Nira berjalan menyusuri tepian pantai yang mulai sepi. Mentari sebentar lagi tenggelam, seolah tertelan laut yang membentang di depannya. Wajahnya pias, rasa bersalah akan takdir yang menimpa Wahyu belum bisa dimaafkannya. Setiap kenangan itu hadir, jiwanya berontak. Namun dia tak kuasa menepis semua itu. Pantai ini menyisakan kepedihan yang mendalam buatnya. Tak terasa air matanya terus menetes di pipinya.
*
Semilir angin pantai, memainkan anak rambutnya yang dia biarkan terurai. Mereka duduk berdua di tepi pantai, menikmati keindahan alam saat sang surya tenggelam. Terlihat burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Namun dia dan Wahyu masih duduk menikmati pergantian siang dan malam yang sangat menakjubkan.
“Ra, bersama tenggelamnya sang surya. Aku memintamu dengan sangat. Jawablah pertanyaanku ini!” kata Wahyu sambil membuka kotak berwarna merah. Tampak sebuah cincin berkilau terterpa sinar jingga dari mentari yang telah bergulir ke ufuk barat, diambil cincin itu lalu dipegangnya jemari Nira dengan lembut. Nira hanya diam saja, dia tak mengira kalau Wahyu akan melamarnya saat itu.
“Maukah kau hidup bersamaku, hingga maut memisahkan kita?” tanyanya lagi sambil menggenggam erat jemari Nira. Seolah tak mau dilepaskannya.
Nira menatap wajah Wahyu, meski temaram, dia bisa melihat sangat jelas kesungguhan dalam mata elangnya. Suara debur ombak yang berkejaran, seolah mengiringi debar di dadanya. Ditarik sudut bibirnya bibir membentuk suatu lengkungan, senyuman itu pun merekah seiring netra Nira yang berbinar bahagia.
“Iya, Mas. Aku siap, mau selalu hidup bersamamu,” jawab Nira Lirih menahan debaran yang semakin menghentak dadanya.
Perlahan, disematkanlah cincin itu di jemari tangan Nira, lalu dikecupnya dengan lembut penuh perasaan. Air mata jatuh di pipinya. Namun belum hilang rasa bahagianya, tiba-tiba datang beberapa pemuda yang tak dikenalnya.
Tanpa ada kata-kata, mereka langsung menyerang Wahyu. Nira bergeming dalam ketakutan. Nanar mata Nira menatap ke sekelilingnya, namun nihil. Tenggorokannya seakan terkunci, ingin berteriak minta tolong, namun tak ada lagi orang lagi. Hanya mereka dibawah sinar bulan sabit. Suara ombak kian menenggelamkan teriakan yang keluar dari bibirnya.
Tak ayal, merekapun langsung terlibat baku hantam. Orang tak dikenal itu ternyata bukan lawan wahyu. Meski Wahyu memiliki kemampuan bela diri yang memadai, namun karena dikeroyok akhirnya semakin lama dia semakin terdesak. Salah satu pemuda berbaju serba hitam itu datang ke arahnya. Dirinya mulai ketakutan. Dia berteriak minta tolong, namun suaranya tenggelam dalam deru ombak.
“Tolong ... tolong ...!” teriaknya. Pemuda itu semakin mendekat. Wajahnya tidak begitu kelihatan, karena senja telah menghilang. Jantungnya berdegup kencang. Rasa takut membuat kakinya seolah terpaku pada pasir yang dia pijak. Dalam rasa panic yang menguasainya, dia hanya bisa berdoa dan menangis, semoga ini hanyalah mimpi semata, dan akan hilang saat dia terjaga. Sayangnya, ini semua adalah kenyataan, dan dirinya semakin tak berdaya.
“Berteriaklah sekencang-kencangnya. Tak ada orang yang akan menolongmu!” teriak pemuda itu sambil tertawa. Dilihatnya Wahyu menjadi bulan-bulanan ketiga pemuda yang menyerangnya. Mereka berempat, dan kemungkinan yang mendatanginya adalah ketuanya.
Pemuda itu mencengkeram lengannya. Dia meronta, namun tenaganya kalah kuat. Air mata Nira mengalir deras, dia hanya bisa menangis. Dilihatnya Wahyu nampak kepayahan, darah mengalir dari sudut bibirnya. Matanya nanar menatap iba Nira, terlihat Wahyu marah terhadap para pemuda yang menyerangnya, namun dia kalah, mata itu menatap Nira tak berdaya, merasa berdosa karena tak dapat melindungi kekasih hatinya. Dia mengerang dan meronta, mencoba melepaskan diri dari himpitan ketiga pemuda yang mengeroyoknya.
“Tolong, jangan ganggu gadis itu. Lepaskan dia. Kalau kau ada masalah denganku, jangan libatkan dirinya. Ku mohon!” teriak Wahyu yang tergeletak, kaki salah satu pemuda itu menginjak dadanya.
“Hahahaha, tak semudah itu, Yu. Kau harus membayar mahal atas semuanya. Kau masih ingat gadis yang bernama Miranda?” kata pemuda yang mencengkeram Nira. Dia hilang akal kerana dirimu. Kini gadismu juga akan aku buat hal yang sama sepertinya. Jika Miranda tak bisa memilikimu, dia juga tak boleh memilikimu seutuhnya.” Pemuda berpakaian hitam-hitam itu mendorong Nira hingga jatuh terjerembab.
Kemudian dia datang dan menarik tangan Nira agar dia bisa berdiri kembali. Nira yang berdiri dalam ketakutan, karena pisau yang mengkilat menempel di lehernya. Air matanya semakin deras, suaranya semakin lirih hanya isakan yang menyayat hati. Hanya mata mereka yang saling menatap dalam ketakutan. Nira memandang Wahyu yang kini tiada berdaya di bawah himpitan ketiga pemuda lainnya.
Secepat kilat pemuda berpakaian hitam-hitam itu mengambil parang, menyambar pergelangan Wahyu. Jerit kesakitan membahana di bibir pantai senja itu. Nira semakin keras menangis, dilihatnya Wahyu mengerang kesakitan. Tak tahan, Nira memejamkan matanya. Tak tahan dia menyaksikan kekejaman di depan matanya. Penyiksaan demi penyiksaan mereka lakukan kepada Wahyu. Keempat penuda itu seperti anak-anak yang mendapat mainan. Nira sudah tak kuat berdiri meyaksikan kekejaman keempat pemuda tadi. Badannya lemas, kakinya tak dapat menopang tubuhnya. Dia tak sadarkan diri.
Entah apa yang telah mereka lakukan pada dirinya, dia hanya tau saat membuka mata sudah berada di dalam ruangan serba putih. Seribu pertanyaan melanda hatinya. Bagaimana dengan kondisi Wahyu, siapa Miranda, apa yang menimpanya saat dia pingsan. Kepalanya terasa berputar. Seluruh tubuhnya terasa perih, apa lagi hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebening Embun di Netra Nira
General FictionNira merasa bahagia karena Wahyu, kekasih hati yang lama terpisahkan telah kembali. Dia melamar Nira saat mereka menikmati senja di bibir pantai. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar menyapa mereka. Sebuah tragedi menimpanya. Wahyu terbunuh. Nira m...