Dokter Muda Dan Kematian - CDM #1

1.8K 50 7
                                    

Hallo. 🤪

Namaku anggapardede, seorang lulusan S1 pendidikan dokter di suatu Universitas di "Kota Seribu Sungai". Setelah lulus S1, aku melanjutkan pendidikan profesi dokter, dan sekarang gelarku adalah "dokter muda" atau "Coas".

Seperti namanya, "dokter muda". Aku dipanggil "dokter" oleh pasien-pasien.
Terus kalo kata "Muda"? Kalau aku sih muda yaa, ga tau kalau temenku. Temenku ada yang mukanya boros, di saat muka kami masih selayaknya maba, temenku yang satu itu mukanya udah kaya dosen yang mau pensiun.

Terus untuk kata "Coas", terdiri dari kata "Co" dan "as". "Co" tanpa huruf K di belakangnya, dan "as", huruf S nya satu aja di belakang.

Kata "Co" bisa diartikan sebagai "asisten". Sebagai contoh "Co-pilot", yang artinya asisten pilot. Sedangkan kata "as" adalah singkatan dari kata "asisten". Ya! jadi bisa disimpulkan "Co-as" adalah "asistennya asisten", kata temanku bahasa halusnya itu "Babu", atau setara dengan keset "Welcome".

Itu kata temenku yaa, kalo kata aku sih, artinya itu lebih ke "Slave".

~

Sejujurnya, ada rasa khawatir sih pas beberapa hari sebelum masuk coas. Karena sepengetahuanku, kehidupan waktu coas itu sangat jauh berbeda dari kehidupan saat kuliah.

Kalau pas kuliah itu, aku ibaratnya kaya daun di aliran sungai. Ngikut aja gitu. Yang lain belajar, aku ikut belajar. Yang lain ikut organisasi, aku... Ikut siih, tapi sering bolos. Soalnya ga cocok antara passionku dengan organisasi yang ku tekuni. Organisasi yang ku ambil itu paduan suara, sedangkan passionku membuat kendi dan menganyam tikar. 👉🏻👈🏻

Tapi, yaah... Disini lah aku sekarang. Di suatu bangunan yang berbau obat, keringat dan nanah.

Banyak pengalaman baru yang aku dapatkan. Dan di sini aku akan menceritakan bagaimana aku sebagai orang yang biasa-biasa ini dan tidak percaya diri, tapi berusaha survive dalam beragam situasi pekerjaan di rumah sakit. 😂

Mari kita mulai...
Cerita dimulai saat stase Saraf....

Apa yang kalian rasakan kalau diperhadapkan dengan situasi duka?
Ketika keluarga yang ditinggalkan sedang menangis hebat karena ayahnya meninggal dunia, apakah hal wajar kalau kita ikut merasa sedih?

Bagi mas-mas dari clan saya yang berinisial C O K I Pardede sih sepertinya situasi meninggal dunia itu ada lucu-lucunya. Kalau bagi saya sih tidak yaaa.

Jadiii... Hari itu, untuk pertama kalinya aku memulai dunia coas di stase saraf. Waktu menunjukkan pukul 5 pagi saat aku masuk ke ruangan saraf. Di luar masih gelap. Pasien-pasien masih tertidur sedangkan kami sudah melek. 😳

Ruangan tempat di mana anak coas berkumpul sangat sempit. Kursi yang disediakan di ruangan itu terbatas. Jadi kalau mau dapat tempat duduk, kami harus rebutan, bahkan biar rebutannya seru, kami sambil memutar lagu dangdut biar semakin meriah, sama seperti lomba rebutan kursi pas 17an.

~

Kelompokku yang waktu itu masih junior, tentu kami masih bingung-bingung. Jangankan bingung tentang tugas selama di stase saraf, tentang jalan menuju ruang saraf aja bingung. Sampai-sampai ada temenku yang tersesat waktu menuju ruangan saraf saking terpencilnya ruangannya. Gimana coba?

Singkat cerita, setelah kami berkonsultasi dengan senior, akhirnya kami pun diberikan sedikit pencerahan, yaitu serum vitamin C biar wajahnya cerah katanya.

~

Selanjutnya kami diajak room tour ruang saraf dan disuruh mereview ruangan-ruangannya ala-ala youtuber yang menggunakan bandana di kepala.

Ruang saraf ini terbagi dalam beberapa kelas berdasarkan kelasnya di BPJS. Kebetulan ruangan yang kami pegang adalah ruang kelas 2 dan 3 saja. Untuk ruang kelas 1 ada di gedung lain.

Sebagai gambaran, ruangan tempat kami bertugas ini penampakannya kurang enak dipandang, lebih ke angker malah. Ruangan ini merupakan ruangan lama, belum direnovasi seperti ruangan lainnya. Letaknya berada di ujung area rumah sakit, aksesnya pun harus melalui jalan kecil. Dan apabila malam hari, pencahayaan di jalan menuju ruangan ini sangat minim. Untungnya tadi sudah dibekali serum vitamin C oleh senior, jadi walaupun lingkungannya gelap, tapi wajah kami bercahaya... Heee 😃🌞

Setelah aku melihat ruang kelas 3 BPJS, aku terkejut. Ruangan ini sangat sempit untuk di isi dengan 10 bed pasien. Bed pasien ini hanya dibatasi dengan tirai. Dan keluarga pasien hanya bisa tidur di lantai beralaskan tikar tipis. Di situ saya merasa sedih. (Di titik ini aku masih belum menyadari bahwa kami lebih menyedihkan nantinya).

~

Pasien-pasien di ruang ini kebanyakan menderita stroke. Stroke adalah suatu penyakit kerusakan pada sistem saraf pusat (otak), akibat tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak.

Gejala yang ditimbulkan adalah terjadinya gangguan saraf seperti kelumpuhan pada anggota gerak pada satu sisi tubuh, bicara pelo, bahkan kehilangan kesadaran hingga kematian.

Rata-rata pasien yang mengalami gejala stroke berat diakibatkan oleh perdarahan pembuluh darah otak, atau adanya "kematian" sel-sel otak yang luas. Kasus stroke ini erat kaitannya dengan adanya riwayat tekanan darah tinggi, gula darah dan kolesterol yang tidak terkontrol.

~

Di stase saraf ini, aku sering sekali melihat pasien-pasien yang meninggal dunia. Setiap minggu pasti ada yang meninggal. Pas pertama kali aku lihat pasien yang ku rawat sudah meninggal dunia, aku ikut sedih karena melihat keluarga pasien menangisi kepergiannya. Waktu itu aku terbawa suasana karena aku memposisikan sebagai keluarga yang ditinggalkan dan ikut merasakan kesedihannya. Keluarganya pun ikhlas menerima kepergian pasien itu dan menjabat tanganku sembari berterima kasih sudah merawat selama ini.

Yang bisa ku katakan saat itu hanya "Iya sama-sama bu, semoga beliau diterima di sisi Tuhan, semoga keluarga ibu sehat-sehat"

~

Semakin lama berada di stase saraf, aku mulai terbiasa dengan namanya kematian. Bahkan kami tahu apa saja tanda-tanda yang menunjukkan pasien kami sebentar lagi meninggal.

Aku sudah ngga sedih lagi ketika melihat keluarga pasien bersedih. Dan waktu keluarga pasien menghampiriku untuk mengucapkan terima kasih karena sudah merawat selama ini, aku hanya menjawab dengan kalimat template seperti:

"Sama-sama bu, semoga beliau diterima di sisi Tuhan"

Sama seperti pegawai alfamart yang selalu bilang "Mau sekalian pulsanya?" di setiap pembelian yang telah kita lakukan. Padahal tujuan awal pergi ke alfamart itu ya cuma beli pulsa aja, malah disuruh sekalian beli pulsa lagi.

Pada intinya, aku tau ada yang berubah dari dalam diriku, tapi ngga tau alasannya apa. Kenapa aku ngga merasa sedih lagi pas lihat orang meninggal? Apakah aku sudah terbiasa dengan kematian?

Aku takut ini jadi keterusan. Aku jadi takut sensitifitasku terhadap kesedihan berkurang. Aku takut misalkan ada teman dekatku meninggal, terus teman-temanku yang lain sudah menangis, sedangkan aku sendiri cuma bisa bilang

"Semoga beliau diterima di sisi Tuhan"

Masalahnya aku ngga bisa acting dan ngga jago menutupi ekspresi yang datar ini. Bahkan kadang bingung juga harus mengeluarkan ekspresi seperti apa dalam menghadapi situasi tertentu.

~

Dan setelah aku pikir-pikir lagi, kenapa ya aku sudah ngga merasa sedih lagi pas ada pasien meninggal?
Oohh... Ternyata karena kehidupan koas tidak kalah menyedihkan, kami tidak punya waktu untuk ikut bersedih di masalah orang lain.

.

.

Itu dia ceritaku part ini. Semoga kalian betah membaca ceritaku yang penuh cerita sedih dan lucu dari awal coas sampai lulus menjadi dokter nanti.

Part berikutnya, aku akan bercerita tentang hal yang lebih sedih daripada menghadapi orang yang sudah mati.

Yaitu menghadapi orang yang hampir dipanggil Tuhan.

Byeee 👋🏻

Cerita Dokter Muda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang