The Jerk Twins: 20

607 81 19
                                    

Jangan lupa lambang 💜
-----

Altas menepikan mobilnya tepat di depan bangunan kosong yang nampak sangat buruk. Lagi dan lagi alamat yang menjadi peta mereka selalu berakhir dibangunan kosong yang sudah tidak layak huni. Mereka semakin masuk ke dalam bangunan yang sudah terlihat sangat gelap, hanya ada penerangan dari cahaya rembulan dan beberapa sumber cahaya dari bangunan disampingnya.

Baru satu langkah memasuki aera bangunan tersebut, Dion dan Altas mendengar suara teriaka yang sangat memilukan dari dalam sana. Dengan mereka berdua lari mencari dimana sumber suara tersebut. Menaiki tangga dengan tergesa, Altas dan Dion akhirnya memutuskan untuk berpencar karena ada dua arah yang berlawanan. Altas ke kiri, Dion ke kanan.

Suara teriakan itu semakin terdengar sangat kencang, namun juga sangat memilukan bagi siapapun yang mendengarkan. Dion melangkahkan kaki dan menajamkan pendengarannya, sayup-sayup dia mendengar suara perempuan yang sedang menangis. Tidak lain, hatinya mengatakan itu adalah suara sepupunya. Siapapun yang membuat Lina menangis, tidak akan selamat dari malaikat maut yang segera menjemputnya.

Dion membuka membuka pintu yang ada disana. Matanya langsung memerah, darahnya seakan mendidih saat itu juga. Pemandangan satu tahun lalu kembali berputar di otaknya, namun bukan terjadi pada kekasihnya melainkan pada sepupunya.

"Bajingan!" Dion berteriak kencang. Teriaknya seakan membangunkan sifat iblis yang sudah lama tertidur di dalam dirinya. Langkah kakinya terdengar sangat kencang seperti hantamkan kaki raksasa yang melangkah di atas lantai. Dion semakin berlari, dalam hitungan detik tubuhnya melayang dan langsung mengarahkan tendangan mautnya untuk Alga yang berada di atas tubuh Lina. Wanita itu sedang menangis tanpa busana.

Detik itu Altas datang. Mengabaikan Dion yang sedang menghabisi Alga secara membabi-buta, dia lebih memilih mendekati Lina yang terduduh bawah lantai sambil berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut putih yang memiliki bercak darah di beberapa bagiannya.

"Jangan Kak, aku kotor," ucap Lina kalau Altas berusaha menenangkannya.

Tidak mengindahkan ucapan Lina, Altas membuka jaketnya lalu melilit jaket itu pada tubuh kecil Lina.

"Aku kotor Kak! Aku nggak pantas hidup! Aku mau mati! Mau mati! Tolong bunuh aku Kak! Setelah ini aku bakal jadi aib keluarga!" teriak Lina begitu histeris membuat amarah Dion semakin menjadi-jadi untuk segera mengantar Alga pada malaikat mautnya.

"Bajingan! Lo nggak pantes hidup anjing!" Dion tidak henti-hentinya memukuli Alga. Rasa sakit yang Dion berikan tidak akan sebanding dengan kejadian buruk yang mungkin saja akan terjadi pada Lina dimasa depan.

"A-aku mau mati," lirik Lina. Matanya seakan sudah benar-benar kosong. "Aku mau mati. Aku kotor." Lina terkekeh pelan, kekehan yang sangat memilukan.

Tidak dapat membayangkan jika adiknya yang ada diposisi ini, Altas langsung memeluk Lina tanpa sepengetahuan Dion. Membuat wanita itu semakin menangis menjadi-jadi.

"Jauh-jauh dari aku! Aku kotor!" teriak Lina menggoyangkan tubuhnya namun tetap mempertahankan jaket dan selimut yang harus tetap menutupi tubuhnya.

"Lo baik-baik aja." Altas menutup kedua mata Lina menggunakan tangannya. "Anggap kejadian ini nggak pernah terjadi. Lo baik-baik aja."

Disudut ruangan kumuh ini Dion menendang kepala Alga yang sudah tidak sadarkan diri. Belum puas rasanya ingin terus memukuli Alga tapi musuhnya itu sudah tidak sadarkan diri. Sebesar apapun amarahnya, bagaimana pun ada Lina yang harus dia nomor satukan.

Dion berjalan dengan gontai. Cahaya rembulan menyorot wajahnya yang nampak memerah karena amarah. Matanya terlihat basah mengeluarkan air mata. Seseorang Dionnaga menangisi hal yang sama seperti satu tahun lalu saat Andini berteriak kencang di bawah tubuh Algaza---Kakak dari Alga yang sudah meninggal karena terjatuh dari lantai lima karena dikejar polisi.

Mengambil alih tubuh Lina yang berada di dalam pelukan Altas. Dion memeluk tubuh wanita itu dengan erat, menuangkan seluruh rasa penyesalan yang teramat besar. Air matanya menjadi bukti bahwa Dion juga memiliki hati.

"Ini alasan gue nggak pernah mau orang lain tau kalo lo saudara gue. Diluar sana banyak mereka yang benci sama gue, mereka jadiin orang yang gue sayang sebagai umpan buat gue dateng," ucap Dion benar-benar lemah. "Gue minta maaf. Maaf, maaf, maaf gue telat."

"Kak ... aku harus mati. Aku aib dikeluarga kita Kak!"

"Lina!" bentak Dion mempererat pelukannya. "Semuanya kecelakaan, lo nggak berhak ngomong gitu."

"Kak, aku harus mati," lirih wanita itu lagi. "Mati ...." Suaranya terdengar melemah. Dalam hitungan detik Lina kehilangan kesadarannya.

------

"Kondisi pasien benar-benar mengalami kenaikan yang sangat baik. Saya pun tidak akan menyadari jika pasien akan melewati masa kritisnya secepat tadi. Kemungkinan pasien akan sadar dalam beberapa menit ke depan. Saya permisi."

Ucapan dokter tadi sore terus terngiang-ngiang di kepala Slamet. Laki-laki dengan setia duduk di pinggir brankar sembari menatap wajah teman bertengkarnya yang nampak sangat pucat, nampak tenang dalan tidurnya. Tidak ada lagi wajah menyebalkan dan mulut petasan banting milik Dion.

Di sofa ada Danial yang duduk sambil memainkam ponselnya. Danial sedang menghubungi Ghani yang katanya sedang berada di kantor polisi untuk di interogasi mengenai penemuan barang terlarang di markas Blaster.

Dipinggir jendela ada Alya yang berdiri menatap koson langit malam yang begitu sangat terang dihiasi dengan bintang bertaburan, menambah keindahan malam ini. Wanita itu memandang dengan tatapan kosong, tapi otaknya dipenuhi dengan berjuta pertanyaan mengenai kemana Kakaknya yang tidak kunjung kembali? Latar belakang apa yang membuatnya disekap? Sebenarnya ini semua ada apa? Dirinya sama sekali tidak mengerti apapun selain mematuhi ucapan Kakaknya.

Terdengar rintihan pelan. Mereka semua menatap Lion yang mengerutkan keningnya dengan mata yang masih terpejam. Sontak mereka semua berdiri, mengerubungi Lion yang nampaknya akan segera sadar setelah beristirahat lumayan lama.

Berusaha menetralkan pandangannya yang terasa buram, terlebih lagi kontras cahaya yang sangat menyilakan matanya. Dengan pandangan yang buram, tanpa rasa sakit yang menjalar ditubuhnya bahkan untuk menggerakkan tubuhnya saja Lion tidak mampu. Objek pertama yang dia lihat adalah wanita dengan wajah pucat berdiri diujung brankar dekat kakinya.

"Ini surga? Itu bidadari surga?" kata Lion dengan pelan. "YaAllah Lion belum mau mati meski bidadari surga cantik-cantik."

"Anjing! bikin gue panik. Mati sana!" jawab Slamet dengan kesal. Hampir saja dirinya memukul wajah Lion yang sangat menyebalkam itu. Bisa-bisanya mengeluarkan kata lelucon padahal jantungnya berdebar kencang mengkhawatirkan kondisinya.

-----------

TO BE CONTINUE...

THE JERK TWINS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang