins: 5

2.7K 140 14
                                    

"Lo denger sendiri apa yang Tante Maya bilang tadi. Lina, dia bakal tinggal disini. Itu bikin celah besar anak Elang buat jadiin dia sandera kaya Andini!" Dion menjambak rambutnya frustasi. "Bukannya gue nggak mau dia ada disini, gue cuma mentingin keamanan dia di atas segalanya."

Lion ikut menundukan kepalanya. Rasa cemas dan bingung melanda kedua laki-laki yang berada di dalam satu kamar bernuansa abu-abu ini. Setelah melewati perdebatan panjang dengan adiknya, akhirnya Dion memutuskan untuk diam. Berbicara sebanyak apapun pada Lion tidak akan mengubah sifat keras kepala adiknya.

"Kita sewa apartemen. Bukan buat Lina, tapi buat kita."

"Gila lo? Bunda mana ngizinin. Lo lupa Alga udah tau rumah kita sejak lama?"

Lion menghembuskan napasnya kasar. Otaknya terus ia paksa untuk berfikir lebih jernih lagi. Mencari titik terang disebuah ruangan yang sangat mustahil diterobos oleh cahaya matahari adalah hal yang sia-sia, kecuali terdapat lubang kecil yang mampu dijadikan jalan masuknya cahaya.

"Nggak ada pilihan lain selain kita yang jagain. Bunda sama Ayah nggak bakalan izinin Lina pake bodyguard selagi masih ada kita, Bunda sama Ayah baru bakalan kawal kalo udah ada musibah yang dateng. Lo pasti paham jawaban Ayah gimana," kaya Lion menatap Dion yang nampak sangat kebingungan.

Menganggukan kepala, Dion mengetikan sesuatu pada ponselnya. "Altas bilang sekolahannya lagi dapet masalah karena ada polisi yang dateng buat introgasi beberapa guru buat nanyain Davin bisa masuk rumah sakit."

"Davin dikeroyok di sekolahan emangnya?" tanya Lion.

Dion mengangkat bahunya tidak tahu. "Altas gak tau pasti gimana kejadiannya. Yang dia tau Davin dateng sendirian ke markas anak Elang buat nyelametin siswi yang di tahan anak Elang."

"Dan siswi itu pacarnya Davin!" jawab Lion cepat. Modal mengandalkan otak dan sifat sok tahunya, Lion mulai menerka-nerka. "Ini persis kaya kasus lo dulu."

"Kasih tau anak Garuda yang besok ikut nyerang pastiin mereka nggak bolos sekolah. Ada yang berani bolos urusannya sama gue."

Lion mengangguk mantab sebagai jawaban dari ucapan Dion. Menurut Dion, sekolah adalah hal yang terpenting. Bagaimana seseorang mendapatkan wawasan dari apa yang selama ini mereka cari, titik terang yang berhasil mereka temukan setelah bertahun-tahun berjalan di bawah langit yang gelap. Sekolah dan pendidikan adalah hal yang akan membawa mereka pada kesuksesan, tidak ada yang boleh mengabaikan tugas sebagai murid.

------

Gedung kosong yang menjadi markas anak Garuda selama tiga tahun belakangan. Hari ini, gedung terbengkalai dengan pilar kokoh yang menjulang tinggi sudah dipenuhi anak laki-laki yang masih mengenakan pakaian seragam sekolah.

Jam menunjukan pukul setengah satu siang. Sekolahnya sudah bubar setengah jam yang lalu, namun masih ada anak Garuda yang belum sampai pada titik kumpul yang sudah Dion janjikan sejak malam.

Sibuk berbincang hangat, salah satu siswa yang akan ikut menyerang meletekan sebatang rokok diantara bibir atas dan bibir bawahnya, tangan kananya baru saja ingin mematik api untuk menyalakan rokok. Jika saja suara Dion tidak menggelegar kencang, mungkin rokok itu sudah menyala.

"Berapa kali gue bilang jangan ngerokok kalo ada gue. Rokok gak bagus buat lo semua," teriak Dion yang duduk dianak tangga bersama Lion dan Slamet.

"Kuping lo ketinggalan di atas kulkas, ya?" timpa Slamet.

Suasana seketika hening. Tidak ada yang berani menatap Dion atau Slamet barang satu orang pun, semuanya menundukan kepala mencegah terjadinya amarah sang Dion.

Fandi dan Danial datang. Menatap sekitar dua puluh orang yang diam seperti sosok anak kecil yang merasa bersalah. Dilihat tiga temannya yang sedang duduk dianak tangga seakan bertanya ada apa, namun tidak ada respon dari ketiganya.

"Lama banget. Lumutan gue," kata Lion memecah keheningan. Setelah perkataan Lion selesai, ke dua puluh anak laki-laki bersegaram yang akan ikut menyerang baru berani bergerak dan kembali melanjutkan obrolan yang sempat tertunda tadi. Lion adalah penyelamat bagi mereka saat menghadapi amarah Dion.

"Biasa. Rapat osis tadi," jawab Danial melemparkan tasnya pada tumpukan tas yang lain.

"Itu anak kampret rapat osis juga?" Slamet menunjuk Fandi lewat sorot matanya.

"Kaga. Di suruh duluan nggak mau. Mau berangkat kapan?"

"Udah kumpul semua 'kan? Berangkat sekarang." Lion berdiri, membenarkan posisi seragamnya yang sudah ia keluarkan agar terlihat lebih jagoan katanya.

"Ayo. Anak Cakra udah nunggu di belakang gedung Elang." Dion ikut berdiri, begitupun Slamet.

Setelah memberi instruksi pada anak-anak yang lain mereka semua keluar dari gedung kosong meninggalkan tas dan motor mereka. Dion bilang mereka akan ke sekolahan Cakra hanya untuk berbicara sebentar, tidak perlu kendaraan untuk sampai di sana mereka hanya berjalan kaki dan melompati pagar pembatas lalu segera sampai di belakang sekolahan Cakra. Gedung yang mereka jadikan tempat titik kumpul terletak tidak jauh dari sekolahan Cakra.

"Anak sekolahan lain pengin tawuran naik motor sambil bawa celurit, lah kita nggak bawa motor nggak bawa celurit, mana jalan kaki 'kan nggak serem," cerocos Lion sambil mengangkat kakinya menaiki pagar pembatas. "Mana loncat-loncatan, disangka maling mangga yang ada."

"Mulut lo bisa diem bentar nggak, sih?" cibir Slamet yang sudah ada di bawah. "Bacot bat gue kata."

Disela Lion, Fandi dan Slamet sedang memantau anak lain yang berusaha menaiki pagar, Dion dan Danial sudah lebih dulu jalan mendekati Altas dan kawan-kawannya.

Menjabat tangan Altas, Dion bertanya, "Di sekap di sekolahan?"

Altas mengangguk. "Davin bilang dia liat sendiri cewenya di bawa ke sekolahan lewat pintu belakang. Lokasi dimananya dia nggak tau keburu dikeroyok."

"Stres gue lama-lama. Ini guru nggak ada yang curiga atau gimana, sih? Secara anak sekolah lain, beda seragam masuk ke dalam sekolahan bukan sebagai tamu tapi sebagai sandera. Dunia makin gila!" jawan Slamet.

"Hubungin Alga, bilang gue mau ngomong sama dia." Dengan wajah datar dan dingin Dion menyenderkan tubuhnya di dinding.

"Bawa pasukan sebanyak ini cuma mau ngobrol? Tawuran biar seru, lah!" Lion datang merangkul Fandi.

"Jangan di dengerin, adek gue agak gila," kata Dion.

"Resikonya gede kalo mau dibicarain secara kekeluargaan. Bisa jadi mereka bakal ngeroyok, atau lebih parahnya lagi kejadian Andi---" Altas mengantungkan ucapanya kala Dion menegakkan tubuh dan mendekat ke arahnya sambil menunjuk dada Altas dengan telunjuk.

"Kesalahan terbesar terletak disaat lo sebagai pemimpin nggak berani ngambil resiko!" jawab Dion cepat.

Dan, kesalahan besar juga jika ada yang berani menyebut nama Andini baik secara sengaja atau tidak di depan Dion. Itu kembali membuka luka lamanya.

Dion jalan, mendekati Davin yang masih dalam kondisi kurang sehat sedang berdiri dengan raut kacau menyenderkan kepalanya di dinding. "Pasukan gue banyak, pasukan lo juga. Jaga di luar pas gue bikin kesepakatan sama Alga. Gue janji, gue bakal bawa cewek lo dalam keadaan sebaik-baiknya."

Di samping Dion, Lion mendekat ke arah Altas. Menepuk bahu laki-laki itu pelan. "Lo nggak perlu khawatir, kakak gue punya sembilan nyawa kaya kucing. Tugas lo lakuin apa yang kakak gue minta, hubungin Alga sebelum itu si nyawa kucing berubah pikiran."

Altas menganggukan kepalanya cepat. Sungguh, ia percaya pada Dion yang sudah ia kenal sejak SMP. Tapi untuk mengambil resiko sebesar ini ia masih ragu, mengingat betapa bengisnya Alga menghabiskan lawan tanpa rasa iba sedikitpun.

"Selesai hubungi Alga, lo mending ikut gue ngopi sama Slamet. Biarin Dion kerja sendirian."

-----

TO BE CONTINUE...

THE JERK TWINS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang