Bab 7

872 122 37
                                    

Sooyeon sudah tidak se angkuh dulu, tidak se acuh dulu. Saat aku bicara dia akan menanggapinya. Obrolan kami akhirnya jadi seru, kadang berdebat walau tidak serius. Hari ini aku mengajak Sooyeon ke taman bermain untuk sekadar memperbanyak momen kami.

"Sooyeon, aku menunggumu lima belas menit!" kataku menggaruk kepala.

"mianhae, Taeng" aku menghela napas. Tapi dia terlihat berbeda. Sooyeon lebih cantik.

Selang beberapa menit bus datang. Kami sengaja tidak memakai mobil yang ada dirumah. Asap dari knalpotnya dipastikan dapat membuat polusi udara. Kami berdua masuk dan duduk di bangku belakang. Busnya tidak penuh dengan penumpang, hanya ada lima orang di dalam bus.

Seorang ibu menggendong anaknya di bangku depan kami. Aku mengejek anak itu, membuat muka-muka aneh dan anak itu tampak senang. Kami yang tadinya tertawa tiba-tiba senyap ketika sang ibu menoleh ke arah kami. Sooyeon menyikut pinggangku dan aku hanya tertawa.

Aku dan Sooyeon masuk ke area wahana bermain. Cukup ramai dengan anak-anak maupun sepasang kekasih. Aku bisa mendengar teriakkan dari pada pengunjung yang memasuki rumah hantu. Aku juga bisa melihat kebahagian anak-anak di sana yang menaiki komedi putar. Ada Bianglala besar dan tinggi berdiri kokoh.

"mari pemanasan dulu, Everest" tanpa izin aku menarik tangannya. Kami berhenti di sebuah permainan, di mana kita harus menembakkan peluru dari pistol palsu ke satu titik yang menjadi tanda kemenangan.

Aku berkali-kali menembak namun sama sekali tidak kena. Sooyeon menertawakanku, aku menatapnya kesal. "akan kubuktikan, Everest" aku merogoh saku, mengambil beberapa lembar uang. Dengan cepat Sooyeon menghentikanku ketika baru akan memanggil penjaga. Aku mengerutkan dahinya.

"cukup Taeng, kita mencoba yang lain saja"

"tapi, Ever-" dia menarikku hingga tidak diberi kesempatan bicara. Kami berjalan-jalan sampai akhirnya aku menemukan satu hal yang menarik.

"aku ingin ke rumah hantu" ia menegang. Hal itu menandakan bahwa ia seorang penakut. Bukankah lucu kalau melihatnya ketakutan? Hehe. Aku berjalan menuju rumah hantu, diikuti ia dibelakangku.

"Taeng, kau yakin?" aku mengangguk mantap. Helaan napas kasarnya terdengar olehku, membuatku semakin semangat.

Aku berjalan di depan Sooyeon. Genggaman tangan kami begitu erat karena ada rasa takut di sana. Gelap, hanya ada lampu redup sepanjang lorong. Di sekeliling banyak barang-barang aneh yang tujuannya menambah ketegangan pengunjung.

"aaaaakkkkkkhhhhh"

"aaaaggrrhhh"

Berkali-kali tanpa alasan yang pasti aku ikut terkejut ketika mendengar suara teriakkan menusuk telinga. Sial, aku baru tahu Sooyeon memiliki suara melengking seperti itu. "Ta- Taeng" ia memelukku. Rasanya, aku ingin menghentikan waktu.

"aku disini, Everest. Kita akan keluar" aku berjalan sambil merangkulnya, badannya bergetar. Apakah dia baik-baik saja? Aku jadi takut dia kenapa-kenapa daripada takut hantu palsu itu.

Kami duduk di bangku, memperhatikan penyanyi jalanan yang melantunkan lagu 'thinking out loud'. Dia sudah lebih tenang. Aku memberinya airputih yang kubeli sebelumnya. Telingaku terasa panas, aku akui suara teriakkannya sangat membuat telingamu akan terasa sakit. Seperti suara Lumba-lumba.

"kau berteriak sangat kencang, Everest. Telingaku sampai panas seperti ini" kataku sambil mengusap-usap telinga. Ia terkekeh pelan, lalu menggerakkan tangannya mengusap telingaku. Jantungku berpacu sangat kencang, hatiku terasa geli, seperti ada bunga mekar di dalamnya.

"mianhae, lagipula suruh siapa ke rumah hantu. Kau mau mengejekku kan, Taeng"

Aku membelikannya gulali, kami memakannya bersama sembari jalan menuju halte bus. Dia terlihat sangat kelelahan, matanya sayup memejamkan mata. Aku menepuk bahu, menyediakan khusus untuknya agar bisa bersandar. Itu dia lakukan. Sambil menunggu bus yang datang.

Setelah sekitar sepuluh menit akhirnya bus datang. Dia masih tertidur nyenyak, tak tega membangunkannya, tapi dia bisa melanjutkannya di dalam bus. Aku menepuk pipinya pelan. "Sooyeon~ irreona. Busnya sudah datang"

Dia memeluk tanganku, menyandarkan kepalanya pada bahuku. Lalu kembali melanjutkan tidurnya di bus yang penumpangnya sedikit. Aku mengusap tangannya.

---

Aku duduk dengan tenang. Kulipat tangan di dada sambil tidak melepas pandangan ke arah Sooyeon yang fokus menelepon seseorang. Aku penasaran siapa yang ada di seberang telepon sana, mereka sudah hampir dua puluh menit saling bicara. Bahkan terkadang aku melihat Sooyeon tertawa sangat bebas, aku tak pernah melihat dia tertawa se meledak itu, setidaknya tak lebih dari kekehan jika bersamaku.

Aku berpura-pura ke sofa merah tempat ia duduk. Punya alasan dengan memberi makan Zero. Ia menyadari kehadiranku, tapi acuh, bukan hal yang aneh. Sesekali aku mendengar percakapan mereka. Kurang lebih seperti ini ;

"uh, kau manis sekali"
"aku ingin bertemu denganmu, I Miss You So Much"
"aku akan mengirimkan beberapa fotonya"
"haha"

Selang beberapa menit mereka mengakhiri teleponnya. Membuatku bersyukur. Ia menghampiriku dan mengusap-usap Zero. Hatiku berdesir, sebenarnya ada apa denganku?

"yang lain pergi, aku tidak tau kemana" katanya.

"Everest" panggilku dengan suara pelan. Ia menoleh. Menaikkan kedua alisnya sebagai pengganti pertanyaan 'ada apa?'. Aku hanya diam menatap Sooyeon, yang balas menatapku dengan ekspresi tidak mengerti.

"aku tidak suka kebiasaanmu yang seperti ini, Taeng" aku terkekeh.

"siapa yang meneleponmu? Kau terlihat bahagia" tanyaku, dengan nada yang tidak terlihat penasaran.

"Soojung! Ah, aku belum menunjukan fotonya padamu. Sebentar" hatiku melega setelah mendengar bahwa teleponnya dari Soojung.

Dia menyodorkan ponselnya, gadis dengan rambut lurus, tatapannya yang tak jauh berbeda dengan Sooyeon. Cantik tapi belum bisa melebihi Sooyeon. "dia... Cantik"

"Soojung titip peluk dan cium untukmu. Dia sudah melihat fotomu, katanya kau lucu seperti bayi, haha" dia terkekeh, artinya dia mencuri fotoku? Uh, terima kasih Soojung.

"mana?"

"apanya?

"peluk dan ciumnya" aku menyeringai. Aku terkekeh sendirian.

"mau mati sekarang ya?" dia melototiku galak. Ya ampun manis sekali.

Aku bingung, bagaimana bisa aku jadi sedekat ini dengannya? Padahal dulu begitu banyak sekat di antara kami. Bagaimana bisa aku senyaman ini dengannya? Padahal dia hanya gadis dengan sifat layaknya es. Kami bertindak seperti sepasang kekasih, terkadang aku merasa senang jika ada orang yang memandang kami seperti itu.


















•••

Tap the star!

Say Hello Ms.Jung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang